Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ketika Anak Tergaet Sinetron Dewasa

23 Juni 2016   21:20 Diperbarui: 24 Juni 2016   11:18 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Normalnya, suatu karya fiksi—dalam hal ini sinetron—diproyeksikan untuk suatu kalangan usia tertentu. Sinetron roman remaja, diperuntukkan bagi ABG. Kisah drama keluarga, disajikan untuk mereka-mereka yang sudah berumah tangga. Cerita anak pun pasti disuguhkan bagi yang masih anak-anak. Maka jika ada sinetron yang dapat dinikmati oleh pemirsa di luar target pemirsanya, berarti ada satu hal yang layak dibahas dari sinetron tersebut.

Dan ini terjadi di lebih dari satu judul, yaitu yang ditayangkan oleh NET. Sebagian besar sinetron prime time di stasiun TV yang dikomandani Wishnutama itu diperuntukkan bagi pemirsa dewasa, mulai dari Kesempurnaan Cinta, Tetangga Masa Gitu, Kelas Internasional, hingga OK Jek. Tak ada satu pun yang merupakan sinetron bagi anak. Anehnya, judul-judul itu asyik ditunggui anak-anak kecil.

Yang disebut anak-anak pun bukan yang sekadar mengikuti definisi PBB mengenai anak, yaitu siapapun di bawah umur 18 tahun, melainkan bahkan yang belum mencapai umur 9 tahun. Aku kali pertama menjumpai fenomena ini sekitar dua tahun lalu, saat NET. masih belum luas mengudara di seluruh Indonesia. Ponakanku di Jakarta, yang baru kelas II SD, asyik menyimak Tetangga Masa Gitu setiap hari. Usai tayangan regulernya di layar kaca berakhir, dia beralih ke komputer untuk nonton lewat YouTube.

Dan meskipun tokoh-tokoh, permasalahan, gaya percakapan, serta aksi-aksi komedi yang dipertontonkan di serial itu murni diperuntukkan bagi orang dewasa, ia bisa mengikuti ceritanya dengan baik. Berikutnya, ketika tayangan NET. sudah mencapai kota-kota di luar Jakarta, fenomena yang sama terjadi. Anak-anak di Magelang bernasib sama. Sinetron-sinetron NET. ditunggu seolah-olah itu tayangan 'milik' mereka sebagaimana Upin & Ipin atau serial-serial kartun di Cartoon Network.

Apa yang bisa dibaca dari fenomena ini? Yang paling awal saja, skenario dan teknik sinematografi sinetron-sinetron NET. mampu mengomunikasikan pesan dengan demikian baik sehingga dapat pula dipahami anak-anak kecil yang belum selewat level kelas IV SD. Dan itu dilakukan dengan sepenuhnya menggunakan bahasa gambar, alias tanpa memakai teknik 'membatin-monolog' yang berdasarkan pemeo jelasin segamblang mungkin biar penonton mudeng.

Ini adalah embrio rintisan menuju produk-produk entertainment yang mempunyai appeal luas, alias mampu menarik perhatian segala kalangan, meski tetap diperuntukkan bagi satu lingkup kalangan tertentu. Dan ini berarti menyasar pencapaian teknis yang dimiliki sinema Hollywood, baik layar perak maupun layar gelas (plus layar laptop dewasa ini, sesudah adanya Netflix).

Sinema Hollywood mengemuka dan menjadi barometer dunia karena kemampuannya dalam menggaet atensi banyak kalangan sekaligus. Film superhero Marvel dan DC memikat sejak orang dewasa hingga anak-anak kecil, tentu dengan memerhatikan juga aspek kekerasan yang dikandungnya. Sebaliknya, film untuk anak sebangsa Shrek atau Finding Dory menarik pula untuk disaksikan orang dewasa.

Demi mencapai tingkat yang seperti ini, sudah pasti diperlukan penguaaan teknis yang tidak simpel. Terlebih film atau sinetron adalah kerja tim, bukan pekerjaan individu seperti kami para pengarang saat menulis cerpen atau novel. Kerja tim berarti hal sekecil apa pun memerlukan koordinasi dan kerja sama yang baik, tak ubahnya satu tim sepakbola. Segala hal harus dirapatkan, diperdebatkan, dan diputuskan secara tepat untuk mendapatkan hasil seperti yang diinginkan.

Fakta menarik kedua yang dapat diamati adalah bahwa anak-anak tidak salah mempunyai ketertarikan pada Tetangga Masa Gitu dan kawan-kawan. Mengapa? Karena setelah kuamati—dan pengamatanku fair, bukan based on taste, karena aku pernah lama beraktivitas sebagai pegiat literasi media dan pantauan media, khususnya tayangan TV, khususnya sinetron—semua sinetron di NET. aman dikonsumsi segala kalangan terutama anak-anak.

Mereka semua memunculkan ketertarikan pemirsa lewat angle kisah keseharian yang logis dan manusiawi—sejenis dengan yang digunakan Si Doel Anak Sekolahan dan Bajaj Bajuri. Bukan dengan membenturkan dua kutub yang sangat bertolak belakang seperti yang dipakai sinetron-sinetron 'generik', yaitu orang superbaik (tapi bodo) melawan orang superjahat dilengkapi elemen-elemen cerita yang, karena harus sedramatik mungkin untuk memancing emosi, maka tak jadi soal bila seluruhnya jauh dari logika manusia umum planet Bumi.

Sinetron-sinetron NET. juga tak mengandung unsur yang jahat, yaitu kekerasan baik fisik maupun verbal. Tak ada tokoh yang dijambak, ditendang, dipukul, atau dibikin tertawa lalu mulutnya ditaburi tepung. Tak ada pula tokoh yang di-bully, dihina, difitnah, atau dibentak-bentak dengan kata-kata kasar yang rawan 'dipelajari' untuk dipakai anak-anak pada teman-temannya di sekolah.

Satu hal yang harus diingat di sini adalah bahwa istilah kekerasan bukan merujuk pada jenis adegan dan peristiwanya, melainkan muatannya (content), yang harus dilihat dari penerapan berdasarkan genre tayangan. Adegan kepala dipenggal adalah sangat sadis, tapi jika itu muncul di Game of Thrones yang bergenre laga-petualangan dan khusus untuk pemirsa dewasa, tentu lucu kalau itu dipermasalahkan lalu disensor atau diblur.

Sedang adegan orang mengata-ngatai orang lain dengan kata-kata kasar mungkin sepintas tak terlihat terlalu sadis. Namun itu jadi masalah ketika hadir di sinetron percintaan atau drama keluarga tanpa penjelasan yang memadai mengenai kekhususan sang tokoh (misal semacam “Memang omongannya sadis kayak gitu itu” sehingga pemirsa teredukasi untuk jangan mencontoh). Tanpa ini, bapak-bapak, ibu-ibu, dan remaja bisa mempelajarinya—baik sadar maupun tidak—untuk digunakan saat berkonflik di dunia nyata.

Sayangnya justru itulah yang terjadi sekarang. Hasil 'edukasi' itu nyata terlihat pada kebiasaan kita, terutama di media sosial sekarang ini. Kita jadi pintar bertengkar dan debat kusir, piawai mengata-ngatai orang lain seenak perut (komplet dengan diksi yang 'brilian'!), canggih dalam menindas, bahkan sudah pula mencapai level master dalam memfitnah!

Back to topic, apa yang telah dipertunjukkan oleh NET. melalui sinetron-sinetronnya adalah sesuatu yang sebetulnya harus menjadi benchmark produksi sinetron di Tanah Air, agar bisa mulai bisa menggeliat menyusul pencapaian drama Korea yang populis sekaligus berkualitas. Mereka membuat karya, dan penonton (baca: rating) mengikuti, bukan sebaliknya.

Oh, ya, FYI, ini sama sekali bukan iklan, karena kami—para pegiat literasi dan pantauan media—memang diharuskan gamblang menyebut merek. Jika harus mengkritisi sinetron dan memberikan penilaian 'thumbs down', segala merek termasuk stasiun penayang dan studio produksinya pun harus disebut jelas pula untuk menghindari fitnah dan ghibah—tak seperti kebiasaan infotainment yang hobi menyebut 'salah satu stasiun televisi swasta' atau 'sebuah pusat perbelanjaan'.

Sekaligus meng-counter pula feedback dari para pegiat (atau fans) sinetron 'generik', yang senantiasa menyebut tentang 'kenapa membenci dan merendahkan hasil karya anak bangsa?' terhadap setiap ulasan kritis tentang sinetron. Kami, tentu saja, akan lebih dengan senang hati mengapresiasi pencapaian positif seperti ini.

Unfortunately, that doesn’t happen very often...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun