Kamu menatap lurus kepada jendela sambil bergumam. "Apakah kau juga tau? Manusia membuat teralis ini katanya untuk keamanan. Menjaga sesuatu yang berharga dari satronan pencuri. Ku pikir itu hanya omong kosong. Karena teralis ini adalah bentuk dari ketidak percayaan di antara manusia."Â
Kamu memeluk lutut. Menyembunyikan wajah dalam dekapanmu sendiri. Dan temanmu, perlahan melingkarkan tangannya di bahumu. Menepuk-nepuk pelan.
"Apakah teralis ini punya arti demikian bagimu?"
"Aku hanya ingin melindunginya dari orang-orang jahat. Dan berharap setiap kali malaikat maut datang hendak mengambil nyawanya, malaikat tak mampu menembusnya."
Hujan menderu seperti mesin penggiling. Tempiasnya masuk, melalui celah-celah rangkaian besi teralis yang membentuk heksagonal. 'Jika takdir dapat dinarasikan, bagiku kamu adalah proyeksi terbaiknya.' Dia mengenang kata-kata kekasihnya itu saat merayu di suatu kala mencumbu hujan.
Akankah yang mati mampu kembali? Membawa kabar bahwa dirinya baik-baik saja, di alam yang hanya Tuhan saja yang tau. Agar, kekasihnya di dunia, dan orang-orang yang mencintainya dapat menghirup harap lega.Â
Kamu yang sudah mati ... aku rindu.
_____
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H