Ini cerita tentang anak sulung kami , Anak Lanangku. Ia baru saja memasuki fase dari seorang anak yang masih serumah dengan orangtuanya, menjadi seorang pria yang memulai hidup jauh terpisah dari bapak ibunya.
Dari seorang siswa yang segalanya masih harus disiapkan orangtuanya, menjadi mahasiswa yang semuanya kini harus diurusnya sendiri.
Ya Anak Lanangku baru saja menjadi mahasiswa baru Sastra Inggris Universitas Sebelas Maret (UNS) lewat jalur mandiri.
Setelah kurang beruntung di jalur SNMPTN, SBMPTN, dan Utul UGM, Anak Lanangku akhirnya diterima di dua jalur mandiri. Selain UNS, ia juga diterima di jurusan Sosiologi Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) Purwokerto.
Bagaimanapun kami menganggapnya itu sebagai kejutan. Anak Lanangku malah menyebut keberuntungan. Betapa tidak, justru di kelas tiga SMA konsentrasi Anak Lanangku seolah terpecah karena ia aktif dengan band yang baru dibentuknya.
Kami kesulitan melarangnya, kecuali hanya bisa memantaunya agar tidak kebablasan. Dan alhamdulillah akhirnya ia nyantol juga di Perguruan Tinggi Negeri dengan jurusan favoritnya yakni Sastra Inggris. Pelajaran yang paling ia kuasai selama di SMA memang pelajaran bahasa Inggris.
Ketika kami harus menjawab pertanyaan tentang apa resep keluarga sehingga membuat Anak Lanangku diterima di dua PTN jika persiapannya biasa-biasa saja? Saya hanya bisa menjawab: kebersamaan sebuah keluarga.
Kejutan Berikutnya
Begitulah, kami adalah keluarga dimana kedua orangtua sibuk bekerja. Kebersamaan keluarga yang kami maksud karenanya bukan sekadar tatap muka tapi lebih pada komunikasi.
Kesempatan kami bertatap muka cukup terbatas, mungkin hanya di akhir pekan kami bisa pergi bersama ke tempat wisata, ke mal, atau sekadar makan bersama di restoran. Kadang malah di rumah saja, memasak bersama atau memesan makanan.
Sedang kebersamaan keluarga dalam bentuk komunikasi dipastikan terjaga setiap saat. Jika sebelumnya melalui SMS dan telepon, sekarang bisa dilakukan via WA hingga facetime/video call.