Jakarta - Soeharto sang pemimpin Orde Baru, kenangan langsung terbayang seorang pemimpin yang sangat tegas, berani dan disiplin. Dengan gaya kepemimpinannya tersebut, metode pemilihan Menteri di era Pak Harto yang menjabat Presiden selama 32 tahun berjalan dengan selektif, berwibawa, berilmu dan berintegritas. Minggu, 19 Februari 2023.
Penulis yang kelahiran era tahun 80 an pertama kali mengenal presiden dengan gaya kepemimpinan yang begitu ditakuti, bahkan bisa dibilang otoriter dalam memimpin negara ini. Tapi hikmah dari semua itu seluruh kabinet bahkan masyarakat sangat segan dan tunduk dengan presiden yang satu ini.
Dengan ketegasan dan kedisiplinan itu, hampir tak pernah kita dengar ada Menteri diera beliau yang berbuat aneh. Semua terdidik dan tertata dengan baik. Tak ada istilah Menteri segala urusan, karena Koordinasi antar departemen sangat terjaga.
Bisa kita lihat, hampir seluruh pendampingnya dikabinet seorang Profesor, meskipun zaman itu Profesor sangat jarang, dari situlah kita bisa menilai kwalitas memilih seorang Menteri. Tidak bisa dipungkiri kemampuan seorang akademisi menjadi tolak ukur wawasan, pengalaman dan kemampuan dalam berpikir.
Bukan hanya itu saja, bahkan mancanegara sangat menghormati Pak Harto (sapaan akrab Soeharto-red). Setiap acara kenegaraan level dunia, sangat mudah mencari presiden kita, beliau selalu diberi tempat terdepan dengan posisi ditengah saat berfoto bersama, itu sebuah contoh kecil betapa negara luar sangat hormat kepada beliau.
Jika kita Beralih ke daerah, tidak ada zaman Pak Harto anak baru lulus kuliah langsung jadi Bupati atau anggota dewan. Karena apa, didalam pemikiran beliau politik memang untuk orang yang mapan berpikir, mapan ekonomi dan mapan pendidikan. Benar-benar diseleksi.
Bila kita flashback ke era beliau, jabatn Gunernur, Bupati minimal pensiunan berpangkat Kolonel atau pejabat yang sudah berpengalaman puluhan tahun. Kenapa demikian, supaya para pemimpin daerah bisa mengatur pembangunan dari skala Nasional ke daerah.
Bahkan dizaman itu, politik bukan tempat orang-orang buangan, yang hanya bermodalkan banyak uang dan kolega lalu dengan mudah bisa menjadi anggota dewan dan pemimpin daerah, tanpa memiliki pengalaman politik dan akademi yang tinggi.
Kalau masyarakat banyak yang mensoroti era Pak Harto atau yang biasa kita kenal dengan era Orde Baru (Orba), nepotisme sangat kental dikepemimpinan beliau, seperti salah satu contoh, mba Tutut putri Pak Harto menjabat menjadi menteri, iya memang benar, zaman Orba  memang kental dengan nepotisme, tapi nepotisme yang bermutu, kenapa demikian..? Kita kembali kepada Mba Tutut, beliau menjabat menjadi Menteri setelah usia 49 tahun, itu pun sebelumnya sudah menjadi anggota MPR RI, seperti dalam pembahasan sebelumnya di era Orba seluruh Menteri sudah memiliki pengalaman.
Sangat berbeda dengan zaman sekarang, nepotisme sangat mencolok sekali, dengan dalih  dipilih langsung oleh rakyat, tapi rata-rata pada pelaksanaannya, asalkan memiliki uang banyak dan kolega/keluarga yang memiliki jabatan, bisa dengan mudah memiliki jabatan tinggi dipemerintahan, tanpa dibekali pengalaman dan akademi yang mapan.
Berbicara dunia pendidikan, pada zaman itu tidak boleh ada sekolah swasta kaya, seragam SD sampai SMA diciptakan sama di jaman Pak Harto, tujuannya agar satu, si kaya dan si miskin bisa satu kelas dalam tujuan pendidikan.
Mau masuk universitas ternama seperti UI, UGM, gampang banget, dengan bermodal kecerdasan siswa bisa langsung diterima tanpa persyaratan yang macam-macam, beda dengan jaman sekarang, anak SD saja bisa puluhan juta masuk ke sekolah swasta yang status sosialnya tinggi, pendidikan dibawa ke komoditifikasi status sosial, jaman Pak Harto pendidikan dibawah negara, kualifikasi ada di tangan negara, sehingga yang maju sekolah-sekolah negeri.
Masih kita ingat asal nama SMA 1 adalah sekolah terbaik, lalu ada sekolah-sekolah terbaik negeri di segala penjuru, si kaya dan si miskin bersekolah di tempat yang sama.
Zaman dimana petani merasa seperti raja, dengan swasembada pangan, bahkan bisa ekspor, kita bisa hidup tenang gak mikirin beras habis, negara agraris bukan hanya slogan, semua dikelola dan dijamin oleh pemerintah.
Petani dikasih tamu mimbar dialog rutin dalam kelompencapir bukan dibohongi kasih subsidi pupuk dan traktor lalu ditarik lagi.
Saat itu kalau kesawah ya panen raya bersama semua Menteri menunjukan pada dunia bahwa Indonesia adalah negara besar.
Beda dengan era sekarang, ke sawah pas dekat Pemilu saja sampai rela masuk-masuk lumpur, untuk menarik minat masyarakat, giliran udah jadi boro-boro mikirin petani. petani panen malah dihajar dibuka keran impor.
Tapi penulis yakin semua pemimpin dinegeri ini memilik niat yang tulus untuk membangun Indonesia tercinta, sudah banyak bukti pembangunan semakin maju pesat, semua itu harus diawasi oleh setiap lapisan masyarakat, agar seluruh pemimpin kita tidak terlena dengan kekayaan alam kita yang melimpah.
Curhatan si anak trotoar (Wisnu Wicaksana)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H