Mohon tunggu...
Wislon Pardosi
Wislon Pardosi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tak Cukup Waktu untuk membicarakan masa lalu, selalu ada waktu utk membicarakan hal hal penting di masa depan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tatapan Kosong dan Pelukan kasih untuk Sahabatku

13 Agustus 2011   17:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:49 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

tidak apa apa bapak ... terimakasih...sebentar lagi juga kami akan berjalan setelah anakku bangun , pintanya untuk membuat aku tenang , atau dengan maksud supaya saya cepat berlalu.. entahlah..

Ring..ring.. kembali telpon genggamku berbunyi , segera kuangkat " Sudah dimana posisi ? " ,tanya sahabat ku diseberang , saya bisa merasakan nada yang sudah mulai bosan karena kelamaan menungguku , " Sorry... Do , agak telat nih , aku masih di kayu putih , mudah2an sebentar lagi sudah sampai.. " OK , ditunggu " sahutnya mengakhiri pembicaraan kami ..

Dengan spontan saya keluarkan dua lembar uang dari dompetku , aku menunduk sedikit berbungkuk , lalu dengan sangat perlahan aku julurkan tanganku , aku ingin menyalamnya .. dia terdiam dan tidak menunjukkan rekasi akan menerima , dia melihatku dalam sekali , membiarkan tanganku tetap terjulur.. " Ibu.. ayolah.. diterima..." pintaku , tetapi tangannya tidak bergerak dan tetap memeluk hangat anaknya.. " apakah bapak mengenal kami ?"..sahutnya , spontan aku jawab tidak..saya tidak mengenal ibu , jawabku..

Seketika anaknya terbangun , mungkin karena volume saya agak lebih keras dari sebelumnya , ssshhh...shhh.. diciumnya anaknya , dibelai rambut anakanya yang saya perhatikan sudah tidak pernah disisir , barang kali sudah lama tidak mengenal yang namanya sampoo , sekilas sang anak memperhatikan wajah ibunya , lalu menatap wajah saya , kembali sang ibu menciumnya seraya mengisyaratkan "ayo nak..tidur lagi , kita tidak apa apa ..kita aman.." , serta merta sianakpun menyelusup kembali kepelukan ibunya dan meneruskan tidurnya..

Sudah Bapak , tidak usah repot.. kami berhenti disini hanya untuk istirahat , ... , dug..dug.. dadaku terguncang , hatiku makin teriris mendengarnya... dan saat aku membungkuk , mataku menancap pada unujung jemari kakinya yang beralas sandal jepit yang sudah sangat tipis , aku melihat kedua kakinya yang membengkak , saya mencoba mengamati apakah ada luka disana... rupanya si ibu memperhatikanku , dia kembali menyakinkan aku,.. kaki saya ga apa apa bapak, hanya bengkak aja , mungkin karena kami sudah kelamaan jalan , lagi lagi senyumnya dipaksakan..

Sekali lagi aku berusaha menjulurkan tanganku , Ibu.. saya bukan siapa siapa.. saya tidak punya niat jahat apa apa , mohon diterima Bu..

Dengan sedikit ragu ragu , dia menggerakkan tangannya.. perlahan dia menyambut tangan saya , aku salam ibu ini dengan tulus ikhlas.. "terimakasih banyak bapak, ini sangat berguna sekali untuk saya dan anak saya , semoga Tuhan membalasnya bapak " , matanya memerah tetapi wajahnya sedkit tenang dan merasa nyaman..

"Baik Bu.. sama sama , anaknya dijaga ya Bu" , kepalanya mengangguk berat, seolah mengisyaratkan apakah aku mampu untuk menjaganya ? , kembali elusan tangannya menyapu kepala anaknya , menciumnya dengan penuh kasih , membuatku kembali menghadirkan wajah Ibundaku yang dibola mataku.

Permisi ya Ibu.. saya mau jalan dulu , kurapatkan tanganku memberi salam dan hormat.. matanya mengikuti saya menuju arah kenderaan yang saya parkir..

Perlahan aku melajukan kendaraanku , melewati sekitar 200 meter aku menoleh kekiri melihat rumah2 mewah dan megah , sementara disebelah kanan dibelah sungai kecil terlihat rumah panggung yang kumuh , seolah sungai inilah batas antara kaya dan miskin, antara sehat dan sakit, antara tidur lelpa dan gelisah..

Wajah dengan tatapan kosong yang memberikan pelukan yang sangat nyaman bagi anaknya yang terlelap itu masih terus mengikuti laju kenderaanku berjalan lambat , hatiku sedikit puas saat pemberianku diterima , tetapi tetap terguncang membayangkan hari hari mereka , esok , lusa, akan kemana dan bagaimanakah mereka , akan kah pelukan hangat itu dapat bertahan menjadi singgasana yang paling nyaman buat sang anak ? aku tidak bisa membayangkannya.. lebih besar keraguan , sekali waktu tangan yang lembut itu tidak akan mampu memberi pelukan lagi , singgasana itu akan hancur berantakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun