Mohon tunggu...
Witri Nailil Marom
Witri Nailil Marom Mohon Tunggu... Lainnya - (Ruang khusus fiksi)

Hai, selamat membaca. Semoga Allah bahagiakan kita hari ini. Aamiin :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Potong Rambut Demokrasi"

10 Juni 2024   18:39 Diperbarui: 10 Juni 2024   19:17 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bip bip bip ... (hanya suara elektrokardiogram yang menguar di langit-langit ruang operasi)


Sekilas tatapanmu terlihat tenang, menunggu kekasihmu dibedah dada dan dijahit-jahit tubuhnya di dalam ruang sana. Tapi, jemarimu tak bisa berdusta erat memeluk bajunya yang diserahkan perawat tadi. Penuh darah, dan lumpur, dan sobekan, dan bau mesiu. 

Kamu tak berhenti merapal doa, berpasrah pada Yang Kuasa. Dengan sesekali kamu memilin cincin kokah di jari manismu.

Tidak ada nada lagu di sini, semua orang menunggu dengan kecemasan dan wajah-wajah penuh goresan letih tidak tidur. Kecuali, dua anak kecil di lorong itu. Yang asik memainkan kursi roda saling dorong-mendorong. 

Kamu geram. Menyesal. Juga marah. Padahal, sudah beribu kali kamu ingatkan dia. Bahwa melawan mereka sama saja dengan bunuh diri! Tapi, kekasihmu tetap tak gentar.

Aroma karbol memenuhi pernafasanmu. Menusuk hidung sampai menembus dada. Perutmu mual. Sekotak layar teve yang menempel di dinding itu dengan monoton memutar iklan layanan masyarakat yang terus diulang-ulang, membuatmu semakin pusing. Kamu menahan sakit, mencoba berpegangan pada kosong. Penglihatanmu mengabur, tapi kamu masih dapat melihat pintu ruang operasi yang dibuka. Dengan ranjang pasien yang didorong cepat oleh beberapa perawat. Kamu seperti mendengar ceracau. Kekasihmu itu dalam setengah sadarnya di bawah pengaruh anestesi. Ia seperti meneriakkan kredo. Entah kredo apa, kamu tak lagi dapat mendengar jelas. Kepalamu semakin berat. Telingamu pun berdengung begitu hebat. Bayang-bayang orang-orang terkasihmu yang mati di tangan mereka itupun datang
bersama-sama. Mengadakan reuni di rumah sakit itu. Hingga semua menjadi gelap ...

___________________

Dalam gelap tanpa ruang, aku dapat mendengar detak jantungku sendiri. 


Tahun ini, negara 'nduwe gawe'. Dan, pesta setiap lima tahun sekali ini tak dapat diganggu gugat. Apapun yang terjadi. Apalah arti bencana di secuil wilayah,
pandemi diseluruh negeri -di bumi- pun tak jadi masalah. 

Kampanye? Jangan ditanya. Maksutku, adalah untuk jangan menanyakannya
padaku. Karena, memang aku bukan tim sukses dari manapun kubu. Aku adalah
rakyat yang diwajibkan mencoblos. Memilih. Dan ... 
dengan kejujuran ... yang telah dibeli.

Dalam gelap tanpa ruang, aku bersama kekasihku. Ku genggam tangannya, sama-sama menatap abstrak tak berujung di balik spanduk partai di depan gang rumah kami. Aku memuji potongan rambutnya yang baru. Yang enggak lagi gondrong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun