Pada tahun 1999, jauh sebelum menjadi author dan ngeblog di Kompasiana, saya pernah bekerja sebagai operator wartel di Stasiun Poncol, Semarang. Tugas saya simpel saja, mengawasi pemakaian telepon (waktu itu ada dua KBU; kamar bicara umum) dan menerima pembayaran. Tarif bicara telepon Telkom untuk sambungan lokal (local call) kala itu adalah Rp 300 untuk tiga menit (kalau untuk interlokal alias SLJJ alias sambungan langsung jarak jauh, lupa).
Karena wartel buka 24 jam, para operator yang berjumlah tiga butir dibagi dalam tiga shift. Pagi antara pukul 7 hingga 16, sore antara pukul 16 hingga 23, dan malam antara pukul 23 hingga 7 keesokan harinya. Saya pernah merasakan tugas jaga di ketiga shift itu. Dan meski shift malam adalah yang terberat—karena harus melek-melek nonstop—puncak permasalahan bukan pada jatah shift malam hingga pagi, melainkan untuk urusan susuk atau uang kembalian.
Sungguh, tak ada yang lebih memusingkan ketimbang melihat angka Rp 600 di layar monitor dan menerima uang pecahan Rp 10 ribuan dari pelanggan. Sekalipun sudah berbekal kalkulator, tetap ribet memberi uang kembalian dalam posisi semacam itu. Terlebih apabila kemudian saya menjumpai bahwa stok recehan untuk susuk ternyata menipis, atau bahkan tak ada sama sekali.
Saya jelas panik, terlebih kalau pengunjung mengantre pada jam-jam sibuk kedatangan kereta api. Meminta teman untuk menukar uang besar dengan uang recehan ke pedagang atau toko di stasiun atau ke SPBU pun tetap perlu waktu. Berikutnya, sebelum memulai jadwal kerja, saya selalu mengantisipasi dengan menyediakan stok uang kembalian sebanyak mungkin. Itu pun biasanya tetap tak selamat hingga jam kerja berakhir. Di tengah jalan pasti susuk telah habis dan harus di-top up.
Ketika itu, saya mengimajinasikan, alangkah menyenangkan andai ada satu cara ketika kita tak perlu uang cash untuk bertransaksi, salah satunya di wartel. Ini penting karena ongkos bertelepon lewat wartel biasanya terjadi dalam nominal kecil, sedang pelanggan tak selalu punya tiga keping uang logam ratusan untuk membayar dengan uang pas.
Maka saya—yang hobi nonton film science fiction futuristik—mengkhayalkan betapa pelanggan bisa 'mendaftarkan' uangnya ke mesin kasir wartel dari simpanan tabungan yang ada di rekening masing-masing. Bertelepon sejumlah Rp 900, ya cukup nominal sejumlah itu yang dimasukkan ke mesin kasir dengan dipotong dari tabungan. Karena internet dan ponsel ketika itu belum ada (saya baru kenal e-mail akhir tahun itu, sesudah resign dari wartel, dan mempunyai ponsel dua tahun kemudian), bayangan terdekat adalah mesin ATM.
Jadi ada semacam ATM mini di mesin kasir, di mana pelanggan cukup mengonfirmasi pembayaran lewat situ. Dengan memencet tombol, jumlah biaya percakapannya akan dipotong langsung dari tabungannya untuk dipindah ke mesin kasir. Praktis. Tak ada uang kertas atau logam yang terlibat. Uang 'khayal' lah yang berpindah, tepat seperti nilai yang diperlukan, lengkap hingga ke angka sen di belakang koma jika perlu. Tak perlu repot mencari uang kembalian.
Kini kemajuan internet dan teknologi telepon pintar mendekatkan kita pada situasi semacam itu dalam arti kata sebenar-benarnya. Dan ada istilah ilmiah untuk itu, yaitu cashless society. Segala hal bisa dikendalikan dari smartphone atau laptop yang terkoneksi dengan internet. Dan kita bakalan tak perlu lagi bertemu dengan uang kertas atau uang logam recehan sepanjang hayat.
Khayalan futuristik saya tentang mesin-mesin ATM mini di dekat mesin kasir tak menjadi kenyataan, namun diganti oleh teknologi lain yang jauh lebih memudahkan. Berkat internet, transaksi-transaksi jual beli dan aneka macam pembayaran bisa dilakukan lewat dunia maya. Mudah dan praktis karena, selain tak perlu ke mana-mana, semua keperluan itu tak memerlukan keberadaan uang secara fisik alias uang tunai.
Bagi manusia-manusia berpaham SOHO (small office home office) yang bekerja tak perlu ngantor (dan punya bos menyebalkan) seperti saya, cashless society adalah sebuah harmoni. Dan bagi warga pemalas seperti saya, yang bekerja maunya cuman ngetik, Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang dicanangkan Bank Indonesia sejak 2014 adalah jawaban dari doa. Usai sudah ketika kita harus kesana-kesini mengurus atau membayar sesuatu. Segala hal bisa dikerjakan dari ponsel atau laptop sambil ndlosor.
Dan berkat keberadaan jasa transportasi daring seperti Gojek, berbelanja atau beli makanan dari luar pun bisa juga dilakukan dari ponsel (pembayarannya pun bisa dilakukan nontunai lewat fitur Go-Pay). Maka bisa saja selama seminggu atau dua minggu penuh, kita tak pernah keluar rumah. Baru keluar bila telah rindu sinar matahari dan debu.
Saya sendiri sudah kerap bertransaksi daring melalui fasilitas e-banking bank saya (CIMB Niaga), jauh sebelum ada GNNT, tanpa menyadari bahwa itu adalah bagian dari cashless society. Yang segera terasa adalah hidup menjadi begitu praktis karena banyak hal bisa dilakukan sambil duduk menghadapi laptop, terutama dalam hal beli pulsa ponsel yang total transaksinya di counter berkategori aneh dan sukar diberi uang kembalian, seperti Rp 11.000 atau Rp 21.000.
Makin ke sini, aspek-aspek transasksi nontunai yang bisa saya manfaatkan semakin banyak dan meluas. Belanja senilai ratusan ribu di supermarket, cukup dengan kartu debet. Begitu juga ketika membeli tiket pesawat atau kereta api di mini market terdekat dari rumah. Dan persoalan sepele tapi urgen semacam meng-upgrade game online dari versi gratis ke versi premium seharga Rp 20 ribu atau Rp 25 ribu pasti susah terwujud bila masih memakai uang tunai.
Bagi saya pribadi, segala jenis layanan pembelian dan pembayaran nontunai semakin lama berkembang menjadi kebutuhan, bukan lagi bagian dari gaya hidup. Memang sudah saatnya kita semakin meninggalkan uang tunai menuju uang “khayal”. Toh yang terpenting segala proses jual-beli yang tertandai dengan beralihnya angka dana dapat tereksekusi secara nyata.
Dan bercermin dari pengalaman saya tahun 1999 itu, kita tak perlu lagi merasa bersalah pada para petugas kasir atau loket-loket pembayaran saat kita menyodorkan pecahan uang nominal besar dan mereka pas kehabisan stok susuk. Khusus untuk saya yang pernah ada di posisi itu, kesulitan mereka sangat bisa saya pahami. Maka saya tak bisa pula terlalu menyalahkan ketika mereka menyiasatinya dengan donasi atau kembalian berupa permen.
Biasanya, jika tahu hanya pegang uang nominal besar untuk beli sesuatu yang harga totalnya tak mencapai Rp 5.000, saya akan berbaik hati dengan menukar dulu uangnya di tempat lain. Dan jika naik TranSemarang dengan tiket Rp 3.500, saya akan pastikan dulu punya duit receh sejumlah itu sebelum naik bus atau beli tiket di loket halte. Kasihan Mbaknya. Hidup mereka kan sudah penuh masalah. Janganlah saya menjadi penyebab bertambahnya masalah mereka hari itu.
GNNT-nya Bank Indonesia akan mengakhiri kerumitan-kerumitan semacam itu, andai kelak penetrasinya ke dalam kehidupan kita telah makin mendalam. Tak perlu lagi ada hari yang meresahkan hanya gara-gara ketiadaan susuk, karena transaksi nontunai memungkinkan kita membayar tepat seperti harga yang tertera, bahkan andai harganya seabsurd Rp 99.990 atau Rp 52.472!
Saya membayangkan, pada masa depan, menambal ban motor, membayar ongkos WC umum, amal sodakoh di masjid, membayar pengamen bergitar pas makan di sega kucing, dan bahkan membayar harga sega kucing-nya itu sendiri, semua bisa dilakukan secara cashless. Dan kita tak perlu nggogohi (merogoh saku-saku untuk mengecek ada uang yang tertinggal atau tidak) baju atau celana kotor sebelum dicuci, sebab menemukan uang Rp 50 ribu yang sudah rusak pada baju kering yang baru saja dicuci adalah sebuah tragedi yang layak dipentaskan dalam sebuah drama di amphitheater Yunani Kuno.
Tentu tantangan menuju cashless society adalah ketersediaan koneksi internet di setiap titik koordinat jagad Indonesia. Ini yang belum terjamin. Di rumah saya saja, yang hanya berjarak 2 Km dari Candi Borobudur yang berlevel internasional, sambungan internet masih megap-megap. Bahkan hanya untuk berkirim pesan pendek lewat WhatsApp atau BBM pun sering terhambat. Apalagi yang di Atambua, atau Rajaampat, atau Malinau. Piye jal?
Sekarang yang terpikir di benak saya adalah, punahnya mesin-mesin ATM ketika orang sudah tak memerlukan uang tunai lagi. Dan... oh, ya, juga kepunahan profesi copet dan jambret gendam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H