Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tentara Manis di "Descendants of the Sun"

16 Juni 2016   12:05 Diperbarui: 16 Juni 2016   13:37 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau Anda bukan orang Jawa yang terbiasa makan makanan manis, lalu bisa benar-benar doyan saat suatu saat iseng menjajal gudeg asli Jogja yang luar biasa manis, maka gudegnya pastilah luar biasa. Seperti itulah yang terjadi saat aku mengikuti anjuran temanku Elvira Natali untuk sesegera mungkin nonton serial drama hit asal Korea Selatan, Descendants of the Sun (DotS).

Sebagai fans berat sinema Hollywood dan Inggris, baik layar lebarnya maupun sinetronnya, awalnya aku agak skeptis menilai drama Korea alias drakor. Pengalaman terakhirku mengakrabi drakor terjadi lebih dari 10 tahun lalu, saat aku masih di Tabloid Tren dan menulis tentang Endless Love dan Friends.

Berdasarkan kajian saat itu, drakor tidaklah beda jauh dari sinetron Indonesia, hanya lebih berani dalam eksplorasi ide, kedalaman cerita, dan produksinya tak berpemeo “dibikin ratusan episode sakkemengnya asal rating masih bagus”. Rata-rata drakor serupa dengan dorama (drama Jepang) yang berbentuk mini seri, alias tamat dalam kisaran 10 hingga 25 episode saja.

DotS mengubah total persepsi itu. Drakor ternyata maju jauh lebih pesat dari yang semula kuprediksikan. Tetap masih jauh dari level Game of Thrones, Da Vinci’s Demons, atau The Outlander, tapi jelas pula bukan tontonan remeh temeh. Bahkan aku langsung dibikin jatuh cinta cukup hanya lewat adegan-adegan awal episode pertama.

DotS berkisah tentang petualangan karier dan asmara Kapten Yoo Si-jin (Soong Joong-ki), kepala satuan khusus istimewa di Angkatan Bersenjata Republik Korea yang dinamai Tim Alpha. Saat libur dari tugas sesudah berhasil menyelesaikan misi pembebasan tentara Korea Selatan yang disandera serdadu Korea Utara, ia dan sidekick-nya, Sersan Mayor Seo Dae-young (Jin Goo), menangkap seorang maling dengan menggunakan senapan mainan.

Maling itu, Kim Gi-beom (Kim Min-seok), kemudian dilarikan ke RS Haesung dan ditangani dokter cantik Kang Mo-yeon (Song Hye-kyo). Bersama Sijin, Daeyoung kemudian menyusul ke Haesung setelah menyadari ponselnya dicopet Gibeom. Di sana, kesalahpahaman terjadi karena Moyeon mengira kedua cowok itu adalah gangster, yang membuat ia menolak menyerahkan ponsel Daeyoung pada Sijin.

Untung kesalahpahaman itu bisa diluruskan berkat kemunculan Letnan Satu Yoon Myung-ju (Kim Ji-won), ahli bedah militer yang rekan seangkatan Moyeon di rumah sakit dan mengenal Sijin serta Daeyoung sebagai sesama tentara. Asmara pun seketika menggelenyar antara Moyeon dan Sijin, yang harus tertunda sementara dengan penugasan Tim Alpha untuk membebaskan sandera di Afghanistan.

DotS dibuka dengan jurus adegan yang juga dipakai film action Hollywood, yaitu langsung mulai dengan aksi para hero, dalam hal ini misi Tim Alpha untuk membebaskan sandera. Dengan dialog ala militer yang lugas dan tidak baper (tidak ada anggota pasukan khusus masih sempat berteriak “Berani benar kau lakukan itu!” dan penjahat yang tertawa dengan mata mendelik) serta koreografi pertarungan berpisau yang oke, pemirsa langsung mendapatkan informasi jelas mengenai kapasitas profesi dan kemampuan Sijin dan Daeyoung.

Lalu kita dibawa masuk ke dalam situasi yang amat kontras, yaitu kehidupan mereka berdua saat tidak berseragam militer. Dan detik adegan ketika Sijin bertemu Moyeon dan Daeyoung bertatap muka penuh emosi dengan Myungju, tahulah kita bahwa DotS bukanlah drama eksyen sebagaimana NCIS: Los Angeles atau Marvel’s Agents of S.H.I.E.L.D., melainkan drama romantis yang menggunakan dunia kemiliteran sebagai latar belakang. Ini kebalikan dari rumus drama Hollywood yang dimainkan sebaliknya.

Meski demikian, DotS justru sangat efektif di situ. Romansa antara Sijin dan Moyeon disusun dengan pendekatan yang amat realistis tapi selalu berhasil menemukan momen-momen apik yang original, alias (setahuku) belum pernah dipakai di drama-drama lain. Contohnya seperti kecepatan gerak Sijin yang menyentil ponsel dari tangan Moyeon dan lalu menangkapnya. Juga saat jari keduanya tak sengaja saling sentuh ketika sudah mulai mengobrol akrab.

Selain itu dialog mereka juga bernas dan cerdas, dan dengan tepat menunjukkan saling ketertarikan yang begitu cepat terjalin karena keduanya sama-sama berlatarbelakang tidak biasa. Sijin yang tentara tak punya pacar karena terus sibuk bertugas di medan perang, sedang Moyeon juga jarang berkencan karena waktunya tersita untuk menyelamatkan pasien.

Secara umum DotS sangat enak dinikmati karena betul-betul dibuat dengan sebaik mungkin. Setiap scene, setiap angle gambar, setiap patah kata dialog, dan setiap ekspresi pemain, semua nampak benar direncanakan dengan detail. Tak seperti dalam sinetron kita yang cukup mengandalkan close up wajah dan seluruh scene-nya cukup berisi orang berdiri berjajar-jajar lalu saling bicara, mirip blocking teater panggung atau dagelan Srimulat.

Tak heran serial drama ini menjadi hit di seluruh Asia dan memenangi beberapa ajang anugerah hiburan terkemuka. Sukses di Korea kemudian membuatnya ditayangkan di 32 negara lain di seluruh dunia, di antaranya Tiongkok, Jepang, Malaysia, dan Thailand. Diproduksi Next Entertainment World, serial ini dibesut duet sutradara Lee Eung-bok dan Baek Sang-hoon dengan skenario dikerjakan oleh Kim Eun-suk dan Kim Won-seok.

DotS ditayangkan di jaringan televisi KBS2 antara tanggal 24 Februari hingga 22 April 2016, dan mengudara sebanyak 16 episode tiap Rabu dan Kamis pukul 22 waktu Seoul. Meski mencatat rating tinggi, tak ada seorangpun dari pihak produser maupun stasiun TV yang lantas memanfaatkan momentum dengan memperpanjangnya menjadi di atas 20 episode menjadi maksi seri atau bahkan opera sabun.

Itu karena keenambelas episode DotS sudah tuntas “dibungkus” semuanya sebelum ditayangkan. Proses pengambilan gambarnya sendiri dimulai tanggal 12 Juni 2015 dan berakhir pada pagi hari tanggal 30 Desember tahun yang sama. Jadi begitu keseluruh rangkaian cerita berakhir pada episode ke-16, Descendants of the Sun juga tamat penuh. Popularitas kemudian memang membuat KBS menayangkan tiga episode tambahan, tapi bukan bagian atau lanjutan dari cerita utama, melainkan berisi sorotan adegan terbaik dan momen-momen behind the scene-nya.

Bahkan rencana untuk membuat sekuel pun terang-terangan ditolak oleh kedua pemain utamanya, yaitu Soong Joong-ki dan Song Hye-kyo, karena kendala jadwal. Sang penulis skenario, Kim Won-seok, juga tak mau lagi melanjutkannya, karena ia merasa sudah tuntas mengisahkan seluruh kisah Sijin dan Moyeon yang perlu ia tuliskan.

Karena itu, jika pihak KBS tetap bersikeras untuk melanjutkan rencana membuat sekuelnya tahun depan, mereka akan melakukannya dengan alur cerita dan para pemain yang sepenuhnya baru. Ini mirip yang terjadi di Hollywood pada serial top True Detective. Musim kedua serial itu sudah tak lagi dibintangi Woody Harrelson dan Matthew McConnaughey serta menghadirkan alur cerita berbeda.

Sayang keeleganan DotS terganggu oleh dunia entertainment Korsel yang seperti terlalu fanatik pada anak-anak muda cute. Nyaris semua cast utamanya bertampang manis ala boyband dan girlband. Bahkan maling pun manis. Dan pemilihan Joong-ki sebagai dedengkot militer jelas mengundang kernyit di dahi.

Tentara semanis itu? Casting director DotS harusnya mencari aktor berwajah tampan tapi gahar semacam Nicolaj Coster-Waldau (pemeran Jamie Lannister di Game of Thrones) atau Brett Dalton (Agen Ward di Agents of S.H.I.E.L.D.) untuk peran Kapten Sijin. Tapi mungkin saja andai tak diisi para bintang bertampang imut, para penonton ABG bakal ogah menyimak.

Pada akhirnya, menikmati sesuatu yang semanis Descendants of the Sun adalah mirip perjalanan wisata senang-senang. Semua unsur terhibur. Mata oleh para bintang imut, suasana hati oleh kisah cinta yang indah, dan juga kuping oleh lagu-lagu soundtrack yang easy listening. Satu yang belum tersentuh adalah otak, oleh hal-hal yang menyentak dan menjambak seperti hobi aneh Paus Sixtus di Da Vinci’s Demons, penyiksaan terhadap Segovax di Spartacus, atau tombak yang menembus wajah di episode kedua musim keenam Game of Thrones.

Untuk menuju ke sana, para sineas drakor agaknya masih harus melewati waktu yang agak lama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun