Hari Rabu ini tadi tanggal 18 Mei, aku diundang untuk mengikuti acara Temu Penulis Magelang, gelaran Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi (KPAD) Kota Magelang. Acara berlangsung di Gedung Kyai Sepanjang, Jl. Kartini nomor 4 Magelang, dan menghadirkan para penulis asal Magelang yang sudah berkiprah di dunia kepenulisan nasional.
Mereka adalah Gin Teguh yang menulis novel Bulan Merah, Annisa Andrie (novel Menikahlah Denganku), Salma Salsabilla eks penulis cilik novel KKPK yang sekarang sudah di SMA Negeri 4 Magelang, Agus Mulyadi dedengkot Mojok.Co, dan aku. Bintang lapangan sudah jelas si Gus Mul. Aku ketawa nggak berhenti mendengar obrolannya yang mirip pelawak, terutama pas menceritakan ia disuruh nyanyi di telepon oleh Danang & Darto dari Prambors.
Tagline acara itu adalah “the more you read, the more you write”, dan aku menambahkannya menjadi “the more you write, the more you learn”. Satu hal yang paling tak terduga dari sekian tahun mengetik (terutama fiksi) adalah bahwa membuatku mempelajari banyak hal, termasuk yang paling tak disangka-sangka dan diharapkan.
Ini jelas revolusi mental. Selama ini, tiap kali kita bicara soal belajar, yang seketika terpikir pasti dua hal: membaca dan dengerin ceramah. Maka sekolah sejak PAUD sampai perguruan tinggi pun mostly diisi dua hal itu. Tak ada lagi metoda lain. Palingan hanya ada praktik (learning by doing), dari apa yang sudah dibaca dan diceramahkan guru di kelas.
Surprisingly, dalam beberapa hal, menulis memungkinkan kita untuk mempelajari banyak hal dengan kapasitas yang jauh lebih besar dan inovatif daripada yang mungkin kita dapatkan dari kedua metoda konvensional itu. Syaratnya satu: nulis tentang hal-hal yang tidak atau belum kita ketahui. Sepanjang 24 buku (14 di antaranya novel), aku telah berkali-kali membuktikannya.
Contoh, buku pertama, Panduan Praktis Membuat Homepage dengan Microsoft FrontPage 2000 yang terbit tahun 2001. Buku itu berisi panduan step by step, padahal aku sama sekali tak mudeng apa itu homepage, let alone membuka FrontPage. Maka aku benar-benar belajar sejak dari enol. Dan pertama kalinya aku menjamah FrontPage adalah ya dalam rangka belajar itu.
Hasilnya? Bisa, tentu saja. Homepage-nya bisa beneran tersusun, termasuk cara-caranya mengunggah materi ke online dengan teknologi upload kala itu, yang tentu belum secanggih sekarang. Ketika itu belum ada medsos, belum ada blog, belum ada YouTube. Dan aku antar naskah sebesar 4 MB menggunakan empat keping disket kecil yang masing-masing berkapasitas 1,44 MB trus diurutkan dengan WinZip!
Hal spektakuler kedua yang kupelajari adalah waktu menulis buku Saranghae Yo: Super Junior & SNSD dengan nama pena Hangguk Nim tahun 2012. Ini jelas fenomenal karena aku menulis soal K-pop dalam posisi setengah sengit pada K-pop yang penuh cowok cantik dan lagunya tak melodius sama sekali—hanya mengandalkan koreo, paras, dan variasi bunyi dentam.
Tapi berhubung kerja, ya harus profesional. Kita tak bisa selalu membawa-bawa urusan personal ke lapangan, pasti nanti mainnya nggak bagus dan gampang di-intercept full back atau center back lawan. Maka aku pun belajar soal K-pop dari enol sama sekali. Dan pertama kalinya aku dengar lagu Mr. Simple atau Sorry, Sorry ya dalam rangka belajar itu (termasuk mengakui bahwa Yoona memang ehem sekali!).
Unsur kedua yang kupelajari saat menulis buku ini adalah skill dan stamina menulis dikejar tenggat yang amat emejing banget. Bayangin! Aku menerima orderan buku itu dari Mbak Retno, editor Elex Media, hari Jumat sore. Dan ia mengharap seluruh naskahnya sudah dia terima Senin sore. Berarti aku hanya punya waktu sekitar 72 jam menulis buku setebal 120 halaman tentang hal yang sama sekali tak aku mudengi.
Berhasil? Ya enggak lah. Edyan po? Barry Allen mungkin bisa nulis secepat itu. Aku jelas tidak. Naskahnya telat sehari, dan banyak salah-salah yang kemudian harus direvisi hihi... Tapi at least aku tahu bahwa anggota Suju itu ada 13 dan SNSD sembilan lalu kepanjangannya adalah Sonyeo Sidae!
Meski tak semenggetarkan dua buku itu, pengalaman nulis novel juga menghadiahkan banyak pelajaran baru. Itu terutama karena buku-bukuku lintas genre, dan lintas tema. Maka aku pun mempelajari sepakbola (saat nulis The Rain Within dan The Sweetest Kickoff), badminton (Grashopper), dunia produksi sinetron (Fade in Fade out), dan bahkan alam semesta lelembut (www.gombel.com).
Pengalaman itu membuktikan bahwa menulis tak semata soal mengekspresikan diri atau mengabadikan dan mendistribusikan informasi, melainkan juga soal pembelajaran. Kita berkesempatan untuk mempelajari banyak hal lewat menulis. Dan mempelajari sesuatu lewat menulis justru menghasilkan output yang lebih baik daripada jika melalui metoda belajar-mengajar tradisional.
Kok bisa? Sebab otak kita sibuk dua kali. Pertama pas menerima dan mengumpulkan informasi. Dan kedua pas menuliskan kembali semua informasi itu dengan kata-kata kita sendiri. You see? Yang pertama itu merupakan aktivitas otak kita saat belajar dengan cara tradisional, yaitu membaca dan mendengarkan ceramah.
Pada tahap pertama, informasi kemungkinan besar lenyap ketika keperluannya sudah berakhir. Mirip dengan file-file lama yang bisa kita hapus dari hardisk karena sudah tak terpakai. Namun ketika semua info itu kita olah lagi dalam bentuk tulisan, semua akan tersimpan permanen meski kemungkinan besar kita tetap tak bisa menghapalkannya urut kacang satu demi satu.
Sebagai contoh, setelah 15 tahun berlalu, aku sudah tak ingat lagi gimana proseduralnya membuat laman menggunakan FrontPage, atau software lain yang serupa. Namun bilamana diperlukan, aku tinggal membaca ulang semua informasi terkait dan semua kepingan puzzle akan langsung tersusun otomatis dengan sendirinya karena pemahaman mendasarnya sudah nempel permanen.
Metoda learning by writing ini tentu sangat pas diterapkan di sekolah dan kampus. Tentu tidak dengan sebatas menulis resume mengenai apa yang ada di buku, melainkan menuliskan hal-hal yang diinginkan oleh guru/dosen agar diketahui muid/mahasiswa. Normalnya tentu hal-hal yang belum diketahui siswa.
Misal menulis biografi singkat H. Oemar Said Tjokroaminoto untuk pelajaran sejarah, menulis upaya Carl Linnaeus menyusun binomium nomenklatur di pelajaran biologi, atau tentang kaitan antara diferensial integral dan kapal antariksa di mapel matematika.
Murid yang belum tahu akan menyerap info-info baru. Dan jika risetnya lewat internet, pasti akan ada banyak sekali hal-hal remeh menarik (trivia) yang didapat, seperti Newton yang jomblo abadi, atau penduduk asli Amerika yang tumpas karena cacar (dan bukan oleh koboi!).
Sedang murid yang sudah tahu akan mengerjakannya dengan penuh semangat karena tengah membahas hal yang sangat dia kuasai (misal penggemar Star Wars yang disuruh nulis tentang kapal antariksa tadi).
Ini bisa dilakukan sebagai selingan agar siswa tidak jenuh. Hanya karena belajar matematika kan tak lantas berarti 100% alokasi waktu cuman dipakai untuk ngituuung terus. Dan hanya karena sedang belajar sejarah, tak lantas berarti murid hanya sekadar disuruh menghapal nama-nama dan angka tahun tanpa henti. Nanti mereka bisa lelah.
Menulis membuat otak jadi sibuk. Dan itu baik bagi dia, serta orang yang membawanya. Lagipula, kalau tidak dilakukan sungguhan, siapa yang bisa tahu bahwa dirinya ternyata punya talenta dan skill “gawan bayi” yang cukup bagus dalam hal menulis?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H