Mohon tunggu...
Wistari Gusti Ayu
Wistari Gusti Ayu Mohon Tunggu... Guru - Saya seorang guru

Guru adalah profesi yang mulia, saya bangga menjadi guru

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan featured

Dilema Kaum Milenial, antara Memiliki Rumah dan "Ngontrak"

8 Juli 2019   00:24 Diperbarui: 19 Juni 2021   08:26 1288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasangan milenial membeli rumah. Sumber: SHUTTERSTOCK/TRAVELPIXS via Kompas.com

Semua orang pasti orang ingin memiliki rumah sendiri, begitu juga kaum milenial. Kenapa saya bisa bilang begitu? Karena saya sendiri adalah generasi milenial. Dikutip dari republika.co.id  istilah generasi millennial memang sedang akrab terdengar. Istilah tersebut berasal dari millennials yang diciptakan oleh dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa bukunya.

Millennial generation atau generasi Y juga akrab disebut generation me atau echo boomers. Para pakar menggolongkannya berdasarkan tahun awal dan akhir. Penggolongan generasi Y terbentuk bagi mereka yang lahir pada 1980 - 1990, atau pada awal 2000, dan seterusnya. Generasi ini sangat lekat dengan teknologi.

Dikatakan juga bahwa teknologi juga membuat para generasi internet tersebut mengandalkan media sosial sebagai tempat mendapatkan informasi. Saat ini, media sosial telah menjadi platform pelaporan dan sumber berita utama bagi masyarakat. Selain itu pusat data republika menyebutkan juga bahwa :

  1. Millennials rata-rata mengalihkan perhatiannya dari berbagai gawai, seperti PC, smartphone, tablet, dan televisi  27 kali setiap jamnya. Angka ini meningkat dari 17 kali per jam di generasi sebelumnya.
  2.   Dalam urusan bekerja, millennial lebih tertarik memiliki pekerjaan yang bermakna ketimbang sekadar bayaran yang besar.
  3.  Dalam urusan konsumsi hiburan, millennial menghabiskan 18 jam perhari untuk menikmati layanan tontonan on demand, bermain gim, atau sekadar menonton televisi konvensional.

Dari apa yang disebutkan di atas, saya sangat merasakan ciri-ciri tersebut sangat melekat pada diri saya, termasuk dalam hal kecil seperti menulis,  saya cenderung menulis menggunakan perangkat komputer atau smartphone, ketimbang harus menulis tangan. Hal itu mungkin saja terjadi karena generasi kami mengenal komputer sejak SMP. 

Generasi kami sudah belajar melalui kursus di lembaga kursus komputer, bahkan setelah masuk SMA saya mendapat les wajib dari sekolah, walaupun program jaman itu memang tidak secanggih sekarang ini, sangat berbeda dengan generasi terdahulu yang mungkin, maaf, agak lambat mengenal dan menggunakannya.

Dalam hal pekerjaan juga, memang saya juga merasakan, saya tidak terlalu tertarik dan menggebu-gebu untuk bekerja dengan pembayaran yang besar, dengan menjadi guru PNS, saya merasa sudah cukup, walaupun ada cicilan di Bank,  kami  tidak ingin mencari kerja sampai malam dengan penghasilan berlipat ganda. 

Sebagai contoh saja, ketika orang tua menawarkan untuk mencoba bisnis sebagai sambilan, karena kebetulan saya tinggal di sentra industri kecil kerajinan gerabah dan keramik di Bali.

Di Desa kami, hampir setiap rumah memiliki usaha kerajinan ini dan biasanya diwariskan secara turun-temurun. Saat saya diberi kesempatan mengelola usaha kecil tersebut saya dan suami merasa"malas" menjalankannya karena kami merasa sudah nyaman dengan penghasilan yang sekarang, walaupun tidak besar, kami ingin berusaha sendiri.  Namun hal itu tidak berlaku untuk semua orang, itu adalah contoh yang terjadi pada diri saya sendiri.

Dan untuk hiburan, saya sangat merasakan, saya memang sering menghabiskan waktu mencari hiburan lewat internet, saya sangat suka nonton drama korea juga lakorn, dan mungkin kalau memang suka jalan ceritanya bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk tahu kelanjutannya dengan menontonnya lewat aplikasi di smartphone. 

Selain itu setiap sore sampai malam hari ketika bersantai sering mengahabiskan waktu untuk menonton televisi bersama keluarga. Untuk hiburan tidak hanya itu saja, saya juga sering menghabiskan liburan dengan jalan-jalan ke berbagai tempat rekreasi atau keluar sekedar untuk nongkrong atau makan bersama keluarga, hal tersebut membuat ada kepuasan batin yang dirasakan. Kegiatan ini kurang disukai orang tua saya, katanya lebih baik uangnya ditabung ketimbang untuk jalan-jalan. 

Jika dihubungkan dengan ciri-ciri tersebut, gaya hidup kaum kami yang lekat dengan internet, tanpa memikirkan bayaran besar dalam pekerjaan dan senang mencari hiburan, membuat banyak yang menganggap dalam membina rumah tangga, kaum ini lupa menyiapkan dana untuk sebuah rumah impian.  Sebagai kaum milenial saya akan berbagi cerita mengenai hal ini.

Pada awal menikah, tahun 2008, saya tinggal bersama mertua, namun sebelum menikah kami telah memiliki rencana suatu saat harus memiliki hunian sendiri. Kami ingin juga merasakan hidup mandiri, dengan mengatur keluarga sendiri, walaupun mungkin masih dibimbing orang tua kami. Nah, itu adalah mimpi kami. Jadi dari segi mimpi, saya rasa kaum milenial yang lain pasti sama dengan saya.

Lalu dari segi mewujudkan mimpi, setiap pasangan yang baru menikah, di awal-awal pernikahan yang paling pasti adalah memiliki rencana untuk memiliki anak, jadi selain biaya hidup sehari- hari dana yang harus ada adalah untuk pemeriksaan kehamilan, kelahiran anak dan membesarkannya. 

Saya kira itu yang menjadi prioritas, karena tabungannya terdahulu sebagian pasti sudah digunakan untuk acara pernikahannya, kecuali menikah karena ada "sponsor", entah dari orang tuanya atau siapa saja. 

Saya sendiri merasakan sebuah dilema, jika punya rumah sendiri pasti menyenangkan, namun membangun rumah, apalagi di awal pernikahan, mungkin masih terasa berat, rumah harus dibangun di atas sebuah lahan, jadi pertama kita harus beli adalah sebidang tanah kecuali yang punya warisan.

Jika harus  mengontrak atau bahkan kos, pasti hemat apalagi jika masih berdua cukup menyewa 1 kamar dengan kamar mandi dan dapur di dalam. Dan ketika anak lahir baru mengontrak rumah yang lebih besar, namun ketika kontrakan habis dan tidak diijinkan untuk memperpanjang harus siap-siap untuk pindah mencari tempat baru, dan mungkin juga anak-anak harus pindah sekolah.

Tetapi untungnya saat saya bingung mengambil keputusan, saya masih tinggal bersama mertua, jadi saya masih dapat berpikir, berdiskusi dengan suami bahkan berhemat. Saat itu saya tinggal di sebuah kamar di rumah yang didirikan mertua, dapur masih jadi satu juga dengan mertua dan ipar yang belum menikah. 

Kata suami, jika saya ngontrak, gak enak juga nanti sama mertua, sudah ada rumah mertua kenapa harus ngontrak, tapi jika membangun, saat itu belum mampu.

Hal itu saya rasa terjadi pada setiap orang bukan hanya kaum milenial, hanya saja yang banyak terjadi kaum milenial akan lebih memilih kos, atau ngontrak selama dia merasa nyaman, kenapa harus memaksakan diri membeli rumah jika belum mampu? Namun seperti disebutkan di atas  kelemahan mengontrak tanpa ada hunian tetap akan menyebabkan kita hidup berpindah-pindah alias nomaden.

Jika memang tidak ingin hidup nomaden apalagi saat sudah memiliki anak yang telah bersekolah, kita memang harus punya strategi, misalnya untuk saya dan suami, saat kami tinggal dirumah mertua, biaya sewa rumah tentu saja tidak keluar, apalagi air dan listrik. 

Saat itu kami meminjam uang, di bank untuk membeli tanah, lalu setelah itu kami mempersiapkan untuk membangun rumah, caranya, adalah membuat rumah secara bertahap.

Di tanah yang kami beli itu kemudian kami membuat sebuah sumur bor, karena air PAMnya sering keruh, setelah cukup uang lagi, kami membuat pondasi, lalu beberapa bulannya membangun kerangka rumah, karena dana terbatas kami memilih desain minimalis. 

Untuk membuat bangunan berlantai, misalnya lantai tiga, bangunan dapat diselesaikan dari atas, kerjakan hal-hal yang penting saja dulu, misalnya, kamar tidur dan kamar mandi di lantai 2, yang lainnya dikerjakan secara bertahap, sedikit demi sedikit, yang belum selesai biarkan dulu sambil mengumpulkan dana.

Proses finishing bangunan di lantai 2, lantai 1 dan 3 dikerjakan bertahap (dok. pribadi)
Proses finishing bangunan di lantai 2, lantai 1 dan 3 dikerjakan bertahap (dok. pribadi)
Walaupun, rumah tidak sepenuhnya selesai, namun paling tidak kita ada tempat untuk tinggal. Dan pasti akan selesai jika sudah ditargetkan. Dengan demikian kita tidak perlu mengeluarkan dana yang sangat besar seperti untuk membangun rumah sekali jadi. 

Sebenarnya sama juga ketika kita mengeluarkan uang saat ngontrak, kita keluarkan sedikit demi sedikit, mungkin perpanjangan waktu setahun sekali, atau enam bulan sekali tergantung perjanjian dengan tuan rumah.

Lantai 2 yang sudah siap ditempati, lantai 1 yang pengerjaannya akan dicicil (dok. pribadi)
Lantai 2 yang sudah siap ditempati, lantai 1 yang pengerjaannya akan dicicil (dok. pribadi)
Tapi bedanya, rumah yang dibangun dengan cara mencicil akan menjadi rumah pribadi kita, sedangkan jika ngontrak rumah akan tetap milik tuan rumah. Atau jika tidak ingin merencanakan atau merancang sendiri pembuatan rumah, mungkin ada baiknya uang ngontrak digunakan untuk mencicil sebuah hunian misalnya melalui Bank. 

Jadi Bagi yang masih dilema, mungkin setelah saya bercerita sudah ada sedikit gambaran, membangun rumah dengan dana terbatas. Dengan adanya tanggung jawab membangun rumah secara mencicil ini, saya jamin sifat-sifat negatif milenial akan berkurang sedikit demi sedikit untuk mencapai target yang diinginkan.

Semoga bermanfaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun