Indonesia adalah negara yang memiliki hutan yang cukup luas sebagai penyimpan cadangan air dan juga sebagai sumber oksigen.Â
Tidak seperti sekarang yang telah banyak terjadi penebangan hutan secara liar, pada zaman dahulu, masyarakat Indonesia memanfaatkan hutan dengan baik, menjaga pohon dan sangat bijak mengelolanya karena kearifan lokal yang mereka miliki.
Salah satu contohnya pada masyarakat Bali, selain dikenal ramah dan memiliki toleransi tinggi, juga dikenal karena memiliki berbagai kearifan lokal yang mengajarkan mereka untuk selalu menjaga alam dan lingkungan sekitar.Â
Tumpek Wariga adalah adalah salah satu kearifan lokal masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu. Pada hari Tumpek Wariga yang jatuh tiap enam bulan sekali berdasarkan perhitungan kalender Bali yaitu pada hari Sabtu (Saniscara), Kliwon, Wuku Wariga umat Hindu akan melakukan persembahyangan untuk mengucap rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya menciptakan tumbuhan -tumbuhan di dunia ini.
Ritual Tumpek Wariga yang dikenal juga dengan nama Tumpek Bubuh, dimulai dari persembahan bubur, yang melambangkan kesuburan. Ritual ini juga mengajarkan masyarakat Bali untuk selalu menjaga tumbuhan yang tidak hanya menjadi sumber makanan bagi manusia, namun juga sekaligus sebagai penjaga air.
Selain di Bali, suku Sakai di Riau juga sangat menyayangi hutan mereka, dengan membagi hutan menjadi tiga bagian yaitu hutan adat, hutan larangan dan hutan perladangan.Â
Pada hutan adat masyarakat dapat mengambil beberapa jenis tumbuhan seperti damar dan rotan tanpa merusak pohonnya, pada hutan larangan masyarakat sama sekali tidak boleh mengambil apapun dan pada hutan perladangan masyarakat dapat bercocok tanam.
Dari contoh di atas, kearifan lokal di Bali mampu mengajarkan manusia mencintai pohon dan menjaga kelestarian lingkungan. Walaupun karena ulah manusia, saat ini keadaan pohon di hutan dan mungkin juga pekarangan rumah sudah tidak sama seperti dulu.
Wujud mencintai pohon tetap harus kita lakukan, kita bisa memulai lagi dengan reboisasi di hutan gundul dan untuk di rumah tangga kita bisa menanam berbagai jenis bunga dan sayur atau tumbuhan lain di pekarangan rumah atau menggunakan pot pada lahan sempit.Â
Kearifan lokal suku Sakai juga masih relevan diterapkan di era modern ini, hutan larangan sama halnya dengan hutan lindung yang berfungsi menyimpan cadangan air. Jadi hutan lindung harus kita pertahankan keberadaannya.
Tanpa kita sadari, pohon adalah "pahlawan sejati" penjaga air, ia adalah pahlawan sesungguhnya, yang tugasnya adalah menyerap air hujan, menyimpannya dan sebagai sistem filtrasi untuk tersedianya air bersih, serta mencegah bahaya banjir dan tanah longsor.
Air bersih yang kita nikmati yang bersumber dari dataran tinggi adalah hasil dari filtrasi dari pohon tersebut. Selain itu pohon juga sebagai tempat beragam fauna bernaung dan mendapatkan makan, pohon berfungi menjaga ekosistem tetap lestari.
Bayangkan saja jika kita tidak dapat merawat pohon-pohon tersebut dengan baik, pasokan air bersih akan berkurang, bencana banjir tanah longsor akan sering terjadi, selain itu polusi juga menjadi tidak terkendali.
Kearifan lokal yang telah ada sejak zaman dahulu seperti di Bali dan Riau di atas, sebaiknya mulai kita maknai dengan baik, pesan yang tersirat di dalamnya.Â
Bahwa pada zaman dahulu leluhur kita sangat menginginkan hidup yang harmoni dengan alam, dengan menjaga alam dengan baik, alam pun akan memberi timbal balik yang baik untuk kita, dan begitu juga sebaliknya jika kita merusaknya maka alam tidak akan bisa memberi apapun untuk kelangsungan hidup kita termasuk air.Â
Oleh karena itu tanamkan pada diri kita sendiri "Jika ingin menjaga ketersediaan air mulailah dengan mencintai pohon".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H