Mohon tunggu...
Biso Rumongso
Biso Rumongso Mohon Tunggu... Jurnalis - Orang Biyasa

Yang terucap akan lenyap, yang tercatat akan diingat 📝📝📝

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tetanggaku: Siapakah Suaminya? (Cerpen Tandem)

22 Mei 2011   18:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:21 1606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ringkasan: Saya Herman, 40 tahun, sedang kesal dengan istri yang diduga berselingkuh. Tapi tiba-tiba seperti mendapat durian runtuh. Saya berkenalan dengan Reni, tetangga baruku yang muda dan cantik itu. (Tetanggaku: Cerpen Eddy Roesdiono)

Hemm, ruang tamu rumah Reni, tetangga baruku masih tampak acak-acakan. Perabotan pindahan rumah masih menumpuk dalam kardus. Aku mencoba menebak-nebak kemungkinan profesi keluarga wanita cantik ini, namun tak mudah.

Konsentrasiku lalu ke arah kotak meteran listrik yang disebut Reni. Lalu aku hidupkan saklar meteran yang mati itu. Ternyata tidak mau menyala. "Aku periksa dulu deh sekeringnya," ucapku seraya mencari posisi sekering.

Reni sendiri tampak kaget mendengar ucapanku barusan. Mungkin ia sedang memperhatikan aku selama memeriksa meteran. Ia pun buru-buru berusaha menutupi kekagetannya dengan mengatakan: "Kalau begitu saya akan buatkan minuman buat Pak Herman. Dingin atau panas, Pak," katanya seraya bergerak meninggalkanku ke arah dapur.

"Nggak usah repot-repot mbak, eh dik," jawabku ikut-ikutan kagok. Ia merasa lebih pantas memanggil dik, karena Reni pasti jauh lebih muda darinya.

Setelah melepaskan sekering dan memeriksanya, aku pastikan alat kecil itu putus. Aku minta izin Reni untuk pulang ke rumah mengambil sekering cadangan. Dari dapur, Reni berkata basa-basi. "Wah jadi ngerepotin banget ya," ucapnya.

Begitu saya muncul lagi dengan membawa sekering, Reni mengulang perkataan terakhirnya. "Wah jadi ngerepotin banget ya?"

"Ah biasa saja. Tetangga kan seperti saudara. Harus saling tolong menolong," ujarku berusaha sopan.

Saat memasang sekering listrik aku mencoba meliriknya. Kali ini Reni cuek saja. Lama-lama aku jadi berani menatapnya langsung. Sebagai lelaki, aku segera tertarik dengan kecantikannya, membayangkan kemolekan tubuhnya.

Bayangan itu bahkan semakin liar seolah sengaja hendak menantang perbuatan istriku yang diduga telah berselingkuh dengan lelaki lain. "Kalau dia (istriku) bisa mengapa aku tidak," pikirku.

Setelah sekering dipasang ternyata masih tersendat-sendat. Naluri sebagai lelaki berpengalaman dengan kelistrikan langsung menerka dimana penyebabnya. "Ini pasti ada yang korsleting. Maaf saya periksa satu per satu lampunya ya?," ucap saya seraya meraih saklar ruang tampu yang tak jauh dengan posisiku berdiri dan menyalakannya. "Yang ini nggak masalah,"kataku lagi.

Saat itu Reni seperti pasrah karena dalam posisi butuh pertolongan. Ia membiarkan saya menyisir setiap ruangan di rumahnya. Tentu saja saya minta izin ketika harus masuk ke kamar tidurnya. Kamar itu juga terlihat acak-acakan mengundang bayangan nakal.

Anehnya, kali ini aku berusaha membuang bayangan yang bukan-bukan. Bayangan anak-anakku yang sedang sekolah tiba-tiba bermunculan. "Anak broken home, ah tidak!," bisik hatiku.

Ternyata di kamar tidur itulah biang masalahnya. Bola lampu listrik di kamar Reni agaknya sudah lama tak diganti. Jaringannya sudah kacau sehingga menyebabkan hubungan arus pendek atau korsleting. Lagi-lagi aku pamit dulu untuk mengganti lampu rusak. Tampaknya Reni masih pasrah, tak tahu harus menjawab apa.

"Saya bilang lampu baru, padahal lampu baru namun sudah dipakai. Tak enak saya meminta uang untuk membeli lampu baru. Lagipula nanti malah ketahuan tetangga," kata saya lagi dalam hati.

Namun begitu saya kembali hendak memasang lampu pengganti, saya dikejutkan dengan sebuah foto besar Reni dengan seorang lelaki yang tampaknya berusia lebih tua dari dia. Rupanya saat saya pulang ke rumah, Reni melepas salah satu figura foto keluarga dan hendak memasangnya.

"Itu suamimu ya," ucap saya mencoba menutupi keterkejutan.

Reni mengangguk. "Tapi biar nanti suami saya yang memasangnya," ucapnya seolah sayalah yang hendak menawarkan memasang figura itu.

Setelah semuanya selesai, Reni mengambil dompet hendak memberi ongkos saya. Ia tahu bahwa bola lampu tadi tidak gratis. "Nggak usah, sungguh nggak usah. Saya sudah sangat senang menolong tetangga yang cantik," ucapku sedikit menggoda.

Reni tampak senang mendengarnya. "Saya ingin sekali segera memperkenalkan suami saya dengan Pak Herman yang baik," ucapnya.

Saya kemudian pamit.

Di rumah, bukan hanya wajah Reni yang masih terbayang-bayang dalam pikiran saya, tapi juga wajah suaminya.

"Wajah itu begitu akrab. Saya seperti sudah mengenalnya, tapi siapa ya?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun