[caption caption="(Foto: Metafrique)"][/caption]Dalam beberapa waktu terakhir, muncul peningkatan yang cukup nyata di tengah masyarakat kita dalam hal kesadaran terhadap konsep CSR atau corporate social responsibilty. CSR kerap diartikan sebagai pemberian balik perusahaan-perusahaan besar kepada publik dan lingkungan di sekitarnya, terutama dalam kucuran dana guna penggarapan proyek-proyek sosial kemasyarakatan.
Namun ternyata, perbuatan baik dan sumbangan sosial perusahaan (seperti Habitat for Humanity atau Ronald McDonald House) hanyalah bagian kecil dari CSR. Sedang keseluruhan CSR sendiri di Wikipedia diartikan sebagai konsep bahwa sebuah organisasi (terutama perusahaan) tak hanya berorientasi profit, namun juga memiliki tanggung jawab terhadap semua stakeholder (pemangku kepentingan), termasuk konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas, serta lingkungan.
Dengan meningkatnya awareness publik terhadap hal itu, maka perusahaan-perusahaan besar pun mulai menggulirkan konsep CSR-nya masing-masing. Intinya, kini mereka tak hanya sibuk cari duit, namun juga mulai memikirkan secara serius dampak baik apa yang mereka bisa berikan dalam berbagai segi aktivitas, baik internal maupun eksternal.
Perusahaan-perusahaan raksasa pun mulai menyisihkan sebagian pendapatan untuk membina lingkungan masyarakat sekitar, atau lingkungan umum. Bisa dengan kucuran kredit UKM, pemberian beasiswa, atau dana funding bagi lembaga-lembaga NGO untuk proyek kemasyarakatan nonprofit.
Dalam konteks yang tak berbeda, hal serupa berlaku pula bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri hiburan, khususnya televisi. Lalu kita bertanya, apakah perusahaan-perusahaan PH (production house) pembuat sinetron juga ikut terkena kewajiban untuk meluncurkan program CSR juga? Jika iya, apa program CSR mereka? Sudahkah ada—atau bahkan terpikirkan? Adalah sangat logis bila mereka harus memilikinya, karena tak diistimewakan untuk memperoleh semacam “CSR-holiday” dari pemerintah.
Karena, seperti biasa, penuh prasangka baik, maka aku sempatkan untuk mengetikkan keyword “CSR perusahaan PH sinetron Indonesia” di Google, kalau-kalau sudah ada program CSR dari PH-PH besar yang sudah dimunculkan tapi aku tak tahu. Sayang sejauh ini yang muncul adalah no result. Yang ada malah artikelku “How to Make Sinetron Better” di blog, muncul di urutan kedua.
Memang sejak aku aktif di kegiatan literasi media melalui LeSPI (Lembaga Studi Pers & Informasi) di Semarang terutama mengamati tayangan televisi, belum pernah kudengar ada program semacam ini dari para PH. Stasiun televisi, terutama beberapa yang tak melulu cari duit, terlihat sudah memilikinya, terutama dalam beberapa event yang langsung menyentuh masyarakat.
Gelaran Eagle Award di Metro TV, Net CJ di Net, atau Kompas Kampus di Kompas TV, sudah cukup memiliki napas ke-CSR-an. Dalam artian, ada sejumlah dana guna biaya penyelenggaraan suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk mengedukasi masyarakat pemirsa dalam suatu titik keahlian tertentu—dan berkelanjutan serta benar-benar terakomodasi di layar kaca.
Sedang untuk perusahaan-perusahaan rumah produksi, sudah seperti apakah konsep atau program CSR mereka? Ini patut didiskusikan karena, setelah bertahun-tahun beroperasi dengan omset mencapai miliaran rupiah (ratusan miliar, barangkali), sudah saatnya mereka memberi balik kepada publik. Terlebih sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia persinetronan seperti sengaja “menjaga jarak” dari masalah kualitas dan estetika seni—belum lagi soal edukasi, terutama bagi anak-anak dan remaja.
Padahal tentu, tak ada keistimewaan perusahaan rumah produksi sinetron dibanding rekan-rekan sejawatnya dalam hal memberi balik kepada masyarakat. Jangankan perusahaan besar, kita per individu saja sama rata punya tanggung jawab untuk memberi balik, berbagi, dan memikirkan dampak kehidupan dan aktivitas harian kita dalam membiayai hidup, bagi lingkungan sekitar.
Terlepas dari fakta itu, memang sudah saatnya sederet PH besar produsen sinetron di Tanah Air diingatkan perlunya untuk tak semata berasyik masyuk terlena mencari uang semata. Beredarnya meme tentang “Ortu bayar jutaan rupiah untuk mendidik anak. Artis sinetron dibayar jutaan rupiah untuk merusak anak” di internet belakangan ini harusnya menjadi pengingat untuk itu.