Mohon tunggu...
Biso Rumongso
Biso Rumongso Mohon Tunggu... Jurnalis - Orang Biyasa

Yang terucap akan lenyap, yang tercatat akan diingat 📝📝📝

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kalau Istri Simpanan, Memang Kenapa?

13 April 2012   18:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:38 4126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup adalah pilihan. Itu yang disadari Ratih saat menerima pinangan Barman, pria beristri, yang juga mantan bosnya.

“Mungkin juga saya ditakdirkan jadi istrinya. Tapi bagi saya, mas Barman adalah suami pilihan. Bapak anak-anak saya saat ini,” tulis Ratih dalam buku hariannya.

Entah mengapa ia terusik kembali menuliskan perasaannya di buku harian usai menyaksikan tayangan geger cerita istri simpanan di buku pelajaran SD. Meski cerita itu mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari dan pernah mampir dalam kehidupannya, Ratih tak setuju hal itu menjadi materi pelajaran siswa tingkat sekolah dasar.

“Istri simpanan cermin keluarga tak bahagia. Dilarang agama. Dosa!” Begitu yang ada dalam pemahaman Ratih, dan mungkin juga banyak orang lainnya.

Barman adalah salah satu manajer perusahaan dan Ratih adalah salah satu staf kepercayaannya. Ratih menganggumi Barman lebih karena sikap dan kepemimpinannya. Ia dikenal sebagai sosok atasan yang disiplin, tekun, juga gila kerja. Cenderung pendiam, kurang romantis, namun pandai membimbing.

Sifat lainnya yang disukai Ratih dari seorang Barman adalah menghargai ide-ide siapapun yang dianggap positif. Berada di bawah kepemimpinannya seolah berada di sebuah perahu yang sedang berpacu dalam sebuah kompetisi.

Barman sebagai pemimpin berdiri di depan memberi komando dan motivasi sambil menabuh kendang. Anggota timnya memacu dayung dengan penuh semangat seraya menyanyikan lagu-lagu heroik.

Mungkin perahu yang dipimpin Barman belum bisa menjadi juara. Para pendayung capek. Namun mereka puas karena bisa mengetahui kekuatan mereka saat itu. Mereka juga jadi tahu bahwa untuk menjadi lebih baik dan juara, ada ukuran lainnya. Mungkin terkait persiapan yang lebih panjang, posisi pendayung, strategi dan cara mendayung, atau lagu-lagu yang harus mereka dendangkan.

“Ah, pokoknya tak ada masa paling menggairahkan selain berada dalam timmya,” tulis Ratih lagi.

Ratih pun meladeni tantangan Barman dengan bekerja keras dan cerdas. Ide-ide yang dilontarkan Ratih bukan hanya kerap memperoleh pujian, tapi diterapkan. Hasilnya, orang yang banyak ide dan bermanfaat bagi perusahaan memperoleh kenaikan gaji lebih banyak dibanding yang lainnya.

Ratih pun terpilih menjadi the best employee. Barman sangat bangga. Mereka pun menjadi dekat, kerap kerja lembur bersama. Perusahaan diuntungkan.

Masalahnya, diam-diam rupanya ada yang iri dengan kesuksesan Ratih. Begitulah balada kehidupan manusia. Ada hitam ada putih, ada yang sukses namun ada pula yang gagal.Ada yang suka tapi ada pula yang benci.

Entah bagaimana mulanya, Randy suami Ratih tiba-tiba marah kala ia pulang malam dan kebetulan diantar langsung oleh Barman. Randy menuduh Ratih telah berselingkuh dan ia mengaku punya bukti-buktinya.

Ratih tentu saja membantah dan menantang sang suami menunjukkan buktinya. Namun Randy malah kian marah, Singkat cerita, ia pun menceraikan Ratih. Usaha Randy untuk memperoleh hak asuh Rania, anak tunggal mereka, gagal. Hakim memberikan hak asuh kepada Ratih ibunya dengan alasan bocah itu masih kecil.

Kebetulan Rania sendiri memilih ikut Ratih daripada ayahnya.

Belakangan baru diketahui, bahwa ada seorang kawan di kantornya yang memberi laporan palsu tentang hubungan asmara Ratih dan Barman. Karena ketahuan, kawan tersebut  memilih mengundurkan diri karena malu.

Sedang terkait cemburu buta suaminya, Ratih menduga itu tak berdiri sendiri. Sebenarnya Randy mulai cemburu karena kariernya kalah bagus dari diriya. Penghasilan Ratih yang semua hampir sama dengan Randy kini sudah meninggalkan jauh. Sejak itu suaminya seolah menjadi lebih sensitif, hal-hal kecil tiba-tiba bisa menjadi masalah besar.

Kecemburuan yang semula dipendam itu kian panas manakala ia memperoleh laporan tentang hubungan asmara Ratih dengan bosnya. Lalu peristiwa Ratih diantar Barman malam itu seolah menjadi sumbu yang meledakan kecemburuannya menjadi kemarahan tak termaafkan.

Duh, Ratih kadang-kadang jadi membandingkan, betapa jauh kematangan dua pria dalam hidupnya itu. Barman dan Randy.

***

Sejak itu hubungan Barman-Ratih jadi kian dekat. Dari perasaan saling menghargai, saling mengagumi, lalu berlanjut jadi perasaan saling membutuhkan, saling menyayangi. Cinta pun bersemi.

Tatkala Barman mengungkapkan perasaan cintanya, Ratih terkejut. Padahal dari sikap dan perlakuannya, Ratih sebenarnya sudah bisa menebak bahwa pria beranak dua itu sangat menyukainya.

Barman tak lagi menempatkan diri sebagai sosok atasan, namun juga sosok pria yang siap melindungi kehidupannya. Ratih merasa, sikap itu saja sebenarnya sudah cukup. Kalimat gombal bahwa cinta tak perlu saling memiliki, benar-benar dirasakan Ratih saat itu.

Barman tak mendesak Ratih menjawab saat itu juga. Ia mengaku hanya ingin sekedar melepas perasaannya.

Ratih tentu saja bisa memahaminya. Ia sadar jawaban bahwa ia juga menyukainya sudah diketahui Barman. Namun untuk mengeluarkannya sebagai kata-kata seolah memiliki konsekwensi yang luas dan berat.

Sebab jika ya, maka tuntutan berikutnya adalah kapan mereka melangkah jauh kearah pernikahan. Dan itu tak mudah karena Barman punya istri, sedang Ratih juga punya anak, termasuk keluarga besarnya.

Namun seiring berjalan waktu, Ratih pun tak bisa menggantungkan perasaannya. Ia berani mengeluarkan balasan perasaannya setelah memperoleh persetujuan dari Rania. Barman memang bukan saja pandai mengambil hati dirinya, tapi juga anaknya.

Begitulah jalan terang pun seolah datang bersusulan. Setelah itu, entah bagaimana ceritanya, Barman mengaku sudah memperoleh lampu hijau dari istri pertamanya, Dyah. Tak lama kemudian Ratih diajak berkenalan dengan Dyah.

Ratih lega meski ia menangkap bahwa istri pertama Barman tak sepenuh hati mengizinkannya. Rupanya Dyah menyetujui sang suami menikahi Ratih dengan persyaratan tak melakukannya secara terbuka.

Alasannya untuk menjaga nama baik keluarga besar Dyah dan anak-anak mereka. Ratih bisa memahami hal itu. Ia juga tak memerlukan pernikahan besar-besaran seperti pernah dilakukannya bersama Randy.

***

Sejak itu, Ratih menjadi istri kedua Barman melalui nikah siri. Ia memilih keluar dari pekerjaan dan menjadi ibu rumah tangga. Mungkin sesuai dengan kesepakatan, Barman membelikan sebuah rumah lengkap beserta isinya, jauh dari lokasi rumah istri pertamanya.

Begitulah, sebagai istri kedua, Ratih harus menerima kehadiran suaminya pada hari-hari tertentu saja. Terasa berat memang. Apalagi setelah dikarunai dua anak dari Barman. Para tetangga kerap mempergunjingkan statusnya sebagai istri muda, bahkan istri simpanan.

Anak-anak pun sering memperoleh pertanyaan serupa. Syukurlah mereka sudah terbiasa dan kini hidup lebih mandiri.

Dengan kekayaan suaminya, sebenarnya Ratih bisa ongkang-ongkang menghabiskan uang. Namun, sekali lagi, ia sangat bersyukur bersuamikan Barman.

Suami tercinta tahu bahwa ia suka memasak. Ratih lantas didorong untuk mempelajari usaha catering dan mendirikannya.

Setelah jatuh bangun, akhirnya usaha itu sukses. Bahkan berhasil merekrut tenaga kerja yang merupakan warga di sekitar tempat tinggalnya.

***

Suatu hari, salah seorang karyawatinya mengajak ngobrol dengan topik istri simpanan yang lagi ramai diperbincangkan. Katanya, ia pernah punya saudara seperti itu. Yakni menjadi istri simpanan orang Korea Selatan, lalu kini menjadi janda lagi setelah suaminya itu pulang ke negaranya.

“Dan maaf ya bu, dulu sebelum saya kerja di sini, saya juga menyangka ibu seperti itu. Tapi sekarang lebih dari 100 persen saya tak percaya.”

“Maksud kamu ibu sebagai istri simpanan? Kalau istri simpanan memangnya kenapa?” Ratih cukup terkejut dengan pertanyaan itu, meski ia segera bisa menguasai diri.

“Yang penting kamu sudah tahu bahwa anggapan itu salah. Lagi pula hidup ini harus diisi berprasangka baik, berbuat baik, bekerja dengan gigih untuk memperoleh hasil yang baik pula. Kalau bergunjing melulu, kapan kita majunya. Hidup kita rugi sendiri,”

Karyawati tadi mengangguk-angguk dan jadi malu untuk melanjutkan pertanyaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun