Dalam artikel terdahulu di rubrik ini, saya mewacanakan adanya suatu aktivitas baru di republik ini berupa game literacy atau literasi game. Ini menyikapi berbagai kegelisahan yang mengemuka di masyarakat berkait dengan permainan video (video game). Salah satu kasus termutakhir adalah aneka rupa peristiwa meresahkan terkait dengan peredaran game Pokemon Go.
Gagasan ini muncul berlandaskan pengalaman saya sebagai fasilitator literasi media bersama LeSPI (Lembaga Studi Pers & Informasi), sebuah LSM yang berbasis di Semarang, tahun 2011-2013 lalu. Dalam literasi media, kami menggugah kesadaran dan membuka wawasan masyarakat luas tentang efek media massa khususnya televisi. Hal serupa dapat dikerjakan pada permainan video interaktif atau yang biasa kita kenal dengan sebutan video game.
Ada beberapa alasan mengapa game literacy menjadi sangat penting. Pertama, masyarakat kita—dalam hal ini orangtua dan kalangan pendidik—sama sekali buta mengenai video game. Menganggap game sepenuhnya mainan anak kecil, kita memasrahkan total urusan ini pada anak-anak tanpa mau tahu apalagi ikut terlibat. Padahal video game tak sesederhana mobil-mobilan, boneka Barbie, atau mainan konstruksi Lego, yang kepada anak cukup kita belikan lalu sesudahnya kita bisa lepas tangan sepenuhnya.
Video game sama kompleks dengan film dan serial TV sebagai sesama sarana entertainment. Ada jenis, genre, dan klasifikasi game menurut usia pengguna. Sebagaimana tak semua film dan serial TV adalah buatan Disney dan Pixar yang aman untuk anak, demikian pula video game. Celakanya, anak terbiarkan menyentuh game-game yang seharusnya bukan konsumsi usia mereka karena keabaian orangtua. Dan orangtua abai karena sama sekali tak tahu apa itu game.
Mendidik kita semua agar melek terhadap game akan membuka wawasan yang selama ini tertutup. Kita tahu mana game yang laik dimainkan anak dan mana yang bukan. Maka kita sebagai orangtua akan memiliki kemampuan untuk menseleksi itu bagi mereka, sekaligus mengawasi aktivitas mereka dalam bermain game agar terkontrol (karena total melarang dan memblokir jelas hanya akan mencetuskan pemberontakan, terlebih bagi anak yang menginjak usia remaja).
Faktor kedua adalah karena, mirip sepakbola, pasar game sangatlah besar di Indonesia. Ini sumber devisa, andai bisa dikendalikan oleh negara. Dan yang ketiga, video game adalah bagian dari industri kreatif, dan potensi Indonesia dalam hal ini cukup bagus. Anak muda harus dididik untuk tak selamanya menjadi konsumen dalam urusan game, namun juga produsen, terutama di sisi kreatifnya yang berbasis orisinalitas—apalagi bila bisa menghadirkan nuansa keindonesiaan dalam percaturan game internasional.
Video game selama ini seperti sisi industri entertainment yang terlupakan oleh pemerintah Indonesia. Tak ada lembaga resmi yang mengawasi konten (semacam KPI untuk dunia penyiaran atau LSF untuk perfilman) dan tak ada pula campur tangan pemerintah dalam mendorong industri game asli Indonesia.
Dan karena tak ada yang mengawasi dan mengatur regulasinya, aktivitas market game pun mayoritas ada di black market yang tidak kena pajak. Tiap kali hendak membeli keping CD atau DVD software game (dan juga cartridge pada era konsol Nintendo dan Sega), satu-satunya tujuan gamers hanyalah lapak game bajakan. Maraknya barang bajakan dalam bisnis ini tak semata dikarenakan kurangnya pasokan produk orisinal bercukai, melainkan gap harga yang sangat jomplang.
Untuk diketahui, harga software game (dan juga software non-game) orisinal sangatlah mahal untuk ukuran orang Indonesia: selalu di atas Rp 300 ribu dan bahkan ada yang melewati angka Rp 1 juta. Dan karena DVD game jelas murni barang impor “build up”, maka harga toko di sini bisa jauh lebih mahal lagi, setelah terkena pajak, aneka macam cukai, dan beda harga dari distributor ke pengecer.
Sedang harga DVD game bajakan hanya Rp 40 ribu per keping (harga CD Rp 10 ribu per keping). Sekalipun ada kesadaran masyarakat untuk menjauhi barang bajakan, namun dengan beda jarak harga selebar itu, ujung-ujungnya para gamers jadi tak punya pilihan. Akan lain ceritanya jika beda harga tak terlalu jauh, Rp 25 ribu untuk keping CD ori dan Rp 10 ribu untuk CD bajakan di industri musik misalnya.
Maka kegiatan literasi mutlak harus diawali atau setidaknya dibarengi dulu dengan penataan regulasinya di tingkat Pemerintah. Ada lembaga-lembaga berwenang yang khusus memayungi dunia video game lengkap dengan lembaga pemberi label rating seperti ESRB (Entertainment Software Rating Board) di Amerika Serikat. Bila perlu harus ada pula UU Permainan Video Interaktif yang diundangkan parlemen dan Pemerintah.
Kemudian Pemerintah harus bisa menurunkan harga produk game orisinal untuk menggenjot pendapatan pajak dari sektor ini. Dan salah satu upaya untuk mewujudkan itu adalah dengan mengundang nama-nama besar game dunia seperti Sony, Nintendo, Microsoft, EA (Electronic Arts), atau Blizzard Entertainment untuk menanamkan modal di Indonesia.
Mereka dapat mendirikan industri masing-masing di sini, sejak perakitan perangkat pemain game dan peripheral-nya (komputer, tablet, konsol, joystick, gamepad, DVD, dll.) hingga pemrograman software-nya. Jika semua dapat dikerjakan di sini, harga jualnya pasti dapat ditekan serendah mungkin.
Plus, deal investasi pasti berkaitan dengan transfer teknologi. Maka selain terbukanya lapangan pekerjaan, kemunculan game-game bernuansa lokal Indonesia pun akan dengan segera terwujud. Maka bisa saja akan muncul game sejenis FIFA Soccer atau Winning Eleven tapi berjudul Indonesia Super League, game sejenis Age of Empires tapi mengisahkan ekspansi Majapahit di bawah Gajah Mada, atau yang sejenis simulasi The Sims namun bertutur tentang lingkungan RT/RW.
Seiring dengan penataan regulasi dan aspek-aspek legalitas di tingkat elit, kegiatan literasi dilakukan di tingkat akar rumput masyarakat. Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) dapat bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), lalu menggandeng LSM sebagai corong terdepan pelaksana aneka macam kegiatan.
Sebagaimana program literasi yang dilakukan terhadap media, literasi game pun terutama bertujuan agar warga, terutama orangtua dan kalangan pendidik, memiliki kemampuan self-censorsip terhadap permainan video interaktif. Dan itu hanya dapat dilakukan bila masyarakat mengenali betul seluk beluk dunia game.
Ada fenomena unik terkait kemampuan (dan kemauan) pengenalan ini. Dalam hal televisi, masyarakat tidak melek sekalipun setiap saat menyaksikan, sinetron dan infotainment misalnya. Sedang mengenai video game, publik mengalami fenomena yang tak jauh beda namun karena sama sekali tidak menjamah, sehingga butot alias buta total.
Karenanya, kegiatan game literacy bisa dimulai dari lingkungan neighborhood terdekat, yaitu di tataran RT dan RW. Bisa juga di sekolah, kampus, dan pondok pesantren. Lewat berbagai forum workshop, diskusi, seminar, dan sarasehan, publik diajak mengenal lebih dekat apa itu game. Di kampus, dosen dan mahasiswa didorong untuk memperlakukan video game sebagai bagian dari geliat sains, dan tak semata sebagai sarana hiburan pengisi waktu senggang.
Setelah publik melek terhadap game, langkah berikutnya adalah membentuk kelompok-kelompok pemantau video game. Sebagaimana kelompok-kelompok media watch memantau konten media dan melapor ke KPI atau Dewan Pers bila ada yang dianggap tak sesuai dengan norma masyarakat, para pegiat pantauan game melakukan hal serupa.
Kita pun bisa lapor saat muncul keresahan berkaitan dengan soal video game. Misal yang diakibatkan game-game tertentu seperti Pokemon Go atau Grand Theft Auto, atau soal warnet-warnet game online yang mengeruk keuntungan dari anak-anak tanpa peduli efek game yang dimainkan di sana pada mereka.
Masalahnya, untuk urusan video game, lapornya harus ke mana...? Kantor kelurahan? Polsek? Babinsa? Pos ronda? Puskesmas? Bidan? Bank prekreditan rakyat...?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H