Mohon tunggu...
Wiwid Fitriani
Wiwid Fitriani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik Universitas Diponegoro

KKN Tematik Undip X Exovillage Tim Desa Purworejo

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bungsu

12 Juli 2023   09:27 Diperbarui: 12 Juli 2023   09:29 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Bungsu, terlahir paling akhir dari rahim ibu. Bertuah, anak emas dan kesayangan, penuh manja dan perhatian dari ibu bapa, dan pasti segala permintaan bagaikan fardhu yang tak bisa ditinggalkannya. Mungkin itu yang terlintas dalam pikir sebagian besar orang diluar sana, dan jika kalian memikirkan hal serupa terhadapku, ketahuilah salah besar kalian atasnya. Bungsu yang manja, bungsu emas dan kesayangan, bungsu penuh perhatian bukanlah tepat untuk menggambarkan diriku yang sebenarnya. Tak lain, kasarnya aku hanyalah penghujung tempatnya "ngalah" dan juga "kalah".

Aku adalah bungsu dari enam bersaudara. Sedari kecil, perolehanku atas orang tuaku adalah didikan yang keras dan tegas. Begitulah katanya, lelaki harus kuat, pundaknya harus kokoh dan hatinya tak boleh roboh. Aku terbiasa hidup ala kadarnya, semenjak dini merasakan juang. Merumput sejumput demi sejumput, harap bakti tak pernah luput. Kesana-kemari dengan sabit dan tali tergenggam jemari, menyisiri sepetak demi sepetak lahan dengan teliti, mencari rumput segar untuk ternak hari ini. Begitulah menjadi bungsu bagiku, tidak seistimewa yang kau tahu. Itulah yang kujalani setiap waktu.

Ibu bapa merupakan orang tua yang penyayang sekalipun keras didikan yang mereka berikan. Kami berenam diberikan hak yang semestinya, yakni dengan disekolahkan. Sesuai dengan zamannya, kami terbilang beruntung dapat merasakan sekolah hingga tingkat menengah, ditengah-tengah anak lain yang tak seberuntung kami dapat merasakan bangku sekolah sama sekali. Semua anak perempuan disekolahkan sampai tingkat menengah pertama dan anak laki-laki disekolahkan sampai tingkat menengah atas. 

Mimpiku sejatinya tak terputus disitu, aku berangan dapat melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi, kala itu diberi nama akademi akuntansi. Namun, hal itu adalah angan belaka. Ku urungkan niat baikku, mungkin bekerja lebih pantas menjadi pilihan, menjanjikan, dan sedikitnya dapat membantu ibu bapa dalam keseharian. Walau sebenarnya, sekolah setinggi-tingginya adalah impiku sedari dulu, dengan segenap prestasiku, yakinku pada awalnya, perjalananku menuntut ilmu tak putus pada taraf menengah, namun beginilah, si bungsu ini memilih jalan lain dan memendam dalam-dalam keinginannya.

Sekilasnya mungkin seperti itu. Kembali akan ku ceritakan bagaimana kisahku menjadi seorang bungsu. Mungkin definisi bungsu bagiku bukanlah "manja" dan "berada", lebih tepatnya mungkin bisa disebut sebagai tempatnya "kalah" dan "ngalah". Aku ingat betul peristiwa di mana si bungsu ini merengek meminta sepeda, namun tiada diwujudkannya impian itu oleh ibu bapa. "Sudahlah, buat apa sepeda", jawabnya saat itu. Namun, kenyataan menjadi lain ketika kakakku meminta hal yang lebih besar daripada sepeda. "Aku ingin sepeda motor", kata kakakku saat itu.

Ibu bapa mengabulkan keinginan itu tak berselang lama semenjak kakakku mengungkapkan keinginannya. Persis, anak kecil ini tentu merasa dibedakan, merasa tidak diperlakukan secara adil dalam perbuatan. Tak bisa berbuat apapun selain menerima, si bungsu ini mencoba melupakan semuanya, walau tak mungkin lupa, setidaknya luka bisa sembuh dari masa ke masa. Walau ingatan ini akan terus membekas di dada, hingga tua, dan entah sampai kapan batasnya, biar kata hati yang kecewa luar biasa, si bungsu ini sekuat jiwa merelakannya.

Kejadian-kejadian seperti itulah yang membuat pikiranku terbuka. Dalam hati ku berkata, "aku boleh merasakan pahit sepahit apapun dalam hidupku di dunia, tetapi jangan sampai anak-anakku kelak turut merasakannya, aku akan adil dan menyayangi mereka, takkan ku membiarkannya larut dalam luka seperti yang kurasa". Dan itulah yang kulakukan saat ini. Sebagai seorang ayah dari kedua anakku, putra dan putriku, raja dan ratu dalam hidupku, aku berjuang sekeras mungkin agar mereka tak pernah merasakan ketidakadilan, mereka harus bahagia dan takkan ku biarkan siapapun membuat mereka terluka.

Menjelang senja, ibu bapa adalah urusanku. Sama seperti ketika mereka mengasihiku waktu kecil, sebaliknya, kini ku kasihi mereka sepenuh hati. Ku rawat, ku jaga dan ku sayangi seutuh sanubari. Bahkan hingga menjelang ajal, tak pernah sekalipun ku tinggalkan mereka, dan tak pernah ku terlantarkan mereka. Di tangan anak bungsunya, mereka terpelihara dengan baik bahkan hingga maut menjemput mereka. Mereka damai di surga. Walau tidak pada putra-putrinya di dunia.

Hilang di usia senja ibu bapa, kakak-kakakku kembali setelah raga ibu bapa terpisah dengan nyawa. Dengan misi kuasa atas harta waris yang tak seberapa. Entahlah, ibu bapa tidak pernah menulis wasiat atau pesan pembagian waris hingga akhir hayatnya. Inilah yang menyebabkan birahi kuasa mereka merajalela. Dan dari sinilah perjalanan rimba dengan hukum alam yang kuat dimula.  

Ketika kisah ini ku tuliskan, usiaku sudah hampir kepala lima. Bukan lagi dewasa, separuh abad merupakan usia yang cukup matang sebagai panutan dari dua generasi keturunan seharusnya. Namun, "Kalah" dan "Ngalah" rupanya tidak menjadi sudah, hal itu terus kualami hingga kini, sebagaimana yang sudah ku ceritakan. Bagiku, enam bersaudara rasanya seperti sebatang kara. Kakak-kakaku, entahlah, yang ku ketahui dari mereka saat ini hanyalah nafsu akan kuasa. Berebut hak waris yang tak seberapa, saling meluka dan saling mencela diantara mereka. Lahir dari rahim yang sama, disusui oleh ibu yang sama, dan dibesarkan oleh orang tua yang sama, tiada angkat tiada tiri daripadanya, saling serang, siapa kuat dia berkuasa, mungkin itu yang dipikirkan mereka.

Aku tidak tahu persis siapa yang bersalah dari timbulnya kejadian ini. Perang lahir dan perang batin seakan mengiringi nafsu kuasa itu. Mengarungi perjalanan yang panjang dengan perdebatan dan perhelatan setiap waktu. Entahlah, si bungsu ini memilih menjadi tabu dan pura-pura tidak tahu. Diamnya ternyata menjadi petaka, diserang habis-habisan oleh saudara tunggal darah, harap diriku tidak menjadi benalu atas birahi kuasa mereka. Diserang lahir, diserang batin. Diluka kata, diluka suara. Si bungsu ini hampir mati dibuatnya, di sengsarakan dengan cara yang entah apa, penyakit yang tiada akalnya, hidup yang tiada jelasnya. Dalam sunyi, ku merintih, menangis sejadi-jadinya. "Ibu bapa, bawa aku bersamamu", harapku. Tersadar setelahnya, "Tidak, bagaimana dengan anak istriku", timpalku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun