Aku berlari, membayangkan kakiku adalah kaki burung onta. Menyusuri kelok-kelok jalan setapak dalam kebun karet itu.
Air mataku mengalir, seketika mengering terhempas angin yang menabrak dadaku seakan menghalangi oksigen masuk paru-paru. Nafasku tersengal. Dadaku kembang kempis.
Terik mentari yang menyusup melalui celah dedaunan karet menjelma lidah-lidah api yang membara dan menusuk-nusuk kulitku. Mendidihkan darah yang mengalir dalam nadiku.
Hatiku begitu hancur. Tiang-tiang harapan yang ku bangun satu per satu bersamaan dengan pondasinya kini luluh lantak. Dihancurkan oleh ketidak berdayaan yang mengangkangi hidupku.
Aku tidak tau, bahwa kegagalan kali ini bisa sesakit ini. Dan tahun ini, menjadi medan tempur terberat (setidaknya selama aku hidup sampai saat ini).
Aku berhenti sejenak. Mataku menerawang ke langit. Memandang awan yang berarak mengikut angin ke selatan. Sedikit kelabu. Hingga perlahan setetes air menerpa wajahku.
Gerimis jatuh di batang-batang pohon karet. Titik demi setitik mengalir pelan pada kulit kasarnya, seakan membentuk lintasan tersendiri. Induk Kutilang memeluk bayi-bayinya yang kicauannya masih patah-patah. Semut-semut merah berbaris masuk ke dalam buntalan dedaunan kering dan lubang-lubang tanah yang mereka kerjakan siang malam.
Aku melangkahkan kaki. Tak lagi berlari. Dalam suasana gerimis itu, aku ingin menikmati aromanya. Tapi sayang, gerimis tak bertandang lama. Ia hanya melintas sebentar. Mungkin begitulah perjalanan hidup. Singkat.
Â
Namun bagaimanapun, saat ini aku tidak ingin mati. Aku ingin berlari sejauh mungkin dari malaikat maut. Aku tidak ingin mati membawa luka kegagalan. Aku ingin memperbaiki segalanya lebih dulu. Aku ingin menata ulang bangunanku.
Aku sampai pada ujung kebun karet, yang membawaku pada sebuah undakan kecil. Ada delapan anak tangga, yang terbentuk dari tanah dan batu yang sering diinjak orang. Aku  melangkah naik. Disambut pintu pendek dan cukup lebar seukuran dua kali badanku.
Baru selangkah, aroma wangi kemenyan, dupa dan berbagai macam bunga menyambutku. Aku seperti memasuki dimensi lain.
Angin yang berhembus cukup kencang, membaurkan wewangian dengan aroma dedaunan kering dan tai kelelawar dan burung yang ada dimana-mana. Tidak ada yang merawat tempat itu, kecuali jin-jin nakal dan setan yang tidak suka bersih-bersih.
Tubuhku merinding. Udara dingin mengenai tengkuk, diserta udara kepak kelelawar, derit pohon-pohon besar, cuitan kedasih, Â dan lenguhan burung hantu.
Hanya ada satu lampu dengan cahaya seperti senja yang mendung. Hampir-hampir tak memberi arti terang sama sekali. Hingga akhirnya perlahan langit kembali menggelap dan menyelimuti ketakutanku secara sempurna.
Aku tidak tau mengapa kakiku membawa kesini. Tempat yang diyakini orang-orang sebagai bukit putus asa. Tempat penampungan ruh-ruh manusia yang pesimis semasa hidupnya. Laksana hutan Aokigahara di Jepang.
Aku memejamkan mata. Suara desis ular dan bisik-bisik burung hantu terasa tepat di atas kepala. Aku mendongak. Gelap. Tidak dapat melihat apa-apa. Mataku menangkap sebuah siluet putih. Melayang-layang seperti jemuran terbawa angin. Kuntil anak.
Aku tidak peduli dengan penampakan itu. Bukan karena aku begitu pemberani, namun dalam kepalaku pada bagian amigdala telah menyimpan data bahwa menjadi seorang yang putus asa lebih menakutkan dibanding hantu. Hantu tak menempati rasa takut apapun dalam pikiranku. Aku tak peduli.
Aku terus berjalan. Semakin naik menuju puncak bukit. Aku hanya mengikut kemana kakiku akan membawaku. Meski bajuku basah kuyup oleh keringatku sendiri.
Aku ingin mencari jawaban. Mungkin dari tempat tertinggi akan membawaku lebih dekat kepada Tuhan. Dan menemukan selembar peta yang akan menunjukkan padaku tempat-tempat dimana aku tak pernah gagal.
Aku berhenti. Menatap sekeliling. Shubuh menjelang. Dan cahaya mentari perlahan semakin tinggi. Lututku lemas. Aku tersungkur. Menangis begitu keras. Ku cengkeram tanah berbatu, memukul-mukulkan kepalanku pada rumput-rumput tak berdosa.
Ku tatap sekali lagi. Tubuhku sudah tak berdaya.
Bukit yang ku daki itu, dan puncak yang ku ingin ku gapai. Tak pernah ada. Aku tidak tau aku dimana. Aku hanya melihat gumpalan awan tebal sejauh mata memandang. Yang mungkin salju di bagian bumi lain sedang turun. Dan suara-suara seperti kembang api bersautan bersamaan dengan letupan-ketupan api kecil yang menyebar di langit.
 .....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H