Mohon tunggu...
Witri Nailil Marom
Witri Nailil Marom Mohon Tunggu... Lainnya - (Ruang khusus fiksi)

Hai, selamat membaca. Semoga Allah bahagiakan kita hari ini. Aamiin :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Belum Berakhir

31 Desember 2024   23:42 Diperbarui: 31 Desember 2024   23:42 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tubuhku merinding. Udara dingin mengenai tengkuk, diserta udara kepak kelelawar, derit pohon-pohon besar, cuitan kedasih,  dan lenguhan burung hantu.

Hanya ada satu lampu dengan cahaya seperti senja yang mendung. Hampir-hampir tak memberi arti terang sama sekali. Hingga akhirnya perlahan langit kembali menggelap dan menyelimuti ketakutanku secara sempurna.

Aku tidak tau mengapa kakiku membawa kesini. Tempat yang diyakini orang-orang sebagai bukit putus asa. Tempat penampungan ruh-ruh manusia yang pesimis semasa hidupnya. Laksana hutan Aokigahara di Jepang.

Aku memejamkan mata. Suara desis ular dan bisik-bisik burung hantu terasa tepat di atas kepala. Aku mendongak. Gelap. Tidak dapat melihat apa-apa. Mataku menangkap sebuah siluet putih. Melayang-layang seperti jemuran terbawa angin. Kuntil anak.

Aku tidak peduli dengan penampakan itu. Bukan karena aku begitu pemberani, namun dalam kepalaku pada bagian amigdala telah menyimpan data bahwa menjadi seorang yang putus asa lebih menakutkan dibanding hantu. Hantu tak menempati rasa takut apapun dalam pikiranku. Aku tak peduli.

Aku terus berjalan. Semakin naik menuju puncak bukit. Aku hanya mengikut kemana kakiku akan membawaku. Meski bajuku basah kuyup oleh keringatku sendiri.

Aku ingin mencari jawaban. Mungkin dari tempat tertinggi akan membawaku lebih dekat kepada Tuhan. Dan menemukan selembar peta yang akan menunjukkan padaku tempat-tempat dimana aku tak pernah gagal.

Aku berhenti. Menatap sekeliling. Shubuh menjelang. Dan cahaya mentari perlahan semakin tinggi. Lututku lemas. Aku tersungkur. Menangis begitu keras. Ku cengkeram tanah berbatu, memukul-mukulkan kepalanku pada rumput-rumput tak berdosa.

Ku tatap sekali lagi. Tubuhku sudah tak berdaya.

Bukit yang ku daki itu, dan puncak yang ku ingin ku gapai. Tak pernah ada. Aku tidak tau aku dimana. Aku hanya melihat gumpalan awan tebal sejauh mata memandang. Yang mungkin salju di bagian bumi lain sedang turun. Dan suara-suara seperti kembang api bersautan bersamaan dengan letupan-ketupan api kecil yang menyebar di langit.

 .....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun