Sara meneguk ludah. “M-maksudmu apa?”
“Mereka perlu daging untuk dimasak, dan aku mencarikannya untuk mereka. Di mana? Di jalanan. Banyak yang terbuang di dunia ini. Yang hidup sendiri dan tak akan ada yang mencari seandainya hilang. Yang orang normal sungguh berharap, dunia akan sedikit lebih baik andai mereka tak ada. Gelandangan, anak jalanan, pengedar narkoba, penjahat jalanan, predator pedofil. Tugasku mengambil dan mempersiapkannya sehingga bisa kukirim dalam paket praktis siap masak.”
Sara terbatuk hebat. “Demi Tuhan! Maksudmu, itu daging orang!?”
Toni menunduk dengan ekspresi dingin. Datar. Ia mengangguk.
“Dan untuk harga empat kali lipat, aku juga menerima pesanan untuk target tertentu—orang-orang yang ingin nama-nama tertentu dieliminasi. Dihilangkan, dari muka Bumi, permanently. Mungkin pesaing untuk jabatan di kantor, menantu atau mertua yang mengerikan, orang yang memikat kita dengan pelet, sahabat yang membawa lari harta, istri, suami. Dan juga Dylan.”
Sara menatap Toni dengan tangan bergetar. “Ap-apa?”
“Dylan Firmansyah. Mantan yang sakit, yang selalu menerormu selama ini dengan telepon tengah malam, mengirim paket berisi sbangkai ayam, dan meneror pula siapapun pria yang tengah dekat denganmu. Aku juga pernah dia teror, lewat inbox FB. Tentunya kau mau manusia semacam itu dihilangkan saja, bukan?”
Wajah cantik Sara yang berkulit bersih memucat. “Memang Dylan kenapa?”
“Well, kita baru saja menyantapnya sebentar tadi... yang kaubilang sebagai masakan dari Nirwana.”
Dua tangan Sara mendekap mulut. Perutnya mual.
“Dan pertanyaannya...” Toni mengambil entah dari mana sesuatu yang berbentuk seperti pisau bedah, “...Akankah kau masih bersamaku setelah ini? Jika tidak, tentu aku tak bisa membiarkan kau masih memberi ceramah motivasi sesudah ini. Aku sayang padamu, percaya padamu, tapi aku tak bisa ambil risiko ada yang dengar pekerjaanku dari kamu...”