Saya sendiri sudah kerap bertransaksi daring melalui fasilitas e-banking bank saya (CIMB Niaga), jauh sebelum ada GNNT, tanpa menyadari bahwa itu adalah bagian dari cashless society. Yang segera terasa adalah hidup menjadi begitu praktis karena banyak hal bisa dilakukan sambil duduk menghadapi laptop, terutama dalam hal beli pulsa ponsel yang total transaksinya di counter berkategori aneh dan sukar diberi uang kembalian, seperti Rp 11.000 atau Rp 21.000.
Makin ke sini, aspek-aspek transasksi nontunai yang bisa saya manfaatkan semakin banyak dan meluas. Belanja senilai ratusan ribu di supermarket, cukup dengan kartu debet. Begitu juga ketika membeli tiket pesawat atau kereta api di mini market terdekat dari rumah. Dan persoalan sepele tapi urgen semacam meng-upgrade game online dari versi gratis ke versi premium seharga Rp 20 ribu atau Rp 25 ribu pasti susah terwujud bila masih memakai uang tunai.
Bagi saya pribadi, segala jenis layanan pembelian dan pembayaran nontunai semakin lama berkembang menjadi kebutuhan, bukan lagi bagian dari gaya hidup. Memang sudah saatnya kita semakin meninggalkan uang tunai menuju uang “khayal”. Toh yang terpenting segala proses jual-beli yang tertandai dengan beralihnya angka dana dapat tereksekusi secara nyata.
Dan bercermin dari pengalaman saya tahun 1999 itu, kita tak perlu lagi merasa bersalah pada para petugas kasir atau loket-loket pembayaran saat kita menyodorkan pecahan uang nominal besar dan mereka pas kehabisan stok susuk. Khusus untuk saya yang pernah ada di posisi itu, kesulitan mereka sangat bisa saya pahami. Maka saya tak bisa pula terlalu menyalahkan ketika mereka menyiasatinya dengan donasi atau kembalian berupa permen.
Biasanya, jika tahu hanya pegang uang nominal besar untuk beli sesuatu yang harga totalnya tak mencapai Rp 5.000, saya akan berbaik hati dengan menukar dulu uangnya di tempat lain. Dan jika naik TranSemarang dengan tiket Rp 3.500, saya akan pastikan dulu punya duit receh sejumlah itu sebelum naik bus atau beli tiket di loket halte. Kasihan Mbaknya. Hidup mereka kan sudah penuh masalah. Janganlah saya menjadi penyebab bertambahnya masalah mereka hari itu.
GNNT-nya Bank Indonesia akan mengakhiri kerumitan-kerumitan semacam itu, andai kelak penetrasinya ke dalam kehidupan kita telah makin mendalam. Tak perlu lagi ada hari yang meresahkan hanya gara-gara ketiadaan susuk, karena transaksi nontunai memungkinkan kita membayar tepat seperti harga yang tertera, bahkan andai harganya seabsurd Rp 99.990 atau Rp 52.472!
Saya membayangkan, pada masa depan, menambal ban motor, membayar ongkos WC umum, amal sodakoh di masjid, membayar pengamen bergitar pas makan di sega kucing, dan bahkan membayar harga sega kucing-nya itu sendiri, semua bisa dilakukan secara cashless. Dan kita tak perlu nggogohi (merogoh saku-saku untuk mengecek ada uang yang tertinggal atau tidak) baju atau celana kotor sebelum dicuci, sebab menemukan uang Rp 50 ribu yang sudah rusak pada baju kering yang baru saja dicuci adalah sebuah tragedi yang layak dipentaskan dalam sebuah drama di amphitheater Yunani Kuno.
Tentu tantangan menuju cashless society adalah ketersediaan koneksi internet di setiap titik koordinat jagad Indonesia. Ini yang belum terjamin. Di rumah saya saja, yang hanya berjarak 2 Km dari Candi Borobudur yang berlevel internasional, sambungan internet masih megap-megap. Bahkan hanya untuk berkirim pesan pendek lewat WhatsApp atau BBM pun sering terhambat. Apalagi yang di Atambua, atau Rajaampat, atau Malinau. Piye jal?
Sekarang yang terpikir di benak saya adalah, punahnya mesin-mesin ATM ketika orang sudah tak memerlukan uang tunai lagi. Dan... oh, ya, juga kepunahan profesi copet dan jambret gendam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H