Liberalisasi perdagangan memfasilitasi ekspansi industri tembakau multinasional ke negara-negara berkembang seperti Indonesia melalui akuisisi atau investasi langsung asing pada industri tembakau lokal. Hal ini tidak hanya meningkatkan penjualan produk secara langsung tetapi juga membawa transfer teknologi dan keahlian. Sebagai contoh, kepemilikan mayoritas Philip Morris International di PT. HM. Sampoerna memungkinkan pengaruh mereka terhadap pasar tembakau domestik. Ekspansi pasar ini cenderung meningkatkan konsumsi rokok di negara-negara berkembang karena produk tembakau internasional menjadi lebih mudah diakses dan seringkali dijual dengan harga yang lebih murah akibat tarif cukai yang rendah. Dampaknya adalah potensi peningkatan jumlah perokok, termasuk anak-anak dan remaja, yang dapat membahayakan generasi muda. Secara keseluruhan, liberalisasi perdagangan dan FDI oleh industri tembakau multinasional memiliki dampak signifikan terhadap konsumsi tembakau di pasar global, khususnya di negara-negara berkembang dengan regulasi yang lebih longgar.
Dalam konteks dominasi industri tembakau multinasional dari Inggris dan Amerika Serikat di pasar negara berkembang seperti Indonesia. Industri ini berhasil memperluas pangsa pasar melalui akuisisi atau investasi langsung dalam industri tembakau lokal, serta memanfaatkan kebijakan liberalisasi pasar yang diterapkan oleh WTO. Meskipun WHO telah menciptakan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) untuk mengatur produksi dan distribusi tembakau dengan mempertimbangkan aspek kesehatan, Amerika Serikat belum meratifikasinya, menunjukkan adanya kekuatan struktural yang mendukung kepentingan ekspansi industri tembakau mereka.
Sementara upaya untuk mengurangi hambatan perdagangan dapat meningkatkan persaingan di pasar tembakau dan meningkatkan konsumsi, hal ini juga dapat membatasi regulasi domestik yang efektif. Terlebih lagi, perjanjian perdagangan juga dapat menciptakan ketidakpastian dalam regulasi, yang menghambat negara-negara untuk mengambil langkah-langkah kontrol tembakau yang tegas.
Dalam konteks ini, FCTC menjadi instrumen penting untuk melindungi generasi saat ini dan masa yang akan datang dari dampak negatif konsumsi tembakau. Namun, kegagalan sejumlah negara dalam meratifikasi FCTC memberikan dampak signifikan, termasuk meningkatnya target pemasaran oleh industri rokok multinasional dan peningkatan konsumsi rokok di kalangan kelompok rentan. Melalui aksesi FCTC, Indonesia akan dapat menunjukkan tanggung jawabnya dalam melindungi kesehatan masyarakat dan terlibat dalam konferensi serta negosiasi terkait pengendalian tembakau sehingga menjadi langkah penting dalam menghadapi tantangan globalisasi tembakau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H