Mohon tunggu...
Witri Nailil Marom
Witri Nailil Marom Mohon Tunggu... Lainnya - (Ruang khusus fiksi)

Hai, selamat membaca. Semoga Allah bahagiakan kita hari ini. Aamiin :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Potong Rambut Demokrasi"

10 Juni 2024   18:39 Diperbarui: 10 Juni 2024   19:17 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Keren kan?" Katanya bangga. "Cuma-Cuma loh ini." Aku menatapnya ingin tau.

"Iya, ada tenda pangkas rambut gratis di jalan Keadilan sana, gang sempit sebelah Kampus Merdeka itu. Siapa saja bolehd ateng. Katanya biar seluruh orang-orang di kota ini rambutnya mirip artis Korea yang baru pulang dari wamil. Bagus, rapi, seperti 'orang' pada umumnya. Di depan tenda ada papan kecil bertuliskan, 'Pangkas Rambut Demokrasi'. Dan di dalam tenda, berentet gambar paslon dari partai anu, dengan tulisan ... 'Jangan lupa coblosn omor urut seribu!' Dan aku tidak sudi memilih mereka, meski aku ikut potong rambut." Dia tertawa pahit, menjentikkan abu rokok herbal yang didapatnya dari temannya minggu lepas, seorang aktivis dari Tulungagung. Ketika melakukan aksi depan kantor gubernur. 

Aku memeluknya erat. Berbisik di telinganya, agar jangan mengikuti kelompok
demonstran itu lagi. Aku takut. Kalau-kalau dia tak akan lagi kembali. Seperti para aktivis yang lalu-lalu. 

"Tenang Sayang, ini sudah era demokrasi, aku tak akan hilang." Jawabnya tersenyum jail. 

"Aku hamil." Kataku sungguh-sungguh menatapnya dalam. Dan matanya seketika berkaca-kaca. 

"Aku pasti pulang." Dia balas memelukku. Kemudian membacakan syair-syair milik Wiji Tukul di perutku.

 
Dalam gelap tanpa ruang, aku dibawanya ke sebuah lorong terang ... dan semua mimpi indah itu berakhir. 

__________________________

Kamu terbangun. Mengerjapkan mata karena retinamu menerima cahaya terlalu
terang. Entah bagaimana kamu sudah berada disisi kekasihmu. Yang lemah, tergolek di atas ranjang rumah sakit. Dengan banyak alat-alat menempel di tubuh yang mencicit seperti tikus. Bukan, bukan tikus berdasi. Tikus berdasi tak mencicit, mereka menyanyi di tempat-temoat karaoke. 


Oh benar saja, alangkah tampannya dia. Batinmu. Rambutnya sudah tak lagi gondrong. Sudah cepak. Seperti peserta ujian calon pegawai negeri. Meski kamu tidak pernah mau berurusan dengan itu.

"Dimana kamu potong rambut?" Kamu bertanya percuma. Karena, dia hanya diam. Dan kamu terus bercerita. Dan memberi kabar bahwa sebentar lagi dia akan jadi seorang ayah. Ini, seperti de javu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun