Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Mencoba Memahami Jajanan Anak-anak

29 Mei 2016   21:42 Diperbarui: 29 Mei 2016   22:42 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Goodreads.com

Novel, sebagaimana jajanan, juga tersegmentasi. Ada target tertentu yang dituju, di mana dia berfungsi sangat baik pada tingkatan itu, namun tidak pada tingkatan yang lain. Karena itu penilaian kepadanya harus dilihat pula pada ranah tersebut, dan tidak semata pada eksistensinya secara utuh dan bulat.

Membaca Refrain karya Winna Efendi adalah seperti memahami arti penting jajanan anak-anak bagi anak-anak. Inilah saatnya kita belajar berempati dan mengamati sesuatu tak melulu dari persepsi dan perspektif masing-masing. Kita harus rehat sejenak berada dalam posisi orangtua yang berkernyit dahi sambil bertanya “Enaknya di mana sih?” pada anak yang menikmati pasta cokelat atau permen jelly.

Sebab novel semacam ini memang bakal mengundang kerutan dahi bagi khalayak di luar target market-nya, namun tidak dalam lingkungan “habitat”-nya. Di teritori itu, ia tak beda jauh dari keberhasilan kafe bernuansa romantis pada tanggal 14 Februari: disesaki pengunjung bukan selalu karena masakan berkualitas, melainkan karena pas secara fungsi.

Dalam sebagian besar bagiannya, Refrain mengandung semua elemen yang bagaikan wajib harus tersaji pada novel-novel roman remaja Indonesia: SMA swasta elit, pelajar SMA bermobil mewah, murid baru yang cantik, tim cheerleaders dan geng cewek-cewek populer yang glamor, serta kapten tim basket idola para siswi. Ini sekaligus juga satu lagi cerita bertema “mulai merasa aneh pada sahabat dan tetangga sendiri”.

Sepasang sahabat dan tetangga itu adalah Nathaniel Wiryawan alias Nata dan Nikola Ciputra alias Niki. Mereka bersahabat sejak kecil, dan tiap malam hang out di tempat permainan trampolin. Saat berumur 16 tahun dan Niki gemar berdandan, Nata mulai merasakan sesuatu berubah pada dirinya tiap kali melihat sahabatnya yang mendadak terlihat cantik itu.

Lalu di sekolah mereka, SMU Harapan, hadir murid baru yang berdarah bule, Annalise Putri, anak dari model internasional Vidia Rossa yang diidolakan Niki. Anna naksir Nata, tapi Nata sudah telanjur jatuh hati pada Niki. Dan situasi jadi runyam ketika, pascapertandingan bola basket antara tim SMU Harapan dengan SMU Pelita, Niki diajak kenalan kapten tim basket lawan, Oliver Saputra yang ganteng dan tajir.

Nata kian uring-uringan ketika Niki kemudian jadian dengan Oliver. Dan sesudah dua kali perasaan terpendam terkuak dengan cara yang hampir sama serta insiden memilukan yang dialami Niki di acara prom night SMU Pelita, Nata harus mengorbankan perasaannya pada Niki dengan melanjutkan kuliah ke tempat yang sangat jauh. Ke mana lagi jika bukan Amerika Serikat.

Refrain disusun dengan suasana yang serba beraroma internasional. Majalah Elle yang khusus dipesan dari luar negeri, ibunda yang sibuk berkarier di Eropa, dan para tokoh yang ngemil stroberi dicelup cokelat, marshmallow, serta gelato matcha, dan bukan ceriping singkong, emping melinjo, atau apalagi rondho royal. Mereka pun libur dua bulan selama musim panas (dan bukan kemarau).

Lalu, pada akhir masa pendidikan SMA, para siswa senior (dan bukannya murid kelas XII) mengenakan gaun pesta dan tuksedo serta datang dengan limousine ke acara prom night (dan bukan pesta perpisahan di rumah salah satu murid). Pada satu titik, kita terpaksa harus kembali meyakinkan bahwa lokasi cerita adalah di DKI Jakarta, bukan New York atau San Fransisco.

Di luar situasi kebatinannya yang sangat mengidolakan keeropaan dan keamerikaserikatan, Winna cukup piawai memainkan berbagai elemen khas cerita drama percintaan. Ada cinta terpendam dan kata-kata yang tak terucapkan (Anna tentang perasaan Nata terhadap Niki, dan Nata pada Niki tentang siapa yang lebih dulu merasakan arti jatuh cinta) dan ending ala cerita fairy tale (putri yang menerima tindak kekejaman di kastil musuh dan diselamatkan knight in shining armor).

Pada tataran “jajanan anak-anak untuk para anak-anak”, unsur-unsur ini sangat efektif memancing emosi dan simpati pembaca. Ditambah dengan efek Amerikanisasi yang menjadikannya punya proksimitas psikologis yang kuat bagi para ABG, Refrain adalah sebuah suguhan yang sangat pas bagi target marketnya. Tak heran novel ini laku keras dan dicetak berulang kali hingga lima tahun sesudah rilisnya pada tahun 2009 (yang kubaca adalah edisi cetul ke-23) lalu difilmkan.

Secara umum, menikmati Refrain terasa bagaikan diajak keliling kota Jakarta namun dengan mata tertutup. Tak ada kejelasan semua lokasi berada di sebelah mananya Jakarta—SMU Harapan, kompleks perumahan tempat tinggal Niki dan Nata, berapa jauh SMU Pelita dari rumah Niki. Kecuali monumen kuno di Jakarta Pusat dan mal Senayan City, berkeliling mengikuti kegiatan para tokoh Refrain mirip jalan-jalan di Jakarta tanpa pakai Google Map.

Anonimitas juga menjadi hal lazim di sepanjang rute cerita. Hampir tak ada sebutan nama yang jelas dan lengkap untuk segala sesuatu. Hanya ada “sebuah kafe gelato”, “24-hour cafe di lantai bawah”, atau “salah satu sekolah musik terbaik di Amerika”. Dan beberapa istilah terasa lucu karena kurang teknis, seperti “sesi kedua” pertandingan basket dan “juara basket paling jago”.

Ini kelemahan yang sangat elementer. Padahal cukup dengan nanya teman  yang hobi sport (atau ke Mbak Wiki), kita akan tahu bahwa pertandingan basket dibagi dalam empat quarter. Dan titel juara cabor ini berlaku untuk tim, bukan individu. Seorang pemain menerima penghargaan individu berupa gelar MVP (most valuable player) atau berdasarkan statistik (pencetak skor, rebound, atau steal terbanyak).

Dan ada pula satu hal yang seharusnya potensial namun malah mengundang tanda tanya, yaitu aplikasi Nata ke sekolah musik luar negeri di AS tersebut. Ia mengirimkan lamaran dilampiri demo tape saat masih aktif sekolah, lalu menerima surat pemberitahuan bahwa lamarannya diterima pada sekitar momen kelulusan SMA.

Aku pun tak tahu bagaimana detail hal seperti ini. Mungkinkah kejadiannya berlangsung dengan prosedur demikian? Tidakkah pihak universitas luar negeri itu mensyaratkan ijazah SMA dulu sebagai kelengkapan lampiran surat lamaran menjadi mahasiswa? Dan tentu ada masa seleksi ketat yang pastinya tak berlangsung singkat, bukan? Can anyone tell me? Puh-lees..!

Padahal jika hal ini bisa diinformasikan detail berdasarkan riset mengenai penerimaan mahasiswa baru ke Juilliard atau Berklee Music School, pembaca yang hobi musik akan bisa sungguh-sungguh memanfaatkannya untuk daftar sungguhan ke Amrik.

Dalam hal keantahberantahan, anonimitas, dan inakurasi fakta (harus menyempatkan diri untuk bertelepon pada era media sosial, pergi kuliah full selama lima tahun tak pernah satu kali pun mudik), Refrain tidak sendiri. Mayoritas novel yang ditulis penulis remaja mengandung anasir-anasir serupa. Dan mau tak mau ini memang harus dimaklumi, jika diingat betapa cerita-cerita itu mungkin saja ditulis saat sang pengarang masih berumur 13 atau 14 tahun.

Kesalahan jelas sepenuhnya tak berada di pundak para penulis ABG itu, melainkan ortu dan guru. Jika mereka peka pada minat bakat anak-anak, pada peran inilah mereka seharusnya masuk sebagai mentor. Tugas mereka memberikan arahan mengenai gambaran dunia nyata yang sesungguhnya, agar bisa dihadirkan akurat melalui karya fiksi, bukan melulu hanya meributkan masalah rengking berapa, nilai berapa, atau “cuman soal kayak gitu aja kok ndak bisa!?”.

Winna dan Refrain adalah pengingat agar para pembaca yang berada di luar target marketnya harus mulai belajar untuk melihat segala sesuatu berdasarkan perspektif orang lain, bukan semata dari angle dan ukuran standar diri sendiri. Jika itu yang dilakukan, novel seperti ini pasti akan mengundang kernyit dahi dan gumaman “Kayak gitu enaknya di mana sih?”.

Instead, kita harus membacanya dengan pemahaman seperti kutipan salah satu film Hollywood tentang “If you want to catch a rabbit, you have to think like a rabbit”. Jika kita bisa menyimak Refrain dengan asas pikiran kaum ABG, kita akan mudeng mengapa kisah cinta Niki dan Nata begitu menyentuh relung kalbu.

Di sisi itu, coretan tangan, eh... ketikan laptop Winna Efendi cukup efektif dan berkhasiat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun