Mohon tunggu...
Wiwid Nurwidayati
Wiwid Nurwidayati Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger

Suka nulis, suka baca buku, suka makan, suka jalan-jalan. Pemilik website : https://wiwidstory.com

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Nostalgia Ramadan Saat Masih Kecil

2 April 2023   22:55 Diperbarui: 2 April 2023   23:18 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bermain Kembang Api. Credit: Canva edited

Mengingat masa kecil itu sangat menyenangkan. Kebetulan saya termasuk gen-X, yang pasti saat kecil dulu nggak ada gadget yang mengalihkan dari dunia bermain. Televisi saja waktu itu belum full 24 jam tayang.

Kesan saya dengan bulan Ramadan saat itu, bulan ini sangat berbeda. Kampung saya terasa lebih hidup. Dari jam 2 dini hari, masjid dan surau di sekita rumah sudah ramai dengan suara petugas masjid yang membangukan kami untuk masak dan sahur. Apalagi saat kecil hingga remaja saya tinggal di Yogyakarta, di mana jadwal sholat tentu lebih cepat dibandingkan di Kepulauan Riau (tempat saya tingal sekarang).

Yang tak terlupakan sampai sekarang adalah momen-momen sebelum Ramadan. Biasanya di kampung kami kalau bulan Ruwah (Kalau islam=Sya'ban) itu satu bulan full akan ada kenduri berjadwal satu kampung. Misalkan hari ini di rumah A, besok di rumah B, besoknya lagi di rumah C). Bahkan kadang satu hari bisa dua kali jadwalnya, ada yang dijawal ba'da magrib dan ba'da Isya. Kebetulan kampung kami sangat luas, maka kemudian dibagi 2 bagian. Kampung lor dan Kampung kidul. 

Momen bulan Ruwah ini biasanya momen di mana setiap keluarga mengirim doa kepada sanak keluarga yang sudah meninggal. Jadi setiap ketempatan mendoa, satu bagian kampung kidul baik kepala keluaga maupun anaknya yang sudah remaja yang biasa kami sebut pemuda akan berkumpul di rumah. Senang sekali melhat keramaian di rumah yang di luar biasanya. 

Lebih senang lagi saat itu, ibu akan memasak nasi gurih, ayam peyek, dan kue kue lainnya untuk dijadikan nasi berkat dan dibawa tetangga yang datang ikut mendoa.

Yang lebih menyenangkan lagi, saat itu listrik baru masuk ke kampung pada tahun 1988. Nah, ketika listrik belum masuk ini, maka setiapa ada acara kenduri maka kami menggunakan lampu petromaks yang bahan bakarnya spritus. Rasanya menggelar tikar di bagian rumah yang luas, diterangi lampu petromaks, seperti sudah mewah sekali. Rasanya begitu membahagiakan.

Bulan ruwah ini bulan dimana ibu mendapatkannasi yang berlimpah. Tapi tentu saja tak dibuang begitu saja. Nasi yang tidak habis kami santap tersebut ibu buat menjadi "lempeng" ( sejenis kerupuk dari nasi). Dengan semaraknya momen sebelum bulan Ramadan ini, membuat saya sangat begitu antusias dan bahagia menyambut bulan Ramadan.

 
Kegiatan di Mushola. Credit: Canva
Kegiatan di Mushola. Credit: Canva
Hal-Hal yang Tak Terlupakan Saat Ramadan

Hidup di kampung di mana zaman tidak ada gadget justru membuat kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sebaya. Tak peduli laki ataupun perempuan kami bermain bersama. Nah, inilah hal-hal yang terjadi pada Ramadan saya puluhan tahun silam

1. Ngabuburit di Mushola

Waktu kecil kami ngabuburitnya di mushola, sambil belajar bacaan sholat, mengaji Iqro dan lain sebagainya. Setelah itu kami berbuka puasa bersama. Waktu itu tak ada sajian kue-kue jajanan pasar, hanya segelas teh dan nasi lauk pauk yang dibungkus daun. Hal itu sudah membuat kami bahagia dan semakin bersemangat.

2. Main Mercon Bumbung

Jika sekarang ingin menghidupkan mercon tinggal beli saja, tidak dengan kami. Selain uang memang tidak ada untuk membeli mercon, dan juga harus ke pasar maka kakak saya yang paling tua membuat mercon bumbung. Biasanya kami hidupkan di malam hari setelah salat Tarawih. Setiap berhasil mendapatkan suara yang membumbung kami sudah merasa bahagia sekali.

3. Tertidur saat Salat Tarawih

Di tempat kami tidak ada salat tarawih 8 rakaat. Salat tarawihnya 20 rakaat + 3 rakaat salat witir. Meskipun saat itu salatnya sudah terbilang cepat, bagi saya itu salat yang paling lama. Bahkan di salah satu mushola dekat rumah, imamnya selalu membaca 1 ayat pendek di rakaat kedua,  tetap tetap saja terasa lama. Maka terkadang saya tidur menunggu salat tarawih selesai. Namun, ketika salat tarawih selesai, saya justru marah ketika dibangunkan. 

Salat tarawih di tempat saya ada 3 pilihan. Dekat rumah, namanya sekarang mushola al Nawawi, kalau salat tarawih ibu-ibunya menggelar tikar yang sudah dialasi "kepang" di halaman mushola. Maklum, memang musholanya kecil. Yang ke-2, masjid dekat rumah, ini biasanya salatnya paling lama di antara yang lainnya, jadinya kami malas salat di sana. Yang ke-3 mushola Nur Hidyah yang seikit agak jauh dari rumah. Mushola ini tempat biasanya saya belajar mengaji. 

Mushola Tempat Saya Mengaji. Credit: Google Street
Mushola Tempat Saya Mengaji. Credit: Google Street

4. Menunggu Takjil

Dulu di tempat saya (yang saya ketahui) yang dinamakan takjil itu adalah makanan kecil yang dibagikan setelah salat tarawih. Biasanya pemilik masjid atau mushola akan menunggu kami di depan pintu keluar, jika memang ada takjil. Makanan apapun akan tetap membuat kami bahagia jika bisa mendapatkannya. Namun biasanya jumlah takjil tidak banyak, jadi belum tentu setiap harinya kami bisa mendapatkan takjil.

5. Jalan-Jalan Ba'da Subuh

Ini mungkin yang sekarang dinamakan cinta subuh ya. Tapi kami dulu segerombolan banyak satu kampung kidul, jalan-jalan keliling kampung. Saat itu udara jogja masih dingin, bahkan saat bernafas,mulut kami mengeluarkan asap saking dinginnya. Di jalan juga ternyata ketemu dengan anak-anak muda sebaya dari kampung tetangga. Ramai banget pokoknya di jalanan.  Untuk anak-anak orang kaya biasanya mereka bisa membeli mercon. Sesekali terdengar mercon untuk mengagetkan rombongan lainnya.

6. Baju Baru untuk Lebaran

Biasanya kami teman sebaya di siang hari masih berkumpul di bawah rindangnya pohon bambu sambil bermain rumah-rumahan. Di sana juga kami akan saling bertanya, apakah sudah dibelikan baju dan sandal baru atau belum. Nah, kalau sudah  kami serombongan akan saling melihat baju dan sandal baru teman tersebut.

Mungkin momen seperti itu saat ini tak ada lagi. Jikalaupun ada biasanya segerombolan anak muda yang berkumpul dan bermain game. Zaman memang sudah berganti, tak bisa saya samakan dengan zaman sekarang, era anak-anak saya. Namun tentunya nostalgia Ramadan saat kecil tetap membekas di hati dan saya sangat bahagia setiap mengingatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun