Mohon tunggu...
Wisnu Dewa Wardhana
Wisnu Dewa Wardhana Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti

Seorang pembelajar dan pengagum pemikiran Bung Karno

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cenobium Konsumtif

28 September 2024   05:48 Diperbarui: 28 September 2024   07:24 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pict: farid-wajdi.com

Perjuangan antar kelas; sebuah kalimat yang menjadi santapan paling purba dari sejarah revolusi modern. Trinitas kelas atas-menengah-bawah adalah tema paling laku dari semua motif politis. Perang besar kaum miskin melawan Kapitalisme belum selesai, tapi orang mudah lupa. Mahasiswa yang dulu setiap hari menyembah Das Kapital, bertahun kemudian bercokol terhimpit di pantat para pemodal. Kampus hanya menjadi institusi yang menjembatani perut kost-kostan yang akrab dengan Indomie, menjadi sarjana yang mencuci kaki bos-bos borjuasi. Sebab, dengan perut lapar ala kost-kostan lah Marx bisa dihayati.

"Bumi dan isinya cukup untuk memberi makan semua makhluk yang hidup di atasnya, tapi tidak cukup memberi makan satu orang yang rakus", kata Gandhi.

Ratusan hingga ribuan tahun Kitab Suci dijadikan landasan kerakusan. Orang-orang jahil yang alergi terhadap ucapan Marx bahwa "agama adalah candu," belum sadar bahwa saat bangsa-bangsa Eropa mendirikan Imperialisme selalu menyertakan agama sebagai obat kepasrahan. Kaum miskin dan budak adalah takdir Tuhan yang mesti mengamini "jika engkau ditampar pipi kiri, berikan pipi kananmu".

Sebuah revolusi telah dimulai, namun dengan cepat gagal. Soviet runtuh. China menjadi anggota G-20. Wacana apa yang bisa mengorganisir perut lapar hingga terisi? Perlu nasi. Perlu roti. Perlu daging sapi. Orang-orang dipaksa tunduk pada nilai-nilai ekonomi. Orang miskin tertunduk senyum, sementara dendamnya membara hingga ke ulu hati. Kaum borju tertawa seraya berkata "makanya kerja, biar kaya!".

Lebih luas dari itu, pengetahuan dan bahasa bekerja dalam konstelasi kuasa. Tak segegabah itu mengamini kemiskinan dan kekayaan adalah takdir atau nasib. Tidakkah kita curiga bahwa ada "kuasa" yang membuat si miskin tetap miskin, dan si kaya tambah jaya? Berapa banyak orang miskin yang bekerja keras selama hidupnya? Dalam hal ini kerja-keras bukan satu-satunya. Banyak orang bilang, selain itu, manusia harus kerja cerdas.

Perlu digaris-bawahi, kita tidak sedang membicarakan orang malas.

Mereka yang pekerja cerdas adalah embrio kelas menengah, yang dengan dua tetes keringat mampu senyum di balik spion Avanza dan Xenia. Mereka berkhalwat dan beribadah. Mereka membikin agama sendiri. Kelas menengah ini lah sasaran utama konsumerisme. Popularitas adalah nubuwah bagi mereka; keimanan mereka disalib pada label "mahal". Mereka inilah tameng kaum borjuis dari tatapan iri si miskin.

Kelas menengah beribadah di mall. Sesuai ketakwaannya pada agama konsumerisme, ibadah mereka masing-masing berbeda. Yang taat beribadah setiap hari, yang moderat beribadah sebulan sekali. Ada juga Re-Mall (Remaja Mall) yang cuma 'itikaf' di mall saja, sekadar berbagi ilmu pop sambil vaping, yang penting datang biar tak dianggap pendosa.

Di luar pagar mall, si miskin yang iri sedang menyantap McD pemberian orang lewat. Orang tersebut baru pulang dari mall, mengantar anaknya menghadiri pesta ulang tahun temannya di McD. Dalam perjalanan pulang, ia menatap anaknya, sambil berpesan, "Nak, hati-hati dengan si miskin yang iri. Ia adalah embrio kerakusan imperialisme dan korporasi multinasional". Ia tahu anaknya melongok keheranan campur bingung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun