Mohon tunggu...
Wiwi Pratiwi
Wiwi Pratiwi Mohon Tunggu... -

Seorang Mahasiswi Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini di Universitas Lampung. Tinggal di Kab. Tanggamus lampung, indonesia. Facebook Wiwi Damar Pratiwi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Walau Anak Petani, Aku Tidak Haus Motivasi

22 Juli 2018   15:32 Diperbarui: 22 Juli 2018   16:06 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Energi sangat baik untuk kehidupan. Energi tidak harus identik dengan bahan bakar dan gas bumi. Energi bisa berupa (motivasi, inspirasi, keunggulan, dan lain sebagainya). Berbicara mengenai energi berupa motivasi, aku memiliki kisah hidup yang dimana peran motivasi keluarga begitu penting bagi kehidupanku khususnya pada bidang pendidikan.

Namaku Wiwi Pratiwi. Aku anak pertama dari 3 bersaudara. Aku lahir di kota Kuningan pada tanggal 31 Juli 1999. Sejak berusia 2 bulan aku sudah tinggal di Lampung bersama kedua orangtuaku. Aku mengawali jenjang pendidikanku di SDN 1 Kagungan dan melajutkan pendidikan SMPku di SMPN 1 Kota Agung Timur, Kecamatan Kota Agung Timur, Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. 

Saat ini , aku sedang kuliah di Universitas Lampung Program Study PG Paud tepatnya semester 2. Aku bisa kuliah disini berkat dukungan dan doa orang tua yang selalu mereka panjatkan untukku. Aku bisa kuliah sejajar dengan anak para pejabat berkat kesusahpayahanku memperjuangkannya sejak dulu tanpa rasa pesimis, apalagi malu.

Dulu ketika aku SD, aku menjalankan pendidikanku dengan banyak keterbatasan, salah satunya keterbatasan ekonomi. Tetapi orang tuaku tidak pernah mengeluh dan tetap memotivasiku untuk giat sekolah apapun rintangannya. Mengapa demikian? karena untuk menjadi seorang yang sukses dimasa depan perlu perjuangan yang pahit dari masa kecil. 

Semasa SMP, selain sekolah aku di beri motivasi untuk bekerja keras. Khususnya bekerja keras untuk biaya. Berpendidikan dijenjang SMP memang tidak bayar (gratis), tetapi untuk membeli pakaian setiap 1 tahun sekali perlu uang untuk membayarnya. Belum lagi uang jajan dan tugas untuk sehari-hari.

Ketika hendak melanjutkan ke jenjang SMA, sejujurnya aku tidak tega melihat mereka harus banting tulang untukku, untuk biaya sekolahku. Pernah suatu hari aku memutuskan untuk tidak sekolah karena masalah biaya, tetapi ayah memarahiku. Beliau menyuruhku untuk sekolah. Beliau selalu memotivasiku. "Kamu harus semangat, kamu tidak boleh seperti ayah, kamu harus buktikan bahwa anak petani bisa sekolah tinggi seperti anak para menteri," Ucap ayahku. Semangat itulah yang menyebabkanku punya tekad kuat hingga sekarang.

Ketika hendak melanjutkan kuliah, ayahku pernah dihina lantaran ingin tetap menyekolahkanku kejenjang yang lebih tinggi. " Buat apa menyekolahkan anakmu tinggi-tinggi, untuk makan kalian saja masih susah, masih menghutang!" Ayahku hanya terdiam. Aku sadar bahwa keluargaku adalah keluarga biasa. Tapi salahkah jika aku punya tekad kuat dan cita-cita yang tingi untuk mengangkat derajat orang tua dengan kuliahku kelak ?

Pada saat semester satu aku sempat bekerja sebagai buruh cuci di rumah tetangga disekitar kosanku, tanpa sepengetahuan ayah dan ibuku. Aku begini karena ada semangat yang orang tua perlihatkan tanpa mereka beri tahu padaku. Iya, dulu ibuku rela bekerja sebagai buruh cuci dengan penuh semangat walau tanpa digaji sedikit pun.  Beliau hanya ingin melihatku sukses walau sekolah dengan uang pinjaman dari tempat ibuku bekerja. Ibu saja bisa semangat untuk membiayai sekolahku, lantas mengapa aku harus pesimis atas keterbatasan ekonomiku? 

Selain bekerja sebagai buruh cuci, saat ini pun aku kuliah sambil berjualan nasi dan sayur dikampusku. Aku harus tetap kuat menjalankan ini semua. Aku percaya bahwa Tuhan tidak akan menguji seorang hamba melebihi kemampuannya. Tuhan juga tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang mengubahnya. Maka dari itu aku akan memperjuangkan cita-citaku untuk masa yang akan datang, biarlah sekarang aku menderita seperti ini. Aku berharap roda kehidupan akan berputar dan aku juga berharap kelak penderitaanku akan berakhir dengan senyum bahagia yang kudapat dari kedua orangtua karena keberhasilanku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun