Kemudian Pemerintah harus bisa menurunkan harga produk game orisinal untuk menggenjot pendapatan pajak dari sektor ini. Dan salah satu upaya untuk mewujudkan itu adalah dengan mengundang nama-nama besar game dunia seperti Sony, Nintendo, Microsoft, EA (Electronic Arts), atau Blizzard Entertainment untuk menanamkan modal di Indonesia.
Mereka dapat mendirikan industri masing-masing di sini, sejak perakitan perangkat pemain game dan peripheral-nya (komputer, tablet, konsol, joystick, gamepad, DVD, dll.) hingga pemrograman software-nya. Jika semua dapat dikerjakan di sini, harga jualnya pasti dapat ditekan serendah mungkin.
Plus, deal investasi pasti berkaitan dengan transfer teknologi. Maka selain terbukanya lapangan pekerjaan, kemunculan game-game bernuansa lokal Indonesia pun akan dengan segera terwujud. Maka bisa saja akan muncul game sejenis FIFA Soccer atau Winning Eleven tapi berjudul Indonesia Super League, game sejenis Age of Empires tapi mengisahkan ekspansi Majapahit di bawah Gajah Mada, atau yang sejenis simulasi The Sims namun bertutur tentang lingkungan RT/RW.
Seiring dengan penataan regulasi dan aspek-aspek legalitas di tingkat elit, kegiatan literasi dilakukan di tingkat akar rumput masyarakat. Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) dapat bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), lalu menggandeng LSM sebagai corong terdepan pelaksana aneka macam kegiatan.
Sebagaimana program literasi yang dilakukan terhadap media, literasi game pun terutama bertujuan agar warga, terutama orangtua dan kalangan pendidik, memiliki kemampuan self-censorsip terhadap permainan video interaktif. Dan itu hanya dapat dilakukan bila masyarakat mengenali betul seluk beluk dunia game.
Ada fenomena unik terkait kemampuan (dan kemauan) pengenalan ini. Dalam hal televisi, masyarakat tidak melek sekalipun setiap saat menyaksikan, sinetron dan infotainment misalnya. Sedang mengenai video game, publik mengalami fenomena yang tak jauh beda namun karena sama sekali tidak menjamah, sehingga butot alias buta total.
Karenanya, kegiatan game literacy bisa dimulai dari lingkungan neighborhood terdekat, yaitu di tataran RT dan RW. Bisa juga di sekolah, kampus, dan pondok pesantren. Lewat berbagai forum workshop, diskusi, seminar, dan sarasehan, publik diajak mengenal lebih dekat apa itu game. Di kampus, dosen dan mahasiswa didorong untuk memperlakukan video game sebagai bagian dari geliat sains, dan tak semata sebagai sarana hiburan pengisi waktu senggang.
Setelah publik melek terhadap game, langkah berikutnya adalah membentuk kelompok-kelompok pemantau video game. Sebagaimana kelompok-kelompok media watch memantau konten media dan melapor ke KPI atau Dewan Pers bila ada yang dianggap tak sesuai dengan norma masyarakat, para pegiat pantauan game melakukan hal serupa.
Kita pun bisa lapor saat muncul keresahan berkaitan dengan soal  video game. Misal yang diakibatkan game-game tertentu seperti Pokemon Go atau Grand Theft Auto, atau soal warnet-warnet game online yang mengeruk keuntungan dari anak-anak tanpa peduli efek game yang dimainkan di sana pada mereka.
Masalahnya, untuk urusan video game, lapornya harus ke mana...? Kantor kelurahan? Polsek? Babinsa? Pos ronda? Puskesmas? Bidan? Bank prekreditan rakyat...?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H