Munculnya game daring Pokemon Go dengan konsep permainan yang sangat baru dan orisinal segera saja disambut kehebohan di seluruh kalangan masyarakat. Dan sebagian besar di antara kehirukpikukan itu bernuansa negatif. Ini tak mengherankan, karena peristiwa-peristiwa yang tersorot oleh pemberitaan pun rata-rata adalah yang tak mengenakkan untuk dilihat.
Di Amerika Serikat, warga meleng mencari Pokemon dan tak sadar berduyun-duyun mendatangi kantor polisi. Bahkan ketika sesosok Pokemon yang langka melakukan penampakan di Central Park, New York, orang-orang meninggalkan mobil masing-masing dan berebutan mencari Pokemon bersangkutan sehingga menciptakan kekacauan lalu lintas.
Di Indonesia, efek negatif yang disorot—seperti biasa—berkaitan dengan norma. Anak jadi malas, orangtua jadi abai terhadap keluarganya, ibadah terlupakan, dan lain-lain. Bahkan muncul tulisan dari “Dekan Fakultas Psikologi UGM” tentang Pokemon Go(Blok) yang menuduh game tersebut sebagai grand design kelompok rahasia The Bidelberg Group dalam menguasai dunia dan mewujudkan NWO (New World Order). Muncul pula tulisan yang menyatakan bahwa “Pikachu” berarti “I am Jew”!
Bagi masyarakat yang awam video game, setiap kemunculan suatu game jenis baru pasti menimbulkan kegemparan. Tak hanya di sini, melainkan di setiap sudut dunia. Ini terjadi karena permainan video bertumpu pada teknologi yang perkembangannya menyesuaikan inovasi daya kreasi manusia selalu bisa melahirkan revolusi. Hal ini tak dimiliki para counterpart-nya sesama bidang seni dan entertainment.
Kapankah terakhir kali musik memunculkan revolusi? Kita harus balik lagi ke tahun 1955 saat Bill Halley menjadi salah satu perintis kelahiran rock’n roll lewat singel Rock Around the Clock. Sesudah itu hanya ada revolusi kecil ketika Run-D.M.C. dan LL Cool J melahirkan hip hop pada awal dekade 1980-an. Lalu inovasi murni hanya muncul dari pergantian nama superstar satu demi satu.
Di dunia film, revolusi hadir terakhir kali ketika muncul studio Pixar dengan film-film animasi komputer 3D yang realistis, dan menggantikan film animasi klasik 2D. Di dunia perbukuan bahkan sudah ratusan tahun tak ada revolusi sejak mesin cetak diciptakan Guttenberg tahun 1440-an—hanya ada nama superstar bergonta-ganti. Saat ini kita menjelang terjadinya revolusi penting, yaitu migrasi dari print book ke ebook, namun pergerakannya masih agak alot.
Video game, on the other hand, selalu bisa melahirkan revolusi seiring perkembangan berbagai perangkat keras dan lunaknya. Kemunculan game Spacewar ciptaan Steve Russell tahun 1962 direvolusi oleh Nolan Bushnell yang mencipta Pong awal tahun 1970-an. Bushnell kemudian membuat versi ding dong dari Pong dan lahirlah perusahaan besar Atari.
Kehadiran konsol alias komputer mini yang dikhususkan untuk permainan game di rumah, kemudian menghadirkan revolusi tanpa henti. Itu terjadi beruntun sejak kemunculan Magnavox Odyssey, konsol 8-bit dan 16-bit keluaran Sega dan Nintendo, kelahiran game watch (gimbot) yang mungil, hingga momen extraordinary saat Sony merilis PlayStation yang legendaris pada awal dekade 1990-an.
Kelahiran judul demi judul pun merupakan revolusi juga, karena inovasi dan dan hal-hal baru terus muncul seiring waktu, baik karena teknologi komputer grafis maupun karena gameplay-nya. Akhir 1980-an, publik dibuat terkesima oleh game-game berjenis platformer seperti Donkey Kong dan Cobra. Era 1990-an, gamers kaget saat memainkan Mortal Kombat yang kejam dan penuh darah.
Peralihan abad ditandai dengan maraknya judul-judul game yang bisa dimainkan beramai-ramai secara multiplayer (MMOG alias massive multiplayer online games). Kemudian muncul pula game-game berjenis sandbox semacam GTA (Grand Theft Auto), Mafia, atau serial The Elder Scrolls, di mana para pemain dapat menjelajah dunia virtual game sesuka hati (memasuki tiap rumah, meninju setiap orang, mencuri) tanpa harus terikat cerita dan rentetan misi.
Saat ini, revolusi muncul lewat headset Oculus Rift, yang memungkinkan para pemain tenggelam sepenuhnya dalam jagat virtual dan lepas total dari dunia nyata. Belum tuntas itu berlangsung, sudah muncul game yang memanfaatkan pelacak GPS (global positioning system) dan teknologi augmented reality, yaitu Pokemon Go itu.
Maka bagi yang rajin mengamati perkembangan game dari masa ke masa, kehebohan gara-gara Pokemon Go seperti yang terjadi saat ini sudah bukan barang baru. Dulu para orangtua juga hiruk pikuk saat Sega merilis konsol Mega Drive, saat Nintendo melahirkan GBA (Game Boy Advance), saat Mortal Kombat lahir dan memicu kontroversi, juga saat Rockstar Games hadir dengan GTA yang lantas dilarang beredar di banyak negara.
Namun bagi warga yang awam, kegemparan gara-gara game selalu menyentak dan bikin syok karena terasa seperti “baru kali ini terjadi” sehingga oleh karenanya “sangat merusak”. Tak aneh peristiwa demikian selalu membuat warga hancur menjadi butiran debu tak bisa bangkit lagi dan gampang terprovokasi hal aneh-aneh semacam tulisan “sang Dekan” itu tadi.
Andai cermat mengamati perkembangan game dan berbagai insiden yang mengiringinya, kita pasti akan paham bahwa yang terpenting bukan ada tidaknya game (termasuk ide melarang dan memblokir), melainkan daya tahan kita terhadap hal itu. Kita toh tak lagi ribut melarang-larang cacar, campak, dan difteri, namun cukup mengurus vaksinasi saja. Saat imunitas kita terhadap video game sudah tinggi, biar datang permainan yang secanggih apa pun, kita tak akan terpengaruh.
Lalu bagaimana imunitas itu dapat dimunculkan? Dengan melatih pengendalian diri. Game—sebagaimana seks, alkohol, dan narkoba—sangat bersifat adiktif. Maka gamer yang baik bukanlah yang bisa main nonstop dan menang terus, melainkan yang tahu mana waktu bermain dan mana waktu untuk bekerja. Kita toh tidak memutar film atau musik nonstop hingga belasan jam kan?
Game harus diposisikan seperti hiburan lain, yang (baru) kita nikmati bila waktu untuk itu memang ada (atau kita ciptakan agar ada). Orang dewasa yang sibuk bekerja (apalagi bila pekerjaannya menyenangkan seperti kami para penulis) pasti akan kesulitan menemukan waktu yang pas untuk ngegame. Kecuali bila ngegame sudah bisa dijadikan karier seperti di Korea.
Bahaya pasti lebih mungkin menyerang anak-anak, yang lebih labil dalam pengendalian diri. Maka menjadi tugas orangtua untuk mengambil ranah pengendalian tersebut. Bisa dengan membatasi penggunaan smartphone dan berbagai perangkat game terutama konsol, bisa pula dengan menerapkan “kuota” bermain game dalam hitungan waktu tertentu (dua jam perhari, hanya boleh ngegame pada hari Minggu dan tanggal merah, dan sebangsanya).
Begitu kekebalan sudah kita punyai, game (dan pada dasarnya semua hal, sedang semua hal pasti punya potensi efek negatif) hanya akan lewat sebatas fenomena untuk diamati, bukan lagi menjadi semacam musibah tak terelakkan. Keputusanuntuk ikut bermain atau tidak bukan datang dari beban (ikut main karena tak mau dibilang gaptek, tak main karena menolak untuk begina atau beginu), melainkan menjadi bagian dari hidup normal saja.
Seharusnya akan sangat baik andai tak hanya ada kegiatan edukasi berupa literasi media, melainkan juga literasi game. Ada begitu banyak manfaat yang bisa dipetik dari bermain game (memangnya cuman gobaksodor dan betengan yang bermanfaat?). Dan itu hanya bisa dicapai jika publik telah melek game sehingga tahu mana game yang berkualitas dan mana yang tidak.
Kekhawatiran bahwa video game membuat kita jadi makin individualistik pun bisa dihapus, karena banyak pula game berjenis MMOG yang mempertebal sifat komunal dan kolektif para pemain (bahkan dari berbagai belahan dunia) sehingga melatih rasa kesetiakawanan dan toleransi.
Nah, hal begini hampir tak ada yang tahu kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H