Mohon tunggu...
wisnusasmitojati
wisnusasmitojati Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa/ Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Saya adalah mahasiswa aktif program studi psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penghapusan Presidential Threshold, Bagaimana Keberlanjutan DEMOCRAZY di Indonesia ?

8 Januari 2025   13:36 Diperbarui: 8 Januari 2025   13:36 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penghapusan ketentuan aturan presidential threshold oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada awal tahun 2025 telah menjadi topik hangat dalam diskusi politik di Indonesia. Mahkamah Konstitusi telah memutuskan untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden yang sebelumnya menetapkan bahwa partai politik harus memiliki minimal 20% kursi di DPR untuk dapat mengajukan calon presiden. Keputusan ini diambil berdasarkan putusan nomor 62/PUU-XXII/2024, yang di anggap sebagai langkah penting dalam memperkuat demokrasi di Indonesia.

Presidential threshold adalah ambang batas suara yang harus diperoleh partai politik agar dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Seperti contoh dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2009, pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 20% suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif. Ambang batas ini sejatinya diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 222. Berbunyi seperti berikut :

Pasangan Calon di usulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya.

(sumber : DetikNews)
(sumber : DetikNews)

Dengan adanya aturan presidential threshold bertujuan untuk menjaga kestabilan dengan membatasi jumlah kandidat untuk bersaing dalam pemilihan presiden, jika aturan presidential threshold ini di hapus dampak yang terlihat adalah bakal meningkatnya jumlah kandidat dalam pemilihan presiden.

Presidential Threshold sering kali dipandang sebagai aturan yang membatasi keberagaman pilihan dalam pemilihan presiden. Sistem ini cenderung menguntungkan partai-partai besar, sehingga mengakibatkan partai kecil atau calon independen nyaris tidak memiliki peluang untuk bersaing. Salah satu kritik utama terhadap Presidential Threshold adalah ketidakadilan dalam akses menuju pencalonan presiden. Sejak diterapkan pada Pemilu 2004, kebijakan ini telah menghasilkan dinamika politik yang didominasi oleh kandidat-kandidat yang berasal dari koalisi besar.

Presidential threshold menjadi momen penting bagi partai politik untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap demokrasi yang lebih inklusif. Dalam konteks ini, partai-partai akan berusaha mencari calon presiden yang paling mumpuni dan populer di kalangan publik. Selain itu, calon presiden dan wakil presiden juga dituntut untuk memenuhi janji-janji mereka kepada masyarakat, dan juga memiliki rekam jejak yang baik. Namun, penerapan ketentuan presidential threshold ini terus memicu perdebatan, karena banyak yang menilai bahwa kebijakan ini membatasi kebebasan demokrasi rakyat Indonesia. Situasi ini menciptakan ketergantungan presiden pada dukungan suara parlemen, yang berpotensi membuka jalur praktik politik transaksional.

Pertimbangan Hakim MK

Dilansir dari tempo, Ketua MK Suhartoyo mengungkapkan norma yang tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Suhartoyo menegaskan bahwa ketentuan ambang batas sebesar 20 persen tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Selain itu, Hakim Konstitusi lainnya, Saldi Isra, menyatakan bahwa penetapan ambang batas 20 persen untuk pencalonan presiden dan wakil presiden melanggar berbagai aspek, di antaranya moralitas, rasionalitas, dan menciptakan ketidakadilan yang secara eksplisit bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Saldi menambahkan bahwa kondisi tersebut menjadi alasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengubah pendirian dari keputusan sebelumnya. "Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya berkaitan dengan besaran atau angka persentase ambang batas, melainkan lebih mendasar lagi adalah rezim ambang batas dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden," ungkap Saldi. Ia juga menekankan bahwa ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden bertentangan dengan beberapa pasal, termasuk Pasal 6A Ayat 2 UUD NRI 1945.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden, atau yang dikenal sebagai presidential threshold, menandai awal baru dalam sistem politik Indonesia. Ketua MK, Suhartoyo, mengungkapkan bahwa Pasal 222 UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Penetapan ini diyakini dapat menciptakan pemilu eksekutif yang lebih efektif, sekaligus mengurangi perpecahan dalam koalisi dan suara selama pemilu. Keputusan ini juga diharapkan menjadi proses seleksi alam yang menilai calon presiden dan calon wakil presiden yang benar-benar layak untuk maju dalam pemilihan presiden mendatang. Keputusan MK tentang penghapusan presidential threshold itu dalam perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan dalam sidang putusan, Kamis (2/1).

APA DAMPAK NYA BAGI POLITIK INDONESIA ?

Keputusan ini diambil setelah bertahun-tahun mendapatkan kritik yang menyatakan bahwa ambang batas tersebut telah menghambat demokrasi dan membatasi pilihan calon presiden bagi masyarakat. Dengan adanya keputusan ini, semua partai politik, baik yang besar maupun yang kecil, kini memiliki kesempatan yang setara untuk mencalonkan kandidat mereka tanpa perlu berkoalisi.

Peningkatan Partisipasi Politik

Dengan dihapuskannya ambang batas, setiap partai politik sekarang memiliki kemampuan untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden tanpa perlu membentuk koalisi yang besar. Hal ini menciptakan peluang bagi lebih banyak kandidat untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum, yang pada gilirannya dapat meningkatkan keterwakilan berbagai aspirasi politik masyarakat.

Biaya Pemilu Meningkat

Meskipun terdapat peluang yang signifikan, penghapusan ambang batas ini juga menghadirkan tantangan yang perlu diperhatikan. Salah satu tantangan tersebut adalah potensi terjadi nya fragmentasi politik yang lebih besar. Dengan banyaknya kandidat yang maju, polarisasi dalam masyarakat dapat semakin meningkat. Selain itu, tanpa adanya koalisi yang kokoh, stabilitas di parlemen berpotensi terganggu. Dengan semakin banyaknya partai yang bersaing, biaya kampanye diperkirakan akan mengalami peningkatan. Keadaan ini dapat membebani sumber daya keuangan partai-partai kecil dan berdampak pada kualitas kampanye yang mereka jalankan.

Strategi Baru Setiap Partai Politik

Penghapusan ambang batas ini berpotensi untuk secara signifikan mengubah strategi partai politik. Partai-partai besar mungkin perlu bersikap lebih hati-hati dalam menentukan langkah mereka, mengingat bahwa mereka tidak lagi menjadi satu-satunya kekuatan dominan yang dapat memaksakan pembentukan koalisi. Di sisi lain, partai-partai kecil kini memperoleh peluang yang sangat berharga untuk mengajukan calon-calon yang memiliki kemampuan bersaing di tingkat nasional. Tanpa adanya batasan yang selama ini berfungsi sebagai "gerbang eksklusif," semua partai kini dihadapkan pada tantangan untuk menunjukkan kompetensi mereka dalam mempersiapkan calon yang bukan hanya sekadar populer, tetapi juga berkualitas.

PERBEDAAN ATURAN DULU DAN SEKARANG

Menurut Mahkamah Konstitusi, penghapusan ambang batas ini bertujuan untuk mengurangi dominasi partai politik. Dominasi partai politik dalam pemilihan umum ini telah mengakibatkan terbatasnya pengusungan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Selain itu, kondisi tersebut juga menyebabkan para pemilih mengalami keterbatasan dalam memilih calon.

Dulu

Ambang batas minimal untuk dukungan pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik ditetapkan sebesar 15 persen kursi di parlemen atau 20 persen dari suara sah nasional. Partai-partai politik memiliki kemungkinan untuk berkoalisi dan membentuk partai gabungan guna memenuhi persyaratan ambang batas tersebut.

Sekarang 

Setiap partai politik yang berpartisipasi dalam pemilihan umum memiliki hak untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa terdapat ambang batas persentase tertentu. Dengan demikian, jika terdapat 30 partai, maka terdapat kemungkinan untuk mengusulkan hingga 30 pasangan calon.

Dilansir dari tempo, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyatakan pemerintah menghormati putusan MK yang membatalkan syarat ambang batas pencalonan presiden. Pemerintah, kata dia, menyadari bahwa permohonan untuk menguji ketentuan Pasal 222 UU Pemilu itu telah dilakukan lebih dari 30 kali dan baru pada pengujian terakhir ini dikabulkan.

"Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat (final and binding)," kata Yusril melalui keterangan tertulis di Jakarta, Kamis. "Semua pihak, termasuk pemerintah, terikat dengan putusan MK tersebut tanpa dapat melakukan upaya hukum apapun."

Seiring dengan berjalannya waktu, telah banyak muncul tuntutan untuk menghapus ambang batas presiden (presidential threshold) yang didasarkan pada berbagai alasan, mulai dari pembatasan terhadap demokrasi hingga potensi terjadinya monopoli kekuasaan oleh partai-partai besar. Namun, penghapusan aturan ini juga tidak dapat dipisahkan dari potensi dampak, baik positif maupun negatif, yang dapat memengaruhi stabilitas politik di Indonesia. Dari segi dampak positif, penghapusan ambang batas presiden dapat membuka peluang bagi partai-partai kecil untuk berpartisipasi dalam pemilihan calon presiden, sehingga meningkatkan keberagaman pilihan politik bagi masyarakat.

sumber : (DetikNews)
sumber : (DetikNews)

Dilansir dari CNN Indonesia, YLBHI menyatakan sebelum putusan yang dimohonkan empat mahasiswa UIN Suka, sebelumnya, terdapat 36 permohonan yang diajukan ke MK terkait pasal presidential threshold. Namun, semuanya tak pernah dikabulkan MK dengan berbagai dalih termasuk kedudukan hukum (legal standing). YLBHI menduga ada cengkeraman oligarki dan politik penguasa yang tak menghendaki demokratisasi berjalan dengan baik. Walhasil, sambungnya, tidak memberikan Independensi kepada hakim MK dalam memeriksa dan mengadili permohonan penghapusan praktik presidential threshold.

Oleh karena itu, mereka mengajak publik mewaspadai ada upaya tafsir lain yang menyimpang atas putusan MK seperti yang pernah akan dilakukan terhadap putusan atas UU Pilkada tahun lalu. Kala itu dugaan upaya tafsir menyimpang pembuat undang-undang terhadap putusan UU pilkada batal setelah ramai aksi 'peringatan darurat' di seluruh Indonesia. Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan yang dilayangkan empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoriul Fatna.

Apakah Masyarakat Masih Tertarik Dalam Ikut serta Pengkaderan Partai ?

Dengan semakin terbukanya peluang, partai politik kemungkinan besar akan lebih aktif dalam merekrut kader baru. Masyarakat yang selama ini merasa bahwa karier politik bersifat eksklusif mungkin akan melihat kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengkaderan. Untuk itu, partai-partai dapat menawarkan program kaderisasi yang lebih menarik, antara lain pelatihan kepemimpinan, pendidikan politik, serta platform yang dapat meningkatkan kemampuan berbicara di depan umum.

Namun, hal ini juga memerlukan komitmen dari partai untuk mengelola kaderisasi dengan lebih profesional. Mereka harus memastikan bahwa kader-kader baru yang bergabung memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi, sehingga dapat diterima dengan baik oleh masyarakat luas.

Oleh karena itu apapun keputusan yang diambil, semangat demokrasi kita sebagai masyarakat Indonesia harus tetap dijaga. Sebagai warga negara, kita harus memiliki peran penting untuk selalu mengikuti berita terbaru tentang demokrasi ini dengan kritis dan memastikan bahwa yang terjadi benar-benar membawa manfaat bagi bangsa dan negara. Apapun arah politik yang telah diambil, Indonesia tetap bisa berjalan ke arah yang lebih baik, dengan pemimpin yang berkualitas, peduli akan rakyat nya serta sistem politik yang adil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun