Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Untuk Para Penulis, Sekarang Ada HPI!

23 Februari 2016   21:27 Diperbarui: 24 Februari 2016   01:03 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Foto: Sarvgyan)"][/caption]Sekitar lima atau enam tahun lalu, aku pernah berpikir soal organisasi profesi buat penulis. Para dokter, wartawan, pengusaha, sopir angkot, pedagang pasar, arsitek, lawyer, semua berserikat, kenapa penulis belum? Suatu kali aku mewacanakannya (cuman lewat FB sih), tapi tak ada sokongan berarti khususnya dari rekan sesama penulis, kecuali berupa jempol tanda “like”.

Lalu aku melupakannya, dan baru ingat lagi mengenai hal itu ketika tempo hari bertemu Yozar (Lissari menjadi saksinya) yang sekarang berkarier di Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif). Bertiga, kami mengobrolkan banyak hal—RUU Sistem Perbukuan, pengembangan ekonomi kreatif di bidang kepenulisan dan buku, serta rencana Bekraf mengenai sertifikasi penulis.

Dalam pengerjaan RUU, DPR pasti menampung aspirasi para pihak yang terkait soal buku, sejak penerbit, percetakan, distributor, toko buku, hingga pustakawan, masyarakat pendidikan, dan penulis. Tiap pihak gampang terwakili karena masing-masing pada punya asosiasi atau serikat. Mereka tinggal menunjuk representasi setelah di-briefing dulu.

Penulis nggak bisa karena tak punya asosiasi profesi. Yang diundang rapat dengar pendapat dari penulis pastilah para sastrawan legendaris atau penulis yang tengah mega best seller, tapi apakah suara mereka mewakili keseluruhan penulis yang ada? Mereka muncul atas nama personal, bukan mewakili serikat, jadi aspirasinya ya pasti milik sendiri, atau sejauh lingkup pergaulan dan pekerjaan yang ada (komunitasnya, sanggarnya, bengkel seninya, kerja kolaborasinya, dll.)

Lalu nanti, kalau RUU Sistem Perbukuan itu sudah diundangkan, ada satu poin penting yang diamanatkan di dalamnya yang butuh perhatian ekstra, yaitu pembentukan Dewan Perbukuan. Menurut Pasal 35, dewan ini bertugas membuat kebijakan serta melakukan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan sistem perbukuan nasional.

Dewan Perbukuan bertanggung jawab kepada Presiden RI, dan beranggotakan sembilan orang. Dari sembilan itu, tiga berasal dari pemerintah (kementerian pendidikan, perdagangan, dan perindustrian) dan masing-masing satu mewakili penulis/pengarang, penerbit, percetakan, distributor, masyarakat pendidikan, serta pustakawan.

Nah, kelak jika Dewan Perbukuan resmi dibentuk, siapa yang akan mewakili para penulis duduk di situ? Milihnya gimana kalau tak ada asosiasi? Lagi-lagi, kandidat-kandidat yang muncul pasti dari para penulis terkemuka, yang belum tentu membawa aspirasi keseluruhan golongan. Sedang para wakil lain muncul sudah dengan pembekalan komplet dari persatuan, asosiasi, atau serikat profesi masing-masing.

Terpikir hal itu, aku lantas menghubungi beberapa kawan penulis yang cukup dekat, seperti Vira dan geng Rumah Media. Lalu aku ketemu Mr. Hani Sutrisno, penulis buku-buku bahasa Inggris populer dan owner lembaga bahasa Inggris SPEC serta Desa Bahasa di Borobudur, Kabupaten Magelang. Niat hanya mengajak diskusi, dia malah langsung berinisiatif melakukan pembentukan.

Seketika terbentuklah Himpunan Penulis Indonesia (HPI), yang untuk sementara berkantor di Desa Bahasa, tepatnya di Dusun Ngargogondo, Desa Wanurejo, Borobudur, dekat candi terbesar yang megah itu. Pada stafnya, ia menginstruksikan pembentukan sususan kepengurusan, AD/ART, rencana deklarasi, pengurusan akta notaris, dan termasuk berbagai kelengkapan informasinya di internet dan media sosial.

Mr. Hani bertindak sebagai ketua, aku sekretaris, dan event bedah novelku Remember December di Desa Bahasa tanggal 13 Maret nanti sekaligus menjadi hari deklarasi HPI. Sorenya, grup WhatsApp untuk himpunan ini sudah terbentuk. Aku langsung mengundang teman-teman penulis kenalanku, seperti Aulia Hazuki, Sophie Maya, Gin Teguh, Elvira Natali, dan Yozar. Yang terakhir ini nanti bertugas mencari info bagaimana organisasi ini bisa diakui pemerintah sebagai asosiasi profesi yang sah bagi penulis-pengarang.

Habis itu tinggal menyusun program kerja jangka pendek, seperti menentukan kategori penulis-pengarang apa saja yang berhak atas keanggotaan, susunan kepengurusannya di pusat dan daerah (hingga ke level kota/kabupaten), event kongres, serta kegiatan-kegiatan apa saja yang langsung bisa dilakukan dalam waktu dekat.

Mengapa organisasi profesi penting bagi para penulis? Sebab banyak hal yang bisa dilakukan di luar kerja wajib para penulis dalam hal ngetik. Unsur edukasi bisa menjadi sektor terdepan, dalam hal peningkatan skill para penulis sekaligus pencarian bibit-bibit penulis berkualitas di daerah. Lalu bantuan penerbitan bagi karya-karya berkualitas yang lepas dari sorotan industri mainstream.

Dan salah satu yang terpokok adalah dalam peningkatan kesejahteraan, sehingga para penulis murni bisa hidup (makmur) lewat profesi menulis, bukan kerja sambilan “jika ada waktu senggang” sesudah kesibukan kantor terselesaikan (which is, rarely coming). Di dalamnya termasuk, seperti yang diungkap Dee dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo yang diprakarsai Bekraf pada 4 Agustus 2015 lalu, penghapusan pajak khususnya bagi royalti penulis.

Fungsi advokasi alias bantuan hukum juga menjadi salah satu bidang kerja terkemuka asosiasi. Ini terutama berguna saat para penulis (especially para newbies) bersirobok dengan penerbit-penerbit berkategori nakal. Pemotongan sepihak besaran royalti (10% jadi 5% atau di bawah itu), royalti semesteran yang tak segera dibayarkan, atau bahkan pemutusan kontrak secara sepihak hanya menjadi secuil dari lautan kasus yang dihadapi penulis.

Selama ini kasus-kasus semacam itu luput dari perhatian karena para korban lebih memilih untuk memendam rasa sakit dalam hati daripada ribut-ribut. Kalaupun mau ribut, akan ada bantuan dari siapa selain kalimat “yang sabar yaa” dan jempol tanda “like”? Adanya organisasi profesi akan benar-benar membuat perbedaan dalam hal ini.

So, para writers, ayo gabung ke HPI! Yang dekat dari Magelang dan Jogja bisa ikut mendukung tanggal 13 nanti. Mari kita tiru para wartawan yang kompak ngumpul di PWI atau para arsitek yang berorganisasi di IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) dan membuat aneka macam aktivitas positif demi kepentingan bersama dan kemajuan dunia yang kita jadikan sawah.

Dan karena seperti kata Carl Sagan di buku Cosmos, selalu ada dunia lebih luas daripada yang dapat kita saksikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun