Mohon tunggu...
wiwid wadmira
wiwid wadmira Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Penulis Konten

Penulis konten yang menyukai jelajah alam dan memotret senja, yang saat ini sedang di masa hibernasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Merdeka di Mata Orangtua Siswa

2 Juni 2024   12:59 Diperbarui: 2 Juni 2024   13:01 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gaung kurikulum merdeka sudah bergema setahun belakangan. Pelan tapi pasti pergerakannya mulai banyak terasa di sekolah-sekolah. Bukan hanya sekolah penggerak, tapi juga ada guru penggerak dan orang tua penggerak. Berbagai seminar, forum, dan pembelajaran tentang kurikulum ini mulai bisa di akses. Namun sayangnya, akses tersebut masih sangat terbatas.

Saya sebagai seorang wali murid dari anak yang bersekolah di sekolah penggerak, bertemu dengan guru-guru dan orang tua penggerak merasakan ketimpangan yang nyata. Tak jarang, ketimpangan tersebut akhirnya menimbulkan banyak gesekan di antara para orang tua.

Kurikulum Merdeka bukan hanya sekedar tentang mengajarkan siswa sesuai kebutuhan zamannya, dan guru yang belajar konsep baru pendidikan. Tetapi juga orang tua yang harus memahami konsep pendidikan yang tengah dijalankan sekolah agar mampu menjadi partner belajar bagi anak ketika di rumah. Maka digaungkanlah "orang tua penggerak" dengan segala forum dan seminar di banyak komunitas.

Namun seminar-seminar tersebut masih sangat terbatas di beberapa komunitas saja. Maka akses ini pun hanya sebatas orang tua-orang tua yang memiliki lingkungan pergaulan dengan kawan-kawan komunitas satu frekuensi. Bagaimana dengan orang tua di kampung yang aksesnya sebatas pasar dan dapur? Nihil.

Maka tak heran ketika kemarin saya bertemu dengan kawan untuk berbincang, dan ia terburu-buru untuk segera pulang, dengan alasan ada kerja kelompok wali murid untuk menyelesaikan tugas P5 anaknya. Saya tidak lagi terkejut dengan alasan tersebut. Jangankan kawan saya yang tinggal di kawasan padat penduduk, sekolah anak saya yang notabene ada di tengah kota saja pun masih banyak wali murid memiliki pemikiran yang serupa.

Tak ayal tahun kemarin saya masih sempat berdebat dengan beberapa wali murid yang bersikukuh untuk para orang tua bertemu dan menyelesaikan tugas P5 anak-anaknya agar lekas selesai dan bisa dikumpulkan oleh anak-anak. Banyak orang tua yang mengeluhkan beban berat menyelesaikan tugas P5 itu seperti wali murid yang kembali sekolah dan mendapat banyak PR.

P5 kependekan dari Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila adalah salah satu program yang digagas dalam kurikulum merdeka. Proyek ini mewadahi para siswa untuk memahami banyak konsep mata pelajaran yang dapat diimplementasikan dalam kegiatan nyata dan menjadi proyek bersama. Dalam proyek tersebut sudah mencakup banyak implementasi nyata dari poin-poin karakter Pancasila.

Namun sayangnya, tak banyak orang tua yang memahami konsep tersebut. Masih banyak orang tua yang menganggap bahwa tugas tersebut terlalu berat untuk siswa, sehingga orang tua lah yang mengerjakan secara berkelompok. Guru yang harusnya memberikan bimbingan dan pengawasan, menjadi mentor sekaligus kawan diskusi bagi para siswa tak selalu hadir di kelas. Kemana? Entahlah, yang jelas anak-anak sering mengeluhkan banyak jam kosong. Hanya ada tugas-tugas sekolah yang harus dikerjakan mandiri. Pada akhirnya, hasil proyek yang bagus, bimbingan dan pengawasan dari guru yang kurang, guru yang tutup mata dengan proses yang seharusnya dilalui siswanya, membuat hal tersebut seolah rahasia bersama. Asalkan nanti ada perayaan P5 yang megah maka sekolah mendapat kredit yang bagus di mata dinas.

Maka semua proses seperti kembali ke titik nol. Implementasi kurikulum merdeka tak ada bedanya seperti kurikulum apapun sebelum-sebelumnya. Bahwa proses pembelajaran hanya menjadi ajang mencari muka bagi para guru dan pegawai dinas pendidikan. Bahwa proses pembelajaran hanya sebatas seremoni dan  titel kredit baik bagi sekolah dan guru-gurunya.

Dibutuhkan gerakan yang masif dan berkelanjutan untuk melakukan perubahan. Selain ratusan milyar untuk dana pelatihan bagi guru, sudah saatnya dinas pendidikan menyisihkan dana untuk rutin mengadakan sesi parenting di semua sekolah. Parenting yang interaktif, bukan sekedar seminar yang membosankan akan membantu "mengajarkan" pada orang tua bahwa pendidikan harus bergerak maju. Bukan jalan di tempat, mengejar nilai dan sertifikat bertumpuk.

Sudah saatnya kita semua membuka mata, bahwa yang dibutuhkan anak-anak kita bukan sekedar nilai dan ijazah semata, tetapi ilmu yang harus terus dipelajari dan diaplikasikan di dunia nyata. Sekolah bukan lagi sekedar duduk manis dalam kelas dan ajang "buang-buang waktu" untuk anak-anak, tetapi juga belajar hal yang implementatif.

Saya wali murid dari para bocah yang juga menginginkan perubahan, semoga ini tidak berhenti di sini. Roda harus terus berputar. Perubahan harus bergerak maju. Siapapun menteri pendidikan berikutnya, semoga tidak menyerah. Sekolah dan kualitas pendidikan harus merata di semua daerah. Merata jumlah sekolahnya. Merata kualitas sekolah dan guru-gurunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun