Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menanti Kemunculan Buku di Layar TV

2 September 2016   00:07 Diperbarui: 2 September 2016   09:07 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada beberapa faktor yang membuat sebuah bangsa dianggap sebagai maju dan oleh karenanya disegani. Bisa dari kemajuan teknologinya, keberaniannya berinovasi, kekuatan ekonominya, bisa juga dari sisi tingkat intelektualita, kemampuan bertoleransi, dan perilaku masyarakatnya yang tertib. Dan semuanya lahir dari kecintaan warga bangsa itu pada satu hal, yaitu buku.

Kerap kita dengar dari berbagai sumber, salah satu yang membedakan bangsa-bangsa maju dari kita adalah kemunculan buku di ruang tunggu. Orang sana melewatkan waktu menunggu dengan tenang karena sibuk membaca. Orang sini resah saat menunggu, sehingga perlu rokok, teman mengobrol, smartphone untuk hiburan, atau bahkan menyela antrean.

Tingkat kecintaan kita warga Indonesia terhadap buku memang masih sangat rendah, kalau tak boleh dibilang menyedihkan. Tingkat minat baca kita juga terhitung salah satu yang paling rendah di dunia. Bahkan menurut sebuah survey yang dilakukan Central Connecticut State University di New Britain, Amerika Serikat, dari 61 negara yang disurvey, Indonesia menempati peringkat 60, alias kedua dari bawah. Di bawah kita ada negara yang embuh ada di mana, yaitu Botswana. Orang kita jauh lebih cinta sinetron daripada buku.

Salah satu faktor yang masih menunjukkan kurangnya apresiasi keseluruhan negeri kita terhadap buku adalah fakta bahwa jumlah durasi kemunculan buku dalam siaran TV nasional sehari-hari selama 24 jam masih berada dalam hitungan detik. Kapan kita pernah melihat sosok buku hadir di layar kaca, terutama stasiun-stasiun TV swasta terrestrial besar seperti RCTI, SCTV, Indosiar, MNCTV, atau ANTV? Hampir tak pernah.

Jangankan memiliki tayangan tersendiri, urusan perbukuan selalu hanya menjadi bahan pelengkap saat membicarakan sesuatu yang lain. Misal saat membicarakan film, barulah buku yang menjadi dasar pembuatannya disebut, dan pengarangnya diprofilkan sepintas. Juga saat membicarakan gaya hidup, buku baru disebut saat pembahasan gaya hidup sampai pada topik bacaan.

Ini semua tak terlepas dari orientasi para pengelola TV free-to-air yang semata berasaskan pada komersialitas. Apa yang sedang disuka, tentulah itu yang akan digeber sampai aus, dalam hal ini dunia entertainment dan politik. Buku dan sastra, di pihak lain, tak pernah dianggap seksi secara komersial, sehingga bahkan tak pernah terpikir oleh para pejabat program director di stasiun-stasiun TV saat menyusun program acara.

Selama ini, penampakan buku secara agak dominan hanya terjadi pada satu mata acara saja, yaitu Kick Andy di Metro TV. Itu pun buku dan penulis hanya menjadi salah satu sub tema, dan kemunculan serta penyebutan rutin hanya terjadi pada sesi giveaway alias bagi-bagi hadiah di setiap episode. Padahal kelahiran programa TV yang mengkhususkan pembahasan pada buku adalah sangat krusial, mengingat betapa besarnya pengaruh media televisi pada pembentukan opini dan habit pada masyarakat.

Nihilnya minat pengeloa kanal-kanal televisi terhadap buku karena bidang ini dianggap tak menjual adalah sama jika kita menganggap semua kutu buku mirip seperti penggambaran di film-film Hollywood—introver, antisosial, canggung, dan berkacamata tebal membosankan. Sebenarnya apakah yang membuat sesuatu itu seksi atau tidak seksi dan layak jual atau tidak? Kita akan lebih membicarakan kemasan dan cara menjualnya daripada mengenai materi dasarnya.

Dibandingkan dengan sepakbola dan bulutangkis yang menyajikan sekuen aksi berdurasi panjang dalam satu sesi bola hidup, baseball adalah cenderung membosankan. Tapi mengapa olah raga ini bisa menjadi salah satu cabang sport terpopuler di Amerika Serikat (dan Jepang)? Tak lain karena cara mengemas, menjual, dan penciptaan imejnya. Hal yang sama berlaku pula untuk buku.

Jika acara talk show TV misalnya, bisa dikemas dengan cara menarik dan menampilkan host yang smart seperti Mata Najwa dan Kick Andy, atau yang menghibur seperti Bukan Empat Mata almarhum, Ini Talkshow, ESPN FC Indonesia, atau Hitam Putih, materi dasar adalah sekadar materi dasar. Bisa memakai apa pun sesuka produsernya—politik, entertainment, hukum, ekonomi, perdukunan, olah raga, sulap, perkapalan, dagelan, whatever—dan tetap tak akan banyak berpengaruh pada nilai daya tariknya.

Anggapan bahwa materi dasar menentukan prospek adalah unsur utama penghambat kemajuan bangsa ini. Celakanya, mayoritas dari kita berpola pikir demikian. Saat melihat cowok atau cewek yang kurang kinclong, kita sudah malas duluan mengakrabi. Memvonis sepihak bahwa dia sudah pasti tidak menarik. Juga ketika sekian tahun lalu perintis bisnis daring menerima vonis dari para pengusaha senior bahwa berjualan lewat internet tidaklah prospektif karena “contoh buktinya tidak ada”.

Perubahan paradigma berpikir harus dimulai dari ungkapan kuno “Di mana ada kemauan, di situ ada jalan”. Sama seperti mangkraknya kualitas sinetron Indonesia yang lebih ditentukan faktor kemauan, bukan standar pencapaian teknis para kreator. Ini juga bisa didiskusikan terkait program acara televisi berkaitan dengan buku.

Lewat berbagai metoda dunia hiburan layar gelas yang telah terbukti ampuh, buku (sebagaimana olah raga dan politik) bisa langsung dimasukkan tanpa hambatan apa pun. Katakanlah diawali dengan program talk show penuh gelak tawa dipandu host jempolan sekelas Sule & Andre atau Tukul Arwana, namun mengkhususkan diri pada buku, sastra, dan geliat kreatif para penulis.

Maka cara mengundang bintang tamu, cara membahas topik sesuai tema, dan cara menanyai narasumber ya akan sama saja dengan bila yang diundang adalah selebritas dunia hiburan. Memangnya kalau acara buku harus juga diformat secara kaku dan oleh host kutu buku yang juga membosankan dan berkacamata tebal?

Kuncinya adalah dengan menjadikan buku dan sastra sebagai bagian dari gemerlap industri hiburan. Toh banyak tokohnya berdiri pada dua dunia sekaligus. Dewi Lestari atau Raditya Dika misalnya. Dan penulis yang demikian ingar bingar dalam hal popularitas seperti Andrea Hirata juga telah disejajarkan dengan para selebritas entertainment. Di pihak lain, beberapa pegiat keartisan seperti Tamara Geraldine atau Happy Salma belakangan juga ikut menulis buku.

Dimulai dari sosok-sosok gemerlap semacam ini, ketertarikan pemirsa bisa dikondisikan hingga tamu yang dihadirkan tiba pada nama-nama yang lebih mainstream sastra seperti Seno Gumira Ajidharma, Ayu Utami, AS Laksana, atau Ilana Tan, Ika Natassa, dan Winna Effendi dari ranah sastra populer. Dan karena sepanjang waktu terus akan ada film-film yang diangkat dari buku, content acara yang berkaitan dengan jagad showbiz dapat terus dipertahankan.

Di sela obrolan yang mengundang gelak tawa, dapat disisipkan segmen-segmen yang lebih bersifat intelektual. Misal mengundang pengamat atau dosen sastra sebagai narasumber tetap untuk meresensi buku dan mendiskusikan tema-tema penting soal dunia perbukuan, juga segmen berita-berita terbaru seputar buku dan para penulis. Bahkan bila perlu, ada segmen ala infotainment berisi gosip-gosip para penulis populer.

Dalam hal kanal televisi berita seperti Kompas TV, Metro TV, atau tvOne, dunia perbukuan bisa menjadi salah satu topik berita yang ditempatkan sebagai programa-programa pendukung di belakang acara-acara headline dan update berita. Selain ada mata acara berita khusus olah raga, dunia showbiz, atau gaya hidup, dapat ditambahkan pula siaran berita berdurasi singkat (15 atau 30 menit) khusus mengenai buku.

Dan andai kekhawatiran utama mengenai potensi ketidaklakuan adalah soal rating, maka ini bisa diawali dari kanal-kanal TV lokal yang bersiaran melalui jaringan TV satelit berbayar, yang ukuran komersialnya tak diukur dari apa kata ACNielsen. Bahkan pengelola jaringan TV berlangganan semacam K Vision, First Media, Indovision, atau Telkomvision seharusnya sudah melahirkan kanal TV khusus yang berkenaan soal buku, karena kanal TV mengenai otomotif, olah raga, ceramah agama, atau kuliner sudah ada sejak lama.

Pada intinya, pokok permasalahan di sini ada pada pola berpikir berbasis pada kemauan, dan pencarian jalan. Bukan semata “menunggu apa yang sedang cemerlang dan ikutan nyemplung di situ”. Orang seperti Rudi Soedjarwo tak akan menjadi tokoh penting bagi dunia perfilman Indonesia jika berkarakter demikian. Alih-alih merisikokan segalanya untuk merilis Ada Apa dengan Cinta? yang mendobrak 14 tahun lalu, ia pastinya akan lebih aman membuat sinetron telenovela saja seperti yang lainnya.

Dan di dunia pertelevisian Indonesia, sosok semacam itu baru ada pada diri Wishnutama di NET., tapi masa ya semua inovasi hanya datang dari sana? Ke mana RCTI, SCTV, Indosiar, MNCTV, duo Trans, dan ANTV...?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun