Satu hal yang harus diingat di sini adalah bahwa istilah kekerasan bukan merujuk pada jenis adegan dan peristiwanya, melainkan muatannya (content), yang harus dilihat dari penerapan berdasarkan genre tayangan. Adegan kepala dipenggal adalah sangat sadis, tapi jika itu muncul di Game of Thrones yang bergenre laga-petualangan dan khusus untuk pemirsa dewasa, tentu lucu kalau itu dipermasalahkan lalu disensor atau diblur.
Sedang adegan orang mengata-ngatai orang lain dengan kata-kata kasar mungkin sepintas tak terlihat terlalu sadis. Namun itu jadi masalah ketika hadir di sinetron percintaan atau drama keluarga tanpa penjelasan yang memadai mengenai kekhususan sang tokoh (misal semacam “Memang omongannya sadis kayak gitu itu” sehingga pemirsa teredukasi untuk jangan mencontoh). Tanpa ini, bapak-bapak, ibu-ibu, dan remaja bisa mempelajarinya—baik sadar maupun tidak—untuk digunakan saat berkonflik di dunia nyata.
Sayangnya justru itulah yang terjadi sekarang. Hasil 'edukasi' itu nyata terlihat pada kebiasaan kita, terutama di media sosial sekarang ini. Kita jadi pintar bertengkar dan debat kusir, piawai mengata-ngatai orang lain seenak perut (komplet dengan diksi yang 'brilian'!), canggih dalam menindas, bahkan sudah pula mencapai level master dalam memfitnah!
Back to topic, apa yang telah dipertunjukkan oleh NET. melalui sinetron-sinetronnya adalah sesuatu yang sebetulnya harus menjadi benchmark produksi sinetron di Tanah Air, agar bisa mulai bisa menggeliat menyusul pencapaian drama Korea yang populis sekaligus berkualitas. Mereka membuat karya, dan penonton (baca: rating) mengikuti, bukan sebaliknya.
Oh, ya, FYI, ini sama sekali bukan iklan, karena kami—para pegiat literasi dan pantauan media—memang diharuskan gamblang menyebut merek. Jika harus mengkritisi sinetron dan memberikan penilaian 'thumbs down', segala merek termasuk stasiun penayang dan studio produksinya pun harus disebut jelas pula untuk menghindari fitnah dan ghibah—tak seperti kebiasaan infotainment yang hobi menyebut 'salah satu stasiun televisi swasta' atau 'sebuah pusat perbelanjaan'.
Sekaligus meng-counter pula feedback dari para pegiat (atau fans) sinetron 'generik', yang senantiasa menyebut tentang 'kenapa membenci dan merendahkan hasil karya anak bangsa?' terhadap setiap ulasan kritis tentang sinetron. Kami, tentu saja, akan lebih dengan senang hati mengapresiasi pencapaian positif seperti ini.
Unfortunately, that doesn’t happen very often...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H