Mohon tunggu...
Wiwid Farah
Wiwid Farah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hukum keluarga Islam

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pencatatan Perkawinan di Indonesia

21 Februari 2024   22:21 Diperbarui: 21 Februari 2024   22:43 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pencatatan perkawinan di Indonesia terbagi menjadi tiga periodisasi, yaitu : Periodesasi pertama yang mengacu pada berlakunya undang-undang nomor 1 tahun 1974 mengenai perkawinan. Pada periodisasi kedua sebelum berlakunya undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan terdapat sistem hukum perkawinan adat yang berdasarkan hukum adat, sistem hukum perkawinan Islam yang berlandaskan pada hukum Islam dan undang-undang nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah talak dan rujuk, dan sistem hukum perkawinan kuhp perdata yang berlandaskan pada BW. Setelah berlakunya undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan ini berdasarkan pada Undang-Undang. Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan setelah mengalami beberapa proses selama 15 bulan lamanya, dalam undang-undang ini disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan, dan KHI. 

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan diubah menjadi undang-undang nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang disahkan pada tanggal 14 Oktober 2019 bahwa perubahannya ialah tentang batasan usia minimal dalam perkawinan. Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan batasan usia minimal dari 19 tahun laki-laki dan 16 tahun perempuan, hal ini dianggap kurang relevan dalam pengambilan keputusan, maka diubah batas usia minimal dalam perkawinan dipersamakan dengan batas usia minimal bagi laki-laki yaitu menjadi 19 tahun untuk kedua pasangan laki-laki dan perempuan dalam pasal 7 Undang-undang No. 16 tahun 2019. Periodisasi ketiga sebelum berlakunya undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan bahwa ketentuan pencatatan perkawinan tidak diatur dalam hukum.

Pencatatan perkawinan diperlukan untuk memberikan bukti hukum yang sah mengenai status perkawinan seseorang. Hal ini penting untuk berbagai kepentingan administratif, hukum, dan sosial, seperti hak-hak hukum pasangan, klaim asuransi, harta bersama, hak kepemilikan, serta hak waris. Selain itu, pencatatan perkawinan juga membantu pemerintah dalam mengatur statistik penduduk dan memonitor perkembangan sosial. Catatan perkawinan diperlukan karena mereka mencatat secara resmi hubungan pernikahan antara dua individu. Ini memberikan kepastian hukum tentang status perkawinan, hak dan kewajiban pasangan, serta hak-hak terkait seperti hak waris, asuransi, dan keuangan. Selain itu, pencatatan perkawinan membantu pemerintah dalam mengumpulkan data demografis yang penting untuk kebijakan dan perencanaan. 

Dengan demikian, pencatatan perkawinan membantu menegakkan dan melindungi hak-hak pasangan yang menikah serta memberikan kerangka kerja hukum untuk mengatur hubungan mereka. Karena ini adalah cara resmi untuk mendokumentasikan hubungan legal antara dua orang. Ini penting untuk keperluan administratif, hak-hak hukum, warisan, hak asuransi, serta untuk melindungi hak dan kewajiban kedua pasangan. Pencatatan juga membantu pemerintah dalam mengumpulkan data demografis dan statistik populasi. Untuk memberikan kepastian dan perlindungan bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan, sehingga memberikan kekuatan bukti autentik tentang telah terjadinya perkawinan dan para pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan hukum. Pencatatan perkawinan diperlukan juga karna hal-hal berikut :
1. Legalitas: Pencatatan perkawinan membuat hubungan suami istri diakui secara resmi   oleh pemerintah dan lembaga hukum. Ini memberikan perlindungan hukum bagi pasangan dan hak-hak yang terkait dengan status perkawinan.
2. Administrasi: Pencatatan perkawinan membantu dalam administrasi pemerintah terkait dengan pajak, warisan, klaim asuransi, dan manfaat sosial lainnya.
3. Statistik: Data pencatatan perkawinan digunakan untuk tujuan statistik oleh pemerintah dan lembaga penelitian untuk memahami tren perkawinan, komposisi keluarga, dan demografi populasi.
4. Kepentingan pribadi: Pencatatan perkawinan memberikan kepastian dan kejelasan bagi pasangan tentang status mereka secara hukum dan sosial, serta mengakui komitmen mereka secara publik.
Makna filosofi, sosiologi, religious, dan yuridis dalam pencatatan perkawinan, yaitu :
Makna Filosofi
Perkawinan adalah Sebuah cita-cita setiap manusia. Perkawinan sebuah awal peradaban manusia, fitrah manusia diciptakan oleh Allah berpasang - pasangan adalah sebagai wujud dari ke-maha besaran Allah. Agama islam memandang perkawinan merupakan perjanjian yang sacral, bermakna ibadah kepada allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan - ketentuan hukum yang harus dilakukan.
Makna Sosiologis
Pernikahan adalah suatu bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita dalam kehidupan suatu masyarakat dibawah suatu peraturan khas (khusus) yang memiliki ciri -- ciri tertentu, yaitu pria bertindak sebagai suami dan perempuan bertindak sebagai istri yang keduanya dalam ikatan yang sah.
Makna Religious
Dalam hal ini al-Qur'an menggunakan kata nikah 23 kali, yang berarti berhimpun, dan zawwaja 80 kali, berarti berpasangan (al-Zuhaili, 1991: 31). Dengan demikian, secara etimologi pernikahan berarti berkumpul dan berpasangan dua insan yang semula hidup sendiri, menjadi satu kesatuan dalam wadah keluarga. Menurut istilah fikih nikah adalah: akad yang mengandung kebolehan untuk bersetubuh dengan lafadz inkaha atau tazwij. Definisi nikah tidak terdapat perbedaan prinsipil di kalangan ulama-ulama fikih, yang ada hanya perbedaan redaksi saja. (al-Jazairy, J. IV, t.th.: 2-4). Dalam hal ini jumhur fuqaha sepakat bahwa nikah itu adalah akad yang diatur oleh agama, untuk memberikan kepada pria hak milik penggunaan terhadap faraj (kemaluan/bagian dari alat reproduksi) perempuan dan seluruh tubuhnya untuk kenikmatan sebagai tujuan primer (alJazairy, J. IV, t.th.: 4).

Makna Yuridis
Definisi pernikahan yang terdapat dalam Undang-undang Pernikahan, UU No. 1 tahun
1974 Pasal 1disebutkan bahwa pernikahan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Definisi ini tidak vulgar namun sarat dengan makna filosofis. Keluarga bahagia bila dalam keluarga tercipta harmonisasi, dan tidak terjadi kegoncangankegoncangan atau pertengkaran-pertengkaran, sehingga keluarga itu berjalan dengan baik tanpa goncangan atau pertengkaran yang berarti (free from quarelling) (Soekanto, 1990: 98).

Pencatatan perkawinan sangat penting dilakukan karena menyangkut aspek identitas di lingkungan bermasyarakat, apabila sebuah perkawinan tidak tercatat kan maka akan dipandang buruk dalam suatu ikatan perkawinan dan jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan hukum positif tidak dapat membantu permasalahan diantara perkawinan tersebut karena tidak ada nya kekuatan hukum. Pencatatan perkawinan, bukanlah menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Pencatatan bersifat administratif, yang menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi. Dengan pencatatan itu perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun pihak-pihak lainnya. Suatu perkawinan yang tidak tercatat dalam Akta Nikah dianggap tidak ada oleh negara dan tidak mendapat kepastian hukum. Begitu pula segala akibat yang timbul dari perkawinan tidak dicatat itu. 

Dampak secara yuridis, sebabnya adalah karena ketidaktegasan hukum pencatatan perkawinan. Akibatnya, perkawinan mereka tidak mendapatkan akta nikah, sehingga suami atau istri tidak dapat melakukan tindakan hukum keperdataan berkaitan dengan rumah tangganya. Anak-anak yang dilahirkannya hanya diakui oleh negara sebagai anak di luar kawin yang hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya. Implikasinya, jika seorang istri dan anaknya ditelantarkan oleh suami atau ayah biologisnya, maka tidak dapat melakukan tuntutan hukum baik pemenuhan hak ekonomi maupun harta kekayaan milik bersama. Dampak secara religius, pencatatan perkawinan sebagai tidak menjadi syarat formal untuk menentukan sah tidaknya ikatan perkawinan. Akan tetapi menjadi suatu bukti administrasi yang bisa dipertanggungjawabkan, setidaknya hal ini menghindari tuduhan dan kritik masyarakat islan yang tidak semestinya.  Dampak secara sosiologis, seorang istri dianggap seperti istri simpanan dan tidak memiliki harga diri, selain itu juga anak yang dilahirkan dianggap menjadi anak tidak sah. Jika sebuah perkawinan tidak tercatat akan menimbulkan efek negatif kepada pasangan tersebut karena masyarakat akan menduga hal yang tidak semestinya.

Nama kelompok :
Nanda Putri Solekhah (222121005)
Salsabila Astria Anggraini (222121024)
Wiwid Farah Dewi (222121028)
Muhammad Andika Shohibul Khoiri (222121038)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun