Saat itu Reni seperti pasrah karena dalam posisi butuh pertolongan. Ia membiarkan saya menyisir setiap ruangan di rumahnya. Tentu saja saya minta izin ketika harus masuk ke kamar tidurnya. Kamar itu juga terlihat acak-acakan mengundang bayangan nakal.
Anehnya, kali ini aku berusaha membuang bayangan yang bukan-bukan. Bayangan anak-anakku yang sedang sekolah tiba-tiba bermunculan. "Anak broken home, ah tidak!," bisik hatiku.
Ternyata di kamar tidur itulah biang masalahnya. Bola lampu listrik di kamar Reni agaknya sudah lama tak diganti. Jaringannya sudah kacau sehingga menyebabkan hubungan arus pendek atau korsleting. Lagi-lagi aku pamit dulu untuk mengganti lampu rusak. Tampaknya Reni masih pasrah, tak tahu harus menjawab apa.
"Saya bilang lampu baru, padahal lampu baru namun sudah dipakai. Tak enak saya meminta uang untuk membeli lampu baru. Lagipula nanti malah ketahuan tetangga," kata saya lagi dalam hati.
Namun begitu saya kembali hendak memasang lampu pengganti, saya dikejutkan dengan sebuah foto besar Reni dengan seorang lelaki yang tampaknya berusia lebih tua dari dia. Rupanya saat saya pulang ke rumah, Reni melepas salah satu figura foto keluarga dan hendak memasangnya.
"Itu suamimu ya," ucap saya mencoba menutupi keterkejutan.
Reni mengangguk. "Tapi biar nanti suami saya yang memasangnya," ucapnya seolah sayalah yang hendak menawarkan memasang figura itu.
Setelah semuanya selesai, Reni mengambil dompet hendak memberi ongkos saya. Ia tahu bahwa bola lampu tadi tidak gratis. "Nggak usah, sungguh nggak usah. Saya sudah sangat senang menolong tetangga yang cantik," ucapku sedikit menggoda.
Reni tampak senang mendengarnya. "Saya ingin sekali segera memperkenalkan suami saya dengan Pak Herman yang baik," ucapnya.
Saya kemudian pamit.
Di rumah, bukan hanya wajah Reni yang masih terbayang-bayang dalam pikiran saya, tapi juga wajah suaminya.