Tapi sejauh yang kulihat selama ini, hal itu tak sering terjadi di sinetron. Entah kapan terakhir kalinya aku nonton sebuah sinetron, baik serial maupun FTV, yang diangkat dari sebuah sayembara penulisan naskah. Sepertinya belum pernah.
Dan mengapa belum pernah? Correct me if I’m wrong, tapi karena memang sudah jarang sekali ada kompetisi penulisan naskah sinetron sejak terakhir kali yang aku ikuti tahun 2000 itu. Kalau mau diselikidi, penyebabnya pun jelas: andai aku panitia tahunan sebuah sayembara penulisan sinetron, lama-lama pasti akan malas juga bikin kalau para pemenangnya hanya akan berakhir di lemari arsip panitia. Tak satu pun bisa menembus atau dibina para pelaku industri.
Maka jagat kreatif sayembara-sayembara pun hanya semata kontes penuh antusiasme. Sementara dunia industri sinetron sudah merupakan suatu planet, bahkan galaksi, berbeda yang sangat eksklusif dan tak tersentuh dari sisi mana pun. Berbagai kontes boleh menelurkan pemenang-pemenang, namun industri berjalan sendiri di balik tirai yang tertutup rapat.
Ini melanjutkan “tren” pemerintah yang sembunyi dari geliat industri hiburan sejak era reformasi. Dulu pada era 1980-an banyak sekali terdapat ajang kompetisi yang disponsori pemerintah, seperti LCLR (Lomba Cipta Lagu Remaja) atau FLPI (Festival Lagu Pop Indonesia). Banyak penyanyi dan lagu-lagu berkualitas lahir dari lomba-lomba itu.
Di film juga ada. Departemen Penerangan RI (kini Kemkominfo) rutin menyelenggarakan sayembara penulisan naskah film cerita. Aku pernah ikut ini pada edisi tahun 1998, dan sepertinya itu gelaran terakhir. Habis itu tak kudengar lagi ada event-event kompetisi bergengsi tingkat nasional di dunia entertainment. Yang ada tinggal event sastra, seperti sayembara novel DKJ (Dewan Kesenian Jakarta).
Dulu pun, serial sinetron bermutu juga lahir dari kandungan pemerintah. Masih ingat Si Unyil dan ACI (Aku Cinta Indonesia)? Keduanya adalah produksi pemerintah Orba melalui Pusat Produksi Film Negara atau PPFN.
Seiring program pemerintah Presiden Joko Widodo untuk menggalakkan ekonomi kreatif melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), seharusnya ini menjadi momen pemerintah untuk kembali muncul. Tentu bukan kehadiran yang bersifat indoktrinasi seperti semasa Orba, melainkan sekadar pemantik kreativitas dalam hal menghidupkan kembali ajang penulisan sinetron.
Industri persinetronan Indonesia saat ini dikuasai nama-nama besar yang amat susah ditembus penulis-penulis berkualitas. Itu diperparah dengan tiadanya geliat produksi sinetron di luar wilayah Provinsi DKI Jakarta. Kalau film, banyak. Komunitas sineas muda (indie) bertebaran di mana-mana, namun sebagian besar dari mereka menolak untuk juga belajar dan mengerjakan sinetron (sinema TV), karena dianggap kurang keren.
Pemerintah melalui Bekraf bisa “ikut campur” dengan menggelar semacam sayembara penulisan naskah sinetron, seperti yang kuikuti 15 tahun lalu itu. Kompetisi ini akan membuka gerbang lain di mana para penulis yang kurang dikenal bisa mendapat kesempatan untuk masuk ke industri.
Dan yang terpenting, para pemenang tidak lagi sekadar mendapat janji-janji kosong, namun eksekusi nyata bahwa naskah mereka benar-benar diproduksi menjadi sinetron. Ini bisa ditempuh dengan mengajak kerjasama berbagai sponsor besar (untuk menyokong biaya produksi), PH (untuk memproduksinya), dan stasiun TV (untuk menayangkannya pada jam prime time). Kalau tiga kutub ini terpegang, semua akan beres. Selanjutnya cuman soal teknis yang bisa didiskusikan.
Misalnya, untuk mencegah biaya produksi membengkak (sehingga panitia/produser beralasan naskah tak bisa diproduksi karena ketiadaan biaya, berhubung naskahnya bergenre sejarah, mahal di kostum dan properti blablabla!), genre cerita bisa ditentukan sejak awal (drama, komedi, romans; berlatar masa kini) sehingga gampang disyuting sebagaimana sinetron yang sudah ada.