Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Metamorfosa Menuju Kekenthiran

2 September 2015   20:09 Diperbarui: 2 September 2015   20:09 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="(Foto: Wikipedia)"][/caption]

Beberapa tahun lalu, seorang pengamen masuk ke bus ekonomi jurusan Semarang-Jogja yang kunaiki. Tanpa instrumen berupa gitar atau ukulele, dia menyanyikan lagu-lagu pop Indonesia dari tahun 1970-an, seperti milik Tetty Kadi, Erny Djohan, atau Arie Kusmiran. Lain dari pengamen lain yang cukup membawakan satu-dua lagu, dia nyanyi lama sekali.

Mungkin ada kalau enam sampai tujuh lagu. Dan cara nyanyinya kayak ngelantur tanpa ujung pangkal, sampai-sampai kondektur bus meneriakinya, “TroMitrouwisMudhun kana!” (Sudah, turun sana!). Saat itu barulah aku mengamati sang pengamen. Dan melongolah aku melihat seperti apa penampilannya.

Dia tidak bertipe pengamen pada umumnya, yang rata-rata remaja ABG bertampang anak jalanan. Pengamen satu ini sudah berusia paruh baya, lebih tua dari aku. Bajunya rapi, meski hanya berupa kemeja dan celana pendek. Kulitnya putih bersih.

Padanya kuberikan selembar uang seribuan. Lalu setelah ia melompat turun, kernet dan para penumpang sibuk membicarakannya. “MesakkeKuwi mesthi wong sing stres gara-gara usahane bangkrut njur dadi kere…!” ujar seorang perempuan yang disetujui para penumpang lain (Kasihan. Itu pasti orang yang stres gara-gara usahanya bangkrut lantas jatuh miskin).

Fragmen kejadian itulah yang melintas di benakku saat nonton film Blue Jasmine, besutan sutradara legendaris Woody Allen. Dengan skenario ditulis sendiri oleh Allen, cerita film ini mirip dengan dugaan sang ibu penumpang bus kala itu, yakni tentang warga jet set yang stres dan lama-lama nggak waras setelah bangkrut dan jatuh miskin sejadi-jadinya.

Blue Jasmine berkisah soal kepailitan yang menimpa Jeanette French (Cate Blanchett), sosialita kaya raya yang mengubah namanya menjadi Jasmine. Tak berduit lagi, dan terusir dari tempat tinggal mewahnya di New York, ia lantas hijrah ke San Fransisco dan tinggal menumpang di rumah adik perempuannya yang miskin, Ginger (Sally Hawkins).

Jasmine dan Ginger adalah sama-sama anak adopsi. Jadi tak ada hubungan darah antara mereka. Sejak kecil, ortu mereka selalu menyebut Jasmine sebagai pemilik “gen yang lebih baik”. Dan itu terwujud pada masa dewasa mereka. Jasmine jadi sosialita jet set, sedang Ginger berjuang keras mencari nafkah sekenanya dengan bekerja serabutan.

Saat mereka ketemu lagi, Ginger telah bercerai dari Augie (Andrew Dice Clay) dengan dua anak laki-laki yang hampir menginjak remaja. Ia akan segera menikah dengan Chili (Bobby Cannavale) yang agak bodoh dan berangasan. Saat dikenalkan pada Jasmine oleh Ginger, Chili berusaha mencomblangkan Jasmine dengan Eddie (Max Casella).

Bagian selanjutnya adalah kegalauan Jasmine dalam melanjutkan hidup sebagai mantan orang kaya. Ia ingin kuliah, tapi karena tak berduit, ia putuskan untuk mengambil kursus daring (online) guna menjadi seorang desainer interior. Sayang ia “computer-illiterate”, sehingga harus kursus lebih dulu. Untuk membiayai kursusnya, ia kerja sebagai resepsionis di tempat praktik seorang dokter gigi. Sebuah pekerjaan yang disebutnya “terlalu rendah” untuk standar kehidupannya dulu.

Dalam sebuah pesta, ia dan Ginger lalu sama-sama berkenalan dengan para pria yang menarik. Ginger ketemu Al (Louis CK), pria paruh baya yang bekerja sebagai tukang memasang sound system. Sedang Jasmine lengket dengan Dwight (Peter Sarsgaard), duda elit mantan diplomat yang tengah akan mencalonkan diri sebagai anggota Kongres.

Sampai di situ, cerita mengalami gejala akan menjadi semacam sinetron melodrama atau film komedi romantis biasa: muncul sosok-sosok hero sempurna yang menyelamatkan kedua cewek itu dari nasib tak mujur mereka. Entah bagaimana caranya, Al akan membawa Ginger keluar dari kehidupannya yang sarat problem. Dan Dwight akan memulihkan kembali kehidupan Jasmine ke titik normal, yaitu balik lagi jadi wanita sosialita kelas atas.

Sayangnya ini Woody Allen, Bos (niru gaya bicara Ketua DPRD DKI)—sineas yang tidak mengabdi pada penonton dalam bentukhappy ending nan indah seperti dalam dongeng. Ia patuh dengan realitas ala kehidupan dunia nyata, dan tak membelok menuju titik penyelesaian ideal seperti yang diimpikan yang memerlukan keajaiban-keajaiban tak terduga.

Betul. Sama sekali tak ada keajaiban dalam Blue Jasmine. Juga tak ada sosok hero nan sempurna itu. Baik Jasmine maupun Ginger sama-sama kena batunya. Dan bagian sesudah itu mengubah kehidupan mereka menuju ke titik yang tak pernah mereka sangka sebelumnya.

Bagian paling menarik dari film ini adalah kesederhanaannya. Simpel secara cerita, simpel juga dalam eksekusi sinemateknya. Allen tak mengambil cara penceritaan yang dianeh-aneh seperti Natural Born Killers-nya Oliver Stone, atau Punch Drunk Love (Paul Thomas Anderson). Cara pengambilan gambarnya juga biasa-biasa saja. Langsung bisa dipelajari dan dipraktikkan para indie filmmaker pemula sekalipun.

Kekuatan utama Blue Jasmine berada pada akting para pemainnya, terutama Cate Blanchett. Ia benar-benar masuk ke dalam karakter Jasmine yang pelan-pelan hancur karena nerve breakdown. Lihat sorot matanya. Lihat ekspresi wajahnya. Itu sungguh-sungguh mirip gejala orang yang stres dan lama-lama kenthir (sakit jiwa). Tak heran peran ini membuatnya menang Oscar tahun 2013 lalu untuk kategori Best Actress.

Satu lagi yang layak disorot adalah skenarionya, khususnya dalam cara Allen menaruh adegan-adegan flashback untuk menjelaskan kehidupan masa lalu Jasmine saat masih kaya dan menikah dengan Hal (Alec Baldwin).

Umumnya, flashback digunakan sebagai cara pengarang mendramatisasi suatu kejadian masa lalu yang dikisahkan seorang tokoh pada tokoh lain—dan bukan cukup lewat dialog-dialog panjang saja seperti teknik Agatha Christie dalam novel-novel detektifnya.

Allen menggunakan fragmen-fragmen flashback untuk menjelaskan cerita, dan dipasang secara konstan di titik-titik tempat ia memang dibutuhkan. Ini mirip dengan gaya penceritaan di serial Arrow, yang juga terbagi dalam alur present day dan alur lima tahun sebelumnya—yang melatarbelakangi transformasi seorang Oliver Queen dari jutawan menjadi superhero.

Maka dari alur flashback itu kita bisa tahu secara bertahap satu demi satu apa yang membuat hidup Jasmine berantakan. Suaminya ternyata pialang investasi penipu. Hal melalukan praktik yang disebut Ponzi Scheme, yaitu membayar benefit investor bukan dengan keuntungan perusahaan tempat investasi diletakkan, melainkan dari uang para investor lain yang bergabung belakangan.

Hal juga melakukan itu terhadap Augie, yang baru saja menang lotere senilai $ 200 ribu (Rp 2,6 miliar) dan ingin menggunakannya sebagai modal untuk jadi pengusaha. Akibatnya, rumah tangga Augie dan Ginger hancur, lalu mereka cerai. Belakangan terungkap juga bahwa yang membuat Jasmine jatuh miskin adalah dirinya sendiri—lewat sebuah panggilan telepon ke FBI saat ia marah dan bingung gara-gara cemburu.

Menyaksikan film seperti Blue Jasmine ini menarik karena kita akan dibawa menuju arah-arah cerita yang jauh beda dari pada lazimnya film atau sinetron yang selalu berakhir baik. Dan anehnya, unsur-unsur yang beda itu justru adalah yang paling mungkin terjadi jika kita sungguhan mengalaminya di dunia nyata. Menyadarkan kita betapa tontonan sinema telah begitu jauh menjauhkan kita dari realita hidup.

Lewat Blue Jasmine, Allen memberitahu bahwa mukjizat tak terjadi tiap hari. Kita berharap sang putri kaya raya akan kembali menemukan jalan kembali ke istana dan kemewahannya, mirip dalam film-film Disney. Sayangnya tidak. Alih-alih pulih, kebiasaan Jasmine untuk ngomong sendiri makin tambah parah. Dan di akhir cerita, kita akan sepakat bahwa ia sudah resmi perlu masuk RSJ.

Lalu kita bisa melihat, “metamorfosa” semacam itu jugalah yang bisa menimpa kita semua andai mengalami cobaan yang sama perih dengan Jasmine. Kita kerap menertawakan wong edan berambut gimbal yang jalan sakparan-paran bugil di sepanjang jalan lalu sibuk memaki-maki angin di perempatan jalan.

Kita merasa imun dari berubah jadi kayak gitu. Tapi sebagaimana yang dialami Jasmine, proses menuju arah itu seringkali tak terjadi tiba-tiba, melainkan perlahan dan nyaris tak disadari oleh yang bersangkutan.

Nah, sekarang yakinkah kamu bahwa dirimu masih 100% waras…?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun