Mohon tunggu...
Wiwid T. Pras
Wiwid T. Pras Mohon Tunggu... Pengacara - pekerja sosial/advokat/wiraswasta

pengacara yang aktif di beberapa lembaga sosiohumaniora di Malang Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pentingnya Kadar Pendidik tidak Menjadi Kader Politik Praktis

16 Januari 2025   11:37 Diperbarui: 16 Januari 2025   11:37 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pentingnya kadar Pendidik tidak menjadi kader politik praktis

 

"Politik bukanlah perebutan kekuasaan bagi partainya masing-masing, bukan persaingan untuk menonjolkan ideologinya sendiri-sendiri tetapi politik untuk menyelamatkan dan menyelesaikan revolusi Indonesia."-Ir. Soekarno

Secara umum politik praktis seringkali dimaknai sebagai suatu kegiatan dan aktifitas atau gerakan dari satu orang atau sekelompok orang yang dapat mempengaruhi pandangan, pendapat masyarakat tentang suatu keputusan atau kebijakan pemerintah, atau bahkan dapat merubah keputusan pemerintah, dalam tataran yang lebih konkrit utamanya adalah berkaitan dengan kegiatan kelompok masyarakat terutama partai politik dalam rangka untuk melaksanakan hak-hak politiknya, dan umumnya muncul pada suatu aktivitas ke-pemilu-an, meski tetap harus dicatat bahwasannya politik praktis ini sejatinya bukan hanya terkait dengan perihal pemilu sebab aktif menyatakan aspirasinya dalam forum-forum lain juga bisa termasuk.

Politik sendiri Aristoteles didalam Teori Klasiknya mendefinisikan sebagai usaha yang ditempuh untuk mewujudkan "kebaikan bersama", hingga kemudian didalam dialektikanya politik pada akhirnya menjadi suatu daya upaya untuk memiliki kuasa mewujudkan terpenuhinya kepentingan, dan dalam hal inilah politik menjadi rentan terhadap konflik perebutan kuasa yang akan bisa menghalalkan cara apapun, sampai pada gilirannya dapat menciptakan disitegrasi atau terbentuk faksi yang berbeda-beda.

Sudah tepat bilamana setiap elemen bangsa jauh dari sikap apatis dan sadar politik serta mengerti realitas politik, untuk selanjutnya dapat secara aktif menentukan pilihan pribadi yang mempengaruhi arah jalannya politik kebangsaan secara luas, atau dengan kata lain aktif menggunakan hak politiknya dalam menentukan nasib bangsa melalui pemilu, akantetapi konsekwensi pilihan pribadi tentu hanya akan ditanggung secara pribadi, tidak dapat dianggap sebagai ber-identitas loyalis pada suatu kelompok kepentingan tertentu, sebab tidak pernah ikut dalam suatu penggalangan dan tetap bisa kritis atau mudah saja berpindah haluan pilihan bilamana ternyata terdapat perubahan penilaian terhadap kebijaksanaan suatu kelompok politik tertentu.

Akantetapi ternyata nilai positif sikap aktif didalam politik, bilamana aktifnya dilanjutkan sampai dengan penggalangan dukungan, ternyata tidak selalu akan berdampak positif, sebab adanya perbedaan dan faksi yang memiliki kepentingan berbeda-beda, ternyata juga sangat rentan melahirkan konflik dan disintegrasi, hal inilah yang penulis yakini sudah dipahami oleh para ahli bangsa, sehingga karenanya dibuat suatu rumusan aturan yang pada pokoknya bermaksud untuk tetap mendorong semua elemen bangsa untuk aktif didalam politik, akantetapi pada profesi-profesi dan bidang-bidang tertentu ada yang dengan tegas atau sekedar dihimbau untuk dilarang ikut secara aktif melakukan politik praktis, atau untuk melakukan penggalangan-penggalangan/kampanye atas nama suatu kelompok tertantu, atau dengan kata lain dalam hal ini pemerintah menghendaki tetap perduli tapi juga netral.

Tentu saja hal ini tidak mengherankan, sebab dengan beragam perbedaan aspirasi dalam masyarakat, yang mengkreasi faksi-faksi saling bersaing, secara komunitas berbangsa tetap perlu ada yang menjadi perekat dan tidak berpihak, sehingga harapannya faksi manapun yang akan menang atau kalah, tetap ada yang tidak terperangkap dalam polarisasi politik terpecah belah, atau setidaknya tetap ada yang dipercaya oleh semua faksi yang saling bersaing, baik dari sisi yang kalah ataupun yang menang karena sebab netralitas non partisannya.

 Bukan hanya sebagai perekat kebangsaan, pentingnya ada unsur yang bisa menjadi subyek perekat bangsa kaitannya dengan realitas faksi-faksi saling bersaing, adalah sebab sudah pasti antar faksi melakukan penggalangan-penggalangan/kampanye, yang dalam hal ini bisa menghalalkan cara apapun, dengan tujuan hanya demi memenangkan kontestasi politik, seringkali hal itu dilakukan dengan janji yang muluk bahkan sampai dengan dusta, sebab sebenarnya susah terealisasi atau bahkan mungkin mustahil terlaksana, juga tidak jarang mempertunjukkan pengingkaran dan penghianatan politik, sampai penistaan ataupun kampanye hitam, kesemuanya menjadi semacam parade tontonan yang akhirnya malah memicu kekecewaan, dalam hal inilah kemudian politik praktis menjadi tidak memberikan kesan positif kepada masyarakat, selanjutnya masyarakat yang kehilangan kepercayaan menjadi semakin apriori atau bahkan transaksional dalam mensikapi event pemilu.

Fenomena seperti itu tentu tidak baik untuk keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga karenanya tetap dibutuhkan subyek bagian dari bangsa yang terjaga netralitasnya, untuk setidaknya menjadi pihak yang tetap dapat dipercaya masyarakat, bahwasannya semua sikapnya adalah murni untuk bangsa, tidak terpengaruh dengan kepentingan politik.

Selain seluruh aparatur negara yang dilarang terdikotomi oleh faksi kepentingan politik, seharusnya yang vital untuk penting dijaga netralitasnya adalah para cendekiawan pengajar atau yang mengelola Lembaga Pendidikan, sebab Lembaga Pendidikan termasuk  Perguruan tinggi yang seharusnya lebih mengutamakan aktivitas pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang dapat dinikmati secara konkrit oleh masyarakat.

Pandangan-pandangan moral dan Pemikiran obyektif dan ilmiah dari Perguruan tinggi lebih dibutuhkan oleh masyarakat, dengan anggapan bahwa Perguruan tinggi menaungi banyak macam paham, dan warna pilihan politik, semestinya fokus hanya pada program dan kegiatan pengembangan Pendidikan dan keilmuan secara independent, sehingga relative tidak terjebak pada arus kepentingan kontestan politik, yang jamak akan melakukan berbagai macam cara untuk menang, bahkan mungkin dilakukan dengan bertentangan pengembangan Pendidikan dan keilmuan.

Dunia Pendidikan dan keilmuan sendiri, tentu membutuhkan keadaan damai untuk  selalu dapat terus berkembang dalam perbedaan dan keberagaman, tanpa perdebatan pilihan dukungan politik, karena dengan netralitas politik memungkinkan untuk senantiasa menjaga integritas sebagai pendidik dan pengembang keilmuan, dan yang dimaksud dengan dunia Pendidikan disini tentu saja semua yang dapat merepresentasikannya, yang berarti  sivitas akademika atau siapapun yang menyandang predikat sebagai mahasiswa, dosen dan karyawan yang mencerminkan dunia Pendidikan, maka sudah sepatutnya tidak ikut terdikotomi dalam suatu faksi politik, sebab civitas akademika dengan sikap non partisan cenderung mampu mengejawantahkan isu-isu kompleks tanpa belenggu faksi kepentingan politik, dan senantiasa mungkin untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang dengan bijak dan mengambil penilaian atas pemikiran kritis.

Memang sebagai warganegara, sivitas akademika secara mendasar hak politiknya untuk memilih dan dipilih tetap ada, tapi demi tujuan yang lebih besar sudah seharusnya memahami arti penting menjaga netralitas, dan dari cermin inilah, pada suatu ketika terdapat sivitas akademika yang ikut didalam politik praktis akantetapi masih tercitra secara formil sebagai representasi dari suatu Lembaga Pendidikan/kampus, maka adalah suatu pilihan bijak untuk meletakkan predikatnya atau mundur posisinya di dalam Lembaga Pendidikan, dalam hal ini point penting yang harus muncul adalah untuk menunjukkan bahwasannya Lembaga Pendidikan/kampusnya tetap berposisi netral dari kepentingan faksi-faksi saling  bersaing.  

Intinya adalah silahkan saja berpolitik praktis, namun harus tidak di dan dari dalam kampus, serta tidak atas nama almamaternya pada waktu berpolitik praktis, serta tidak pula membawa predikat jabatan dan identitas almamater dalam berpolitik praktis, biarkan citra Lembaga Pendidikan tetap sebagai penjaga dialektika intelektual yang secara kritis senantiasa merdeka menyuarakan kajian-kajian ilmiah untuk ikut mengawal arah kebijaksanaan negara benar-benar akan menciptakan keadilan social bagi seluruh rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun