Mohon tunggu...
Witri Nailil Marom
Witri Nailil Marom Mohon Tunggu... Lainnya - (Ruang khusus fiksi)

Hai, selamat membaca. Semoga Allah bahagiakan kita hari ini. Aamiin :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kejadian Setiap Lewat Tengah Malam

20 September 2024   20:37 Diperbarui: 20 September 2024   20:47 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tok tok tok ...

Suara ketukan pintu itu datang lagi. Namun kali ini Reno mencoba acuh, memilih menaikkan selimut tipisnya itu hingga menutupi kepala.

Tok tok tok ...
Tok tok tok ...

Namun, seperti prasangkanya, ketukan tak akan berhenti sebelum dirinya membukakan pintu. Air mukanya terlihat begitu gusar. Sudah dua puluh satu malam berturut-turut dia datang setiap lewat tengah malam. Padahal, sejak malam ketiga sudah Reno katakan untuk jangan lagi menganggu. Tapi dia, sosok perempuan yang ia kenal itu, tak pernah mengindahkan kata-katanya.

Dan seperti biasa, meski jengkel ia tetap beranjak dari ranjang sambil mengumpulkan sisa kesadarannya. Dengan badan terhuyung melawan kantuk dan dingin dini hari yang merambat sampai ubun-ubun.

"Apalagi maumu?" Tanya Reno begitu pintu terbuka. Menampakkan sosok perempuan dengan baju yang sama seperti malam-malam lalu. Perempuan itu hanya diam dengan memasang wajah datar. Menatap melas pada Reno  yang menghela napas panjang hendak menutup kembali pintu. Geram.

"Tunggu ..." perempuan itu menahan handel pintu. 

Reno melirik jam dinding yang ada di belakangnya. Dengan tegas, jari telunjuknya mengarah kepada jarum jam yang terus berputar, "lihat! jam setengah dua dini hari", katanya dengan tatapan tajam. "Tubuh dan kepalaku sudah lelah hari ini, bisakah kamu tidak melakukan ini lagi? Aku mau kembali tidur. Besok ada banyak hal yang harus aku urus, dan itu karenamu."

Perempuan itu bergeming. Mematung seperti menghitung rangkaian ubin putih di kakinya, seraya memainkan ujung lengan baju panjangnya yang kotor. Diamnya justru membuat Reno semakin sebal. "Hampir sebulan kamu begini, lama-lama aku bisa darah tinggi dan gila karenamu."

"Aku hanya ingin melihatmu. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengamu." Jawabnya dengan suara parau.

"Ku rasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Tidak ada yang menjamin apa yang akan kamu katakan itu benar atau hanya mengada. Dan ... ah iya, aku sama sekali tak mempercayai apapun yang keluar dari mulut entitas sepertimu."

"Apa tidak ada kesempatan lagi untukku?"

"Lebih baik kamu fokus saja pada nasibmu. Bisa jadi penghianatanmu itu akan memberatkan timbangan dosamu." Tegas Reno. "Pergilah. Kedatanganmu akan mengundang curiga orang-orang padaku."

"Kenapa orang-orang curiga? Kita adalah sepasang kekasih. Mereka akan maklum. Toh, tak ada yang dapat melihatku. Selain kamu."

"Aku bukan lagi kekasihmu. Sejak kamu memutuskan untuk mengikuti orang-orang itu, kita telah selesai."

"Tapi aku masih mencintaimu, Ren."

"Apa yang kamu tau tentang cinta? Apakah cintamu lebih berharga dari nyawa ratusan orang disini? Aku tidak pernah menduga, bunga yang dulu ku kira adalah mawar ternyata hanya perdu berduri yang tumbuh serampangan di rumahku. Aku tak menyesal pernah mencintaimu, hanya saja ... aku malu ... mencintai penghianat." Reno tak dapat menahan diri lagi, kini kesadarannya sudah kembali penuh. Dadanya naik turun susah payah menahan kenangan-kenangan itu. Perasaan kecewa itu kembali hadir. Rasa kecewa yang teramat dalam. Hingga membuatnya kini skeptis untuk bicara lagi tentang cinta. Kepercayaan. Rasa kecewa dari seorang lelaki yang begitu tulus mencintai kekasihnya, namun dibalas dengan seonggok bangkai penghianatan. "... ah sudahlah, tidak ada gunanya lagi berdebat denganmu saat ini."

"Maaf." Perempuan itu hanya bisa menunduk, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Aku akan membayar kesalahanku."

Reno menyeringai. Pandangan matanya mencibir. "Apa yang bisa dilakukan hantu penasaran sepertimu? Jangan pura-pura bodoh, seribu hantu sepertimu pun tak akan mampu menggagalkan rencana mereka. Mesin-mesin dan alat-alat berat penghancur milik mereka itu bahkan bisa menggetarkan dunia hantu. Para elit itu, tak takut pada apapun. Bahkan, tak takut dengan kutukan langit."

Perlahan, air mata mengalir di pipi perempuan itu. Kemudian menderas membasahi setiap inci raut penyesalan di wajahnya. Dia tau semua fakta itu. Dia tau. Hanya saja, saat itu dia pikir dengan membocorkan sedikit rahasia kelemahan strategi dari kelompok kekasihnya, Reno, dia akan mendapatkan imbalan yang lebih besar, yakni pembebasan lahan mereka. Dia pikir mereka akan mengalah dan cabut dari wilayah mereka. Tapi nyatanya, serigala tetaplah serigala. Mereka hanya tau cara menerkam saat melihat domba bodoh tersesat sepertinya. Kini semua sudah terlambat. Reno, kekasihnya itu adalah bagian dari segelintir daftar orang yang satu persatu dipaksa tumbang. Kini Reno harus rela kehilangan tangan kanan dan telinga kirinya.

"Maafkan aku." Perempuan itu mengulang. "Tapi, ijinkanlah aku pergi dengan tenang. Sudikah kamu menguburkan jasadku dengan layak? Tubuhku dibuang begitu saja layaknya bangkai ayam oleh mereka di balik bukit pasir. Bertumpukan dengan sampah-sampah penambang. Bersama juga dengan ... jasad teman-teman kita. Teman-temanmu."

"Jika aku harus menguburkan jasad-jasad dengan layak, itu bukan termasuk jasadmu." Jawab Reno lugas.

Malam itu. Suara bising itu tetap terdengar. Mesin-mesin dan alat-alat bekerja dua puluh empat jam. Tak ada istirahat. Mengeruk seluruhnya, tak meninggalkan apa-apa kecuali penyakit gangguan pernapasan dan pencemaran lingkungan. Anak-anak harus terpaksa berhenti sekolah dan mencari uang dari mengais di pembuangan sampah. Dan orang-orang tua, napas mereka begitu berat. 

Reno berbalik. Matanya tak lagi mengantuk. Tuhan, aku mau laporan. Katanya dalam hati ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun