Herman, seorang anggota satuan petugas keamanan (satpam) tergopoh-gopoh menyambut kedatangan mobil Toyota Alphard milik bos barunya. Setelah pintu dibukakan, sang bos keluar dengan menenteng tasnya tanpa senyum.
Sebelum menutup pintu,Herman sempat melirik seorang gadis bersaragam SMA di dalam mobil. Gadis berkulit putih bersih dan rambut sebahu itu tampak cantik dan segar. Herman langsung menebak bahwa siswi SMA itu adalah putri bosnya.
Hari kedua, Herman kembali melakukan pekerjaan serupa. Kali ini ia sempat melirik wajah bosnya yang masam. Setelah pintu dibuka, si bos menyuruh Herman pergi. Atasan Herman itu lalu menutup pintu mobil dengan tangan sendiri.
Kali ini Herman hanya bisa sepintas melirik gadis cantik putri sang bos. Namun ia bisa membayangkan betapa ranum dan wanginya gadis itu. Ingin sekali ia bisa menatap wajahnyadari dekat atau sekadar duduk sebentar disampingnya agar bisa mengirup aroma wangi dari tubuhnya.
Hari ketiga Herman kembali melakukan hal serupa. Namun langsung dihardik sang bos dari kaca jendela yang dibuka secara otomatis. Herman sempat mundur beberapa langkah karena terkejut.Harapan bisa melirik gadis cantik anak bosnya pun saat itu langsung sirna.
***
Herman sudah dua tahun bekerja di perusahaan itu.Usianya masih muda, karena selepas lulus SMA, ia mendaftar menjadi satpam.
Tak adanya biaya untuk kuliah membuat Herman harus mencari pekerjaan. Apalagi ia masih punya dua adik yang membutuhkan bantuan biaya sekolah.
Beruntung Herman memiliki tubuh sehat dan atletis, ikut bela diri pula sehingga menjadi pertimbangan kuat saat lolos tes menjadi satpam. Beberapa karyawati kantor diam-diam menganggumi tubuh Herman.
Andai saja Herman bukan satpam, pasti banyak karyawati kantor menawarkan diri untuk dipacarinya.Herman sendiri tak berani bermimpi. Ia hanya ingin bekerja sebaik mungkin. Ia belum kepikiran untuk menikah.
Bekerja, bekerja, dan bekerja adalah hal yang ingin dilakukan setiap harinya.Bayangan adik-adik di rumah yang selalu minta jatah uang sekolah setiap bulan juga memenuhi pikirannya.
Karena itu selain melaksanakan pekerjaan utama menjaga keamanan kantor, Herman selalu berusaha menyenangkan semua orang yang dikenalnya.Ia bahkan bersedia disuruh membelikan makanan oleh karyawan kantor saat waktunya senggang. Membukakan pintu mobil atasan dan mobil para tamu kantor menjadi bagian servis Herman tanpa pamrih.
Hampir semua orang senang dengan servis yang diberikan Herman, kecuali bos barunya.
Perusahaan dimana Herman bekerja sebenarnya tak mengalami masalah serius, bahkan cenderung mengalami kemajuan. Namun entah mengapa, pemilik perusahaan lebih memilih menjual sebagian besar sahamnya. Akibatnya terjadi pergantian di sejumlah pucuk pimpinan.
Bos baru Herman dikenal dengan panggilan Pak Sigit. Usianya antara 50 tahun hingga 60 tahun. Tapi tubuhnya masih kekar dan berisi seperti tubuh Herman. Perutnya juga tak buncit seperti para bos pada umumnya. Mungkin karena gemar berolahraga. Ditunjang dengan penampilan yang keren, Pak Sigit tampak lebih mudadari usianya.
Tapi mengapa sang bos tampak tak suka pada Herman?
Saat ada kesempatan, ia lalu bertanya pada Arjun, sopir pribadi Pak Sigit.
"Kamu ganteng sih," jawab Arjun.
"Saya serius Mas. Baru kali ini ada yang marah dengan pekerjaan saya membukakan pintu mobil," ucap Herman.
"Dan yang nggak suka itu adalah bos. Atasan kita. Itu kan bahaya," kata Herman lagi.
"Yah begitulah bapak. Ia memeng orang sukses. Tapi benar-benar sukses dimulai dari bawah. Mungkin karena itu, bapak cenderung tak suka terlalu dilayani. Kalau saja tak berangkat bersama anak kesayangannya, mungkin ia akan menyetir sendiri ke kantor. Tak perlu sopir," urai Arjun.
Mendengar anak sang bos disebut, sebenarnya Herman ingin mengorek lebih jauh. Namun ia mengurungkannya. Ia takut hal itu akan dilaporkan ke bosnya. Jika sampai itu terjadi bisa gawatlah nasib pekerjaannya.
Herman pun mengangguk-angguk mendengar uraian Arjun.
"Oke. Tangkyu banget ya, Mas."
"Eh, inget ya. Bapak tak membenci kamu. Bapak hanya tak ingin diperlakukan berlebihan sebagai bos. Bekerjalah seperti biasa," pesan Arjun.
Herman mengangguk. Lalu mereka kembali sibuk dengan urusan masing-masing.
***
Sejak itu Herman tak pernah lagi berani membukakan pintu mobil Alphard milik bosnya. Herman hanya mencuri pandang dari kejauhan.
Tat kala sang bos lewat di hadapannya, ia memberanikan diri mengucapkan selamat pagi.
Di luar dugaan, Pak Sigit tersenyum dan menjawabnya terima kasih kepada Herman.
Suatu hari, Herman kembali tergopoh-gopoh membukakan sebuah mobil Honda CRV. Masya Alloh, saat itu Herman terkejut bukan main. Ia mundur beberapa langkah saat kaca mobil dibuka dan di dalamnya menyembul wajah Pak Sigit.
"Maaf Pak, Maaf.....Saya tak tahu jika bapak yang di dalam mobil," ucap Herman.
"Kamu tak salah. Tak perlu minta maaf," jawab si bos.
Dari keterangan Arjun, Herman jaditahu bahwa Pak Sigit punya tiga buah mobil. Satu Alphard yang biasa dipakai, Honda CRV yang biasa digunakan istrinya, dan Honda Jazz untuk putri semata wayangnya.
Pak Sigit juga sebenarnya punya seorang anak cowok, kakak si siswi SMA cantik yang biasa berangkat bersama papanya. Anak lelaki pak Sigit itu kini sedang kuliah di Amerika Serikat dan pulang minimal dua kali setahun.
Saat jam makan siang, tiba-tiba Herman memporoleh pesan agar dia menghadap Pak Sigit. Pesan itu disampaikan Winda, sekretaris bosnya.
Tentu saja ia terkejut, ada apa gerangan? Herman lalu menghubung-hubungkan dengan peristiwa-peristiwa yang telah dialaminya. Jantungnya jadi berdegub kencang.
"Masuk, duduklah. Mau minum apa?," tanya Pak Sigit.
Ia lalu menelepon, Winda, agar menyiapkan teh hangat sesuai pesanan Herman. Saat itu Herman sempat melirik Winda. Sekretaris bosnya itu tersenyum penuh misteri. Mungkin Winda tahu kenapa ia harus berada satu ruangan dengan bos besarnya.
"Kamu tahu kenapa saya memanggilmu ke sini,"
"Maaf Pak. Saya tak tahu."
"Kamu juga nggak tahu kenapa saya tak suka kamu membuka pintu mobil bosmu setiap hari."
"Saya paham, pak,"
"Paham?"
"Mak...mak...maksud saya."
"Jujur. Saya tak suka dengan matamu saat melirik anak saya di dalam mobil."
Serasa disambar geledek, Herman langsung terdiam. Ia takut bayangan yang berlebihan tentanganaksang bos ketahuan.
"Ma…Maafkan saya, Pak."
"Tak perlu minta maaf."
Herman diam lagi. Tak mengerti arah pembicaraan bosnya.
"Kamu pasti membayangkan soal anak saya ya. Jawab!"
Herman makin bingung. Tak tahu harus menjawab apa.
"Kok tahu, Pak," ucapnya meluncur begitu saja.
"Ya tahu saja. Gerak-gerikmu mudah terbaca!"
"Kok bisa tahu Pak," jawab Herman lagi.
"Ya iyalah . Saya kan juga pernah muda."
Herman terdiam. Mau bilang "kok tahu lagi" takut dianggap makin bego.
"Asal kamu tahu ya, waktu muda dulu saya juga pernah menjadi satpam seperti kamu."
Herman sudah mendengar soal itu. Namun tetap terkejut karena mendengar langsung dari bosnya. Herman tetap diam, tak berani menebak, tak berani member komentar.
Herman benar-benar pasrah. Jika hari itu ia akhirnya harus dikenai sanksi, ia ikhlas. Ia hanya berdoa agar tak dipecat karena belum siap.
"Sekarang sudah cukup. Kamu boleh keluar. Teruskan pekerjaan kamu seperti kemarin-kemarin."
Seperti kerbau dicocor hidungnya, Herman keluar ruangan bosnya dengan pikiran menerawang, kacau. Di pintu keluar ia kembali melihat senyum di wajah Winda, namun Herman tak berani bertanya apa arti senyuman itu buat dirinya.
Esok harinya, Herman memperoleh pesan dari Winda bahwa ia boleh membukakan pintu mobil Alphard atau CRV milik Pak Sigit. Sekali-kali Herman juga dipersilahkan membawakan tas sang bos yang kini jadi idolanya sampai depan meja Winda.
Kesempatan seperti itu benar-benar membuat Herman lega sekaligus puas. Sebuah kepuasan yang mungkin tak ternilai harganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H