[caption caption="Logo Himpena (Himpunan Penulis Indonesia)"][/caption]Setelah melalui serangkaian persiapan yang matang, akhirnya asosiasi bagi para penulis dan pengarang di Indonesia, yaitu Himpena (Himpunan Penulis Indonesia), resmi terbentuk tanggal 13 Maret 2016 lalu. Tempat pembentukannya bukan di kota besar metropolis, melainkan di kawasan wisata edukatif Desa Bahasa, di keasrian Dusun Ngargogondo, tak jauh dari Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang terkenal itu.
Acara itu dibarengkan dengan diskusi novel teranyarku, Remember December. Setelah deklarasi, kepengurusan inti langsung terbentuk. Sebagai ketua adalah Hani Sutrisno, pendiri Desa Bahasa. Lalu wakil ketuanya novelis dan DJ Yozar F Amrullah. Aku pegang posisi sekretaris. Sedang bendahara dijabat oleh novelis Aulia Hazuki.
Ini merupakan pengurus perintis, yang bertugas meletakkan fondasi yang kokoh bagi Himpena nantinya. Pengurus ini akan bekerja dalam masa bakti dua tahun, dan salah satu misinya yang paling utama sebelum purnabakti pada 2018 nanti adalah menyelenggarakan kongres atau musyawarah nasional yang membentuk kepengurusan dewan pimpinan pusat (DPP) dan lalu kepengurusan di semua provinsi dan kota/kabupaten di seluruh Indonesia.
Sekarang ini, program jangka pendek Himpena masih berkutat di seputar organisasi. Mulai dari AD/ART, legalitas hukum, pengakuan pemerintah bahwa Himpena adalah asosiasi profesi yang sah untuk para penulis, hingga rekrutmen member sebanyak mungkin serta sosialisasi lembaga lewat berbagai acara, baik yang diadakan sendiri maupun bergabung dengan acara milik lembaga lain (misal Rumah Media).
[caption caption="Suasana deklarasi awal Himpena di Desa Bahasa, Borobudur, Magelang, 13 Maret 2016"]
Jawaban tergampang bagi pertanyaan itu berkaitan dengan soal kepantasan dan kewajaran. Tak ubahnya kalau anak esde saja punya tas, akan aneh kalau ada mahasiswa tidak punya tas, dan berangkat kuliah dengan mbrengkut semua buku di-cengkiwing pakai tangan. Seperti sudah kupaparkan dalam tulisan sebelumnya, tampaknya semua profesi memiliki asosiasi, kecuali penulis (terutama penulis buku; dan pengarang).
Ini bukan hanya soal gagah-gagahan berorganisasi, namun lebih pada kebulatan tekad untuk satu suara mengenai berbagai hal penting berkaitan dengan dunia kepenulisan dan perbukuan, terutama mengenai kesejahteraan. Banyak yang bisa dikerjakan untuk meningkatkan kesejahteraan para penulis dan memajukan dunia perbukuan dan penerbitan secara umum.
Yang paling awal tentu melalui gerakan-gerakan bersifat politik, untuk mendorong pemerintah agar lebih ramah pada dunia perbukuan, misal dengan penghapusan aneka macam pajak di industri buku termasuk pajak bagi royalti penulis buku.
Kalau pajak-pajak dilenyapkan, maka harga jual buku akan bisa ditekan serendah mungkin sehingga daya beli buku masyarakat meningkat. Dan peningkatan daya beli akan berkontribusi tak saja pada kegairahan industri penerbitan sekaligus kemakmuran para penulis, melainkan juga pada minat baca yang masih sangat memprihatinkan di negara ini.
Di luar itu, banyak pula yang bisa digarap dalam dimensi sosial edukatif. Berkumpul dan berbagi lewat komunitas, mendirikan sebanyak mungkin perpustakaan dan rumah baca, menggelar sebanyak mungkin workshop dan kelas menulis, dan memakmurkan toko buku lewat acara-acara peluncuran & diskusi buku, meet and greet dengan pengarang, serta book club (mengobrolkan satu buku tanpa perlu kehadiran sang author-nya).
Selama ini bukannya hal-hal itu kurang tergarap, melainkan masih digeber sendiri-sendiri. Komunitas nulis khusus menggarap kerjaan sendiri, nerbitin buku kumpulan atau antologi, cerpen or puisi. Kelompok taman baca mengelola perpusnya sendiri. Sindikat-sindikat sastra memanggungkan buku-buku karya sesama mereka sendiri. Namun belum atau masih sangat jarang yang bisa menyatukan semuanya dalam satu atap.
Tiap penulis tak hanya sibuk ngetik bagi dirinya sendiri, namun juga membina komunitas untuk menebar ilmu dan inspirasi. Mempromo dan memanggungkan tak hanya buku-bukunya sendri namun juga buku-buku rekan khususnya yang lebih junior. Buku-buku bacaan tak hanya dikoleksi sendiri lalu difoto buat kepentingan Instagram untuk di-like 2.000 orang, namun juga dibuka agar bisa dibaca warga masyarakat luas.
Jika itu semua bisa dikerjakan secara masif, terstruktur, dan sistematis, dengan dinaungi asosiasi lewat berbagai asistensi dan pembentukan jaringan yang bersifat nasional, pasti dalam beberapa tahun ke depan, hasilnya sudah akan terlihat. Bakal makin banyak yang mengabiskan waktunya dengan buku-buku, tak peduli apa pun profesinya. Dan makin banyak yang ingin jadi penulis, karena ada janji-janji ketenaran sekaligus kesejahteraan tak ubahnya seleb dunia hiburan.
Bagiku sendiri, mimpi terbesar keberadaan asosiasi penulis adalah untuk melahirkan dua hal. Pertama, award bagi dunia buku setara FFI dan IMA untuk musik atau AMI untuk musik namun yang melibatkan semua jenis buku, fiksi maupun non-fiksi. Selama ini hadiah-hadiah literari seperti Sayembara Novel DKJ atau Khatulistiwa Literary Award masih hanya diperuntukkan bagi sastra elit.
Sastra pop semacam teenlit, metropop, atau YA (young adult), serta buku non-fiksi terabaikan. Genre sastra pop bahkan belum terpikir soal ini, padahal keberadaan award yang mengacu pada ranah entertainment barat sesungguhnya amat klop dengan nuansa metropolis urban yang diusungnya, dengan kategori semacam Book of the Year, Best Female Author, Best New Author, lalu Lifetime Achievement Award untuk para legenda.
Mungkin nanti bisa digelar semacam Indonesia Book Award, atau Anugerah Buku Indonesia, memperebutkan Piala Pram (untuk menghormati Pramoedya Ananta Toer). Di dalamnya diberikan penghargaan untuk buku-buku fiksi (sastra elit dan sastra pop), buku-buku non-fiksi, serta penghargaan individual bagi para penulis & pengarang. Pasti oke punya.
Mimpi kedua adalah pembentukan laman database pengarang dan buku Indonesia yang sekomplet IMDb (Internet Movie Database) untuk dunia sinema. Ada entri yang memuat siapapun yang sudah nerbitin buku, tak peduli sudah sekaliber NH Dini atau Tere Liye maupun yang baru nerbitin satu buku lewat jalur indie dan hanya dicetak 25 eksemplar. Tentu komplet juga dengan data tiap buku yang sudah ada.
Pengarsipan seperti ini sudah tentu penting sebagai tolok ukur majunya sebuah peradaban—yang mana Indonesia bisa dibilang masih sangat tertinggal. Kita sering dengar betapa selama ini dokumen-dokumen dan manuskrip-manuskrip penting justru tersimpan rapi di Leiden, bukan di sini. Why? Mostly because kita sendiri memang tak terlalu peduli dengan hal-hal begini.
Meski semua rencana kerja dan mimpi-mimpi itu masih jauh dari terwujud, yang penting langkah awal sudah dimulai. Yang ingin bergabung untuk menyatukan gagasan serta kerja bagi kemajuan dunia perbukuan di Indonesia tentulah sangat diterima dengan tangan terbuka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H