“Alma.”
Foto wajahnya muncul di layar.
“Halo? Kamu di mana?”
Aku berlarian meninggalkan meja.
“Hans! Mau ke mana!?”
Tak kupedulikan teriakan Wanda. Kulintasi pintu kantor sambil kembali memakai masker.
***
Aku membuka pintu, dan kekelaman berwarna merah kecokelatan menyambutku di atap gedung Century Tower yang berlantai 25. Angin berhembus kencang, menerpakan debu-debu halus ke arah wajah dan rambutku. Kulihat dia ada di sana, seperti yang dikatakan barusan di telepon, berdiri mematung seorang diri menatap langit, tepat di pusat helipad. Bukannya berlindung di kantornya, production house NE Entertainment di lantai 10 gedung ini, dia malah sengaja menantang debu di luaran. Bergegas kudekati dia.
“Alma, lagi ngapain di sini? Ayo, masuk! Udara nggak sehat. Abu vulkanik mengandung kristal kaca silika.”
Alma bergeming. Gadis berambut indah yang sudah sejak lama mengisi hari-hariku itu menoleh sekilas, lalu kembali menatap langit. Ia mengenakan kaca mata dan masker.
“Apa bedanya? Toh kita semua akan mati tak lama lagi. Bahkan kerajaan manusia akan berakhir dalam masa hidup kita. Tragis, bukan? Ternyata seperti ini rasanya menyongsong Kiamat yang sudah diramal dalam semua kitab suci itu...”