Dalam buku itu dikisahkan, saat badan bergerak alamiah tanpa ternoda pemikiran hasil, lawan jatuh tersungkur mengenaskan seperti ditabrak pesawat Airbus. Tapi ketika diulangi lagi, geseran yang sama nggak membawa hasil. Kegagalan terjadi ketika si pesilat sudah memiliki pikiran atau ambisi untuk harus atau merasa bisa menjatuhkan lawan.
Dan itu semua didahului dengan spirit atau niat yang jelas terhadap diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik. Tapi kemudian niat harus dihilangkan agar tidak berubah menjadi pikiran yang mengobsesikan tujuan akhir.
Niatkan saja untuk, misalnya, menjadi penulis guna menyebarkan hal-hal baik buat orang (dan bukannya untuk kaya raya lewat buku best-seller). Lalu sudah, mulai menulis biasa saja secara alamiah tanpa perlu mikir ini akan ke penerbit mana, gimana kalau ditolak, gimana kalau jelek, etc.
Saat pikiran absen dari memikirkan tujuan dan hasil, maka hasil akan mengikuti secara alami, mirip lawan tanding yang jatuh tersungkur tadi. Tapi jika terlalu berharap dan terlalu terbebani hasil, umumnya malah tak akan ketemu. Gagal, lalu stres, lalu nyari-nyari obat nyamuk, tali gantungan, guillotine, peniti, tusuk gigi, de-el-el.
Setelah membaca buku ini, kita akan melihat bahwa ada dimensi lain dari seni pencak silat yang membuatnya tetap up to date dalam geliat hidup masa ultramodern. Tidak lagi murni sebagai alat self defense, melainkan dalam aplikasi filosofis serta kebugaran fisik. Dengan rajin mengikuti latihan silat macam di Bangau Putih, perubahan hidup akan muncul—dan justru lebih ke sisi mental berpikir
Sekadar info, hingga perempat pertama abad ke-20, keahlian bela diri masih masuk dalam deretan skill yang urgen dipunyai semua golongan masyarakat. Mungkin mirip dengan keterampilan soal komputer dan gadget pada masa sekarang. Beberapa buku sejarah menyebut, ruas-ruas jalan masa itu sangat sepi, melewati hutan dan rawa. Maka warga yang awam silat (atau kungfu) amat tak disarankan bepergian sesudah magrib. Rawan dicegat bandit.
Pada era abad pertengahan malah situasinya lebih menyeramkan lagi. Sebelum Dandels membangun Jalan Pos tahun 1808, tak ada ruas jalan permanen menghubungkan antarkota pulau Jawa. Bahkan rombongan Gubernur Jenderal VOC pun harus menerabas hutan rimba perawan selama tiga hari tiga malam dari Batavia menuju Mataram.
Di cersil Nagasasra & Sabuk Inten disebut, orang yang bepergian dari satu desa ke desa lain harus pergi berombongan (minimal 10 orang). Lalu mereka harus urunan untuk menyewa para jago silat sebagai pengawal, karena di hutan-hutan belantara pasti tersembunyi banyak komplotan perampok. Tokoh utamanya, Mahesa Jenar, pernah satu kali mengikuti dan turut mengawal rombongan traveler seperti itu.
Dengan kondisi demikian, tak heran skill bela diri menjadi suatu kebutuhan. Para ABG berlomba-lomba belajar silat atau wushu, karena tersedia peluang karier yang luas. Dan jika berbakat plus bisa ketemu guru yang yahud, salah-salah bisa meleset jadi pendekar sakti (barangkali ekuivalen dengan para mahasiswa pascasarjana, doktor, atau profesor pada zaman sekarang!) yang malang melintang tanpa tandingan di kolong langit.
Begitu situasi keamanan membaik dan hukum modern ditegakkan sehingga orang tak bisa lagi saling bunuh sesukanya macam di zaman koboi Amerika, seni bela diri mundur setapak dari kebutuhan hidup secara umum. Pada era modern, kita lebih mengenal silat sebagai cabang olah raga dan “warisan adiluhung yang harus dilestarikan”.
Buku Body, Mind, Spirit: Aku Bersilat, Maka Aku Ada memberikan alternatif baru manfaat ilmu silat yang membuatnya tetap layak untuk ditekuni, meski sekarang sudah tak ada lagi pesilat sadis yang menggemparkan jagat semacam Lowo Ijo, Sepasang Uling, atau Jaka Soka...