Mohon tunggu...
Wiwid T. Pras
Wiwid T. Pras Mohon Tunggu... Pengacara - pekerja sosial/advokat/wiraswasta

pengacara yang aktif di beberapa lembaga sosiohumaniora di Malang Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Jangan Samakan Pemilu dalam Demokrasi dengan Pertandingan/Perlombaan

17 Januari 2025   09:07 Diperbarui: 17 Januari 2025   09:07 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi persidangan, sumber foto pribadi

Politik yang selanjutnya di ejawantahkan dengan pemilu sering kali ansich digambarkan sebagai ajang perebutan kekuasaan, semacam perlombaan untuk menduduki kursi jabatan tertentu, sehingga secara kasat rasa perihal politik yang mulanya sebagai langkah konkrit menyelamatkan dan menyelesaikan revolusi bangsa Indonesia, kemudian menjadi kerdil seolah hanya sebuah kompetisi penuh persaingan seperti pertandingan olahraga, dengan jargon untuk dimainkan secara sportif, akantetapi permainan boleh menggila demi bisa menang dan wasit tetap mengijinkan berlanjut, hingga pada masa berakhir seluruh pemain bahkan suporternya, harus iklash legowo menerima apapun hasilnya menang atau kalah, dan menganggab semua hanya permainan dan telah usai untuk jangan diperdebatkan bahkan sekedar hanya didiskusikan.

Sungguh jika demikian, mereduksi esensi sejati dari demokrasi dalam hal ini Pemilu, seolah hanya soal menang atau kalah, tanpa menilik nilai penting mewujudkan kemanusiaan keadilan sosial yang beradab bagi seluruh rakyat Indonesia, akan menjadi petaka bagi demokrasi di Indonesia, sehingga jikalau terjadi keadaan yang patut diduga terjadi kecurangan/pelanggaran pemilu, jangan dianggab remeh setara terjadi kecurangan dalam kompetisi/pertandingan olahraga, sebab adanya kecurangan/pelanggaran pemilu akan berdampak panjang kaitannya dengan membangun masa depan bangsa.

Dengan segala keadaan yang ada, untungnya di Indonesia melalui amandeman UUD yang ke-3 yang disahkan tahun 2001, sudah eksis keberadaan MK (Mahkamah Konstitusi) sebagai representasi hukum pengawal/pelindung demokrasi, yang memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 serta undang-undang terkait, seperti UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (beserta perubahannya), hal mana MK memiliki kewenangan termasuk tapi tidak terbatas :

  • Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
  • Memutuskan perselisihan hasil pemilihan umum
  • Memutuskan dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

Khususnya terkait dengan pemilu, MK memiliki kewenangan untuk memutuskan perselisihan yang mungkin timbul, tidak hanya soal jumlah perolehan suara, sebab dalam perkembangannya MK sudah mendudukkan diri sebagai pengadil yang bersifat aktif (dalam konteks menggali kebenaran substantif berdasarkan hukum dan konstitusi), dan membebaskan diri dari belenggu formalitas dengan menjadi pemberi keadilan substasif demi mewujudkan cita-cita dan tujuan negara, karenanya MK tidak boleh dilarang untuk memasuki proses peradilan dengan memutus fakta hukum yang nyata-nyata terbukti tentang terjadinya suatu tindakan hukum yang menciderai hak-hak asasi manusia, terutama hak politik sebagaimana pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PHP.BUP-XV/2017, 14/PHP. BUP-XV/2017, 42/PHP.BUP-XV/2017, dan 52/PHP.BUP-XV/2017, hal mana di dalam perkara-perkara tersebut, Mahkamah Konstitusi menerobos ketentuan Pasal 158 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016 yang mengatur perihal ketentuan ambang batas permohonan berdasarkan perolehan suara dan jumlah penduduk, sebab apabila Mahkamah diposisikan untuk membiarkan proses Pemilu ataupun Pemilukada berlangsung tanpa ketertiban hukum maka pada akhirnya sama saja dengan membiarkan terjadinya pelanggaran atas prinsip Pemilu yang luber dan jurdil (langsung-umum-bersih-jujur-adil), sebab jika hal itu terjadi sama halnya dengan membawa demokrasi melenceng jauh dari filosofi dan tujuan, juga telah manafikan MK (dalam hal ini hukum) menjaga demokrasi.

Atas pertimbangan tersebut, telah terbit jurisprodensi MK Nomor: 79/PHPU.D-XI/2013, pada halaman 150-151 yang pada pokoknya memberikan pertimbangan "...Bahwa dalam menilai Proses terhadap hasil Pemilu atau Pemilukada tersebut Mahkamah membedakan berbagai pelanggaran ke dalam tiga kategori, Pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh atau tidak dapat ditaksir pengaruhnya terhadap hasil suara Pemilu atau Pemilukada ...., Kedua, pelanggaran dalam proses pemilu atau pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil pemilu atau pemilukada seperti money politic, keterlibatan oknum pejabat atau PNS, dugaan Pidana Pemilu, dan sebagainya. Pelanggaran yang seperti ini dapat membatalkan hasil pemilu atau pemilukada sepanjang berpengaruh secara signifikan, yakni karena terjadi secara terstruktur sistematis dan masif ..., Ketiga, pelanggaran tentang persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur (seperti syarat tidak pernah dijatuhi pidana tertentu dan syarat keabsahan dukungan bagi calon independen) dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hasil Pemilu atau Pemilukada karena ada pesertanya yang tidak memenuhi syarat sejak awal..."

Kesadaran akan arti penting untuk rakyat senantiasa bersama secara kritis berupaya membenahi setiap permasalahan berpolitik bahkan berdemokrasi yang bersumber dari pelanggaran/kecurangan pemilu, akan dapat memperbaiki masa depan berbangsa dan bernegara, oleh karena itu wajib dihindari menyamakan cara pandang pada pemilu sebagai wujud menyalurkan aspirasi dalam demokrasi, disamakan dengan memandang pertandingan/perlombaan, sebab pemilu memiliki nilai luhur merepresentasikan keinginan masyarakat yang mengandung makna Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, bukan arena pertandingan/perlombaan, menyemai perlawanan hingga konflik saling bermusuhan yang bisa menyebabkan perpecahan dan erosi nilai-nilai demokrasi.

Olehsebab itu demi demokrasi itu sendiri, setiap ada hal yang patut diduga terjadi pelanggaran/kecurangan didalam pemilu, maka akan baik bilamana semua stake holder sosial kemasyarakatan juga kaum terdidik serta cendekia untuk menjadikannya bahan dialektika kritis sebagai koreksi pemilu dimasa mendatang, dan sebagai mercusuar dari dialektika atas problematika pemilu dalam hal ini akan ada di tangan MK, untuk selanjutnya setelah sang pengadil MK memberikan  pencerahan, tidak bisa ditawar lagi demi Persatuan Indonesia, apapun keputusannya dan siapapun yang terpilih, sebagai bangsa harus kembali bersatu dengan menghormati perbedaan mengedepankan kepentingan bersama, sebab pemilu bukan pertandingan yang melahirkan pemenang dan pecundang, yang terpilih harus menjadi milik rakyat secara bersama, serta memiliki semangat rekonsiliasi dan gotong royong, dengan memandang Pemilu adalah proses bersama untuk menentukan arah bangsa, yang pahit manisnya patut dirasakan sebagai hanya sedang menggeliat untuk menemukan format terbaik menjadi bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur di masa mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun