Baginya, namanya kebebasan itu tak tepaut ruang dan definisi. Karena segala yang merdeka artinya bergerak sesuai kemauan.
Dia hanya ingin berada di balik teralis besi ini. Cukup memandang hujan, dan merasakan dingin serta lembabnya angin yang menusuk relung. Baginya itulah kebebasannya. Kemerdekannya.
Apakah ada yang lebih kelam dari seorang pecinta yang mengetahui kapan sebuah kematian akan menjemput kekasihnya?
Setelah kepergiannya, dia seperti ruang hampa. Mengisolasi diri dari geger dunia dan drama-dramanya. Entah terik atau hujan, baginya sama saja. Sendu, dan masih merasa berkabung.
Derap kaki para demonstran terdengar dari luar jendela. Tahun hendak berganti, mereka pun menuntut pemimpin juga harus lengser. Eskalasi politik di luar sana sedang memanas. Tapi, dia tetap bertahan dengan hatinya yang membeku.
Dibukanya jendela itu, aroma gas air mata menyelinap ke dalam kamarnya yang gelap. Sudah hampir beberapa bulan ini dia tak mau lagi membuka surat kabar. Tak mau tau hiruk pikuk prahara di negara ini.
Tubuhnya makin kurus, tulang pipinya makin menonjol mengikis dagingnya. Dan kulitnya, terlihat kusam. Padahal, tepat di depan jendela kamarnya itu terpampang besar papan iklan skin care terbaru dari Korea.
Dia bersujud, menangis dan masih berharap kepada Tuhan untuk mengembalikan ruh kehidupannya. Kekasihnya.
"Tuhan tak senang melihatmu begini." kata temannya. Satu-satunya yang mau menemaninya selama ini. Â
"Tapi, mengapa Dia mengambilnya dariku?" Jawabnya dalam sesak dan isak.
"Kamu tau? Perbedaanmu dengan mereka-mereka di luar sana jika di waktu yang sama sekarang ini kalian akan mati? Ya, kematianmu akan menjadi mati yang sia-sia, tidakkah kekasihmu akan kecewa? Setelah kepergiannnya, dia berharap kamu dapat meneruskan apa yang telah dia perjungkan selama ini. Lihatlah, mereka dengan lantang meneriakan keadilan. Meski seringkali pulang membawa nama saja dengan kemenangannya yang tak pasti. Dan, kehilangan orang tercinta bahkan sebuah keniscayaan." Kata temannya panjang lebar dari sisi sempit nan gelap di pojokan kamar.
Kamu menatap lurus kepada jendela sambil bergumam. "Apakah kau juga tau? Manusia membuat teralis ini katanya untuk keamanan. Menjaga sesuatu yang berharga dari satronan pencuri. Ku pikir itu hanya omong kosong. Karena teralis ini adalah bentuk dari ketidak percayaan di antara manusia."Â
Kamu memeluk lutut. Menyembunyikan wajah dalam dekapanmu sendiri. Dan temanmu, perlahan melingkarkan tangannya di bahumu. Menepuk-nepuk pelan.
"Apakah teralis ini punya arti demikian bagimu?"
"Aku hanya ingin melindunginya dari orang-orang jahat. Dan berharap setiap kali malaikat maut datang hendak mengambil nyawanya, malaikat tak mampu menembusnya."
Hujan menderu seperti mesin penggiling. Tempiasnya masuk, melalui celah-celah rangkaian besi teralis yang membentuk heksagonal. 'Jika takdir dapat dinarasikan, bagiku kamu adalah proyeksi terbaiknya.' Dia mengenang kata-kata kekasihnya itu saat merayu di suatu kala mencumbu hujan.
Akankah yang mati mampu kembali? Membawa kabar bahwa dirinya baik-baik saja, di alam yang hanya Tuhan saja yang tau. Agar, kekasihnya di dunia, dan orang-orang yang mencintainya dapat menghirup harap lega.Â
Kamu yang sudah mati ... aku rindu.
_____
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI