Mohon tunggu...
Wisnu Pambudi
Wisnu Pambudi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

an average joe lives in the value of curiosity

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Salah Asuh 32 Tahun

21 Mei 2014   22:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:16 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagai orang tua dan anaknya, begitulah perumpamaan pemerintah dan rakyat. Pemerintah berperan sebagai orang tua yang mengurusi, mendidik dan mementingkan kepentingan anaknya yaitu rakyat. Dalam masa pemerintahan orde lama, bagai orang tua yang baru memiliki anak, pemerintah masih berusaha sebisanya dalam menjaga dan masih meraba-raba bagaimana mengasuh anak,yang mempunyai potensi untuk maju ini, dalam hal filosofi dan penerapan hidup. Dilihat dari adanya beberapa ideologi yang masih bertarung untuk menjadi ideologi yang diterapkan di Indonesia, pemerintah masih kelabakan menanganinya dan pada akhirnya kita tetap pada koridor ideologi pancasila yang utama.

Setelah rusuh-rusuh tahun 65, hadirlah pemerintahan yang baru dibawah kepemimpinan soeharto. Dan di rezim inilah rakyat diasuh oleh orang yang salah. Salah dalam mengatur berbagai hal terutama hal-hal paling esensial dalam mengatur sebuah negara. Jika negara diibaratkan sebagai sebuah rumah, anak yang diumpamakan sebagai rakyat di ajarkan oleh orang tua bagaimana menjaga rumah ini dengan cara yang salah.

Dalam hal politik, rakyat tidak diberikan pendidikan politik yang baik. Bagaimana bisa rakyat mencerna kehidupan politik yang sehat kalau berlawanan pendapat saja digilas. Calon presiden tunggal selama 6 kali masa pemerintahan adalah contoh tidak baik dalam kompetisi politik. Pendidikan politik yang tidak baik selama 32 tahun inilah yang mengakibatkan rakyat tidak bisa mengurus negara dalam sistem perpolitikan yang bebas setelah reformasi.  Masih banyak rakyat Indonesia tidak tahu bagaimana memilih wakil rakyat yang baik dan masih saja politik uang terjadi. Hal ini karena selama 32 tahun soeharto berkuasa, dia tidak pernah mencontohkan bagaimana berpolitik yang sehat. Disaat negara -lain yang baru merdeka setelah PD II sedang belajar membangun negara, kita sedang dikekang oleh rezim yang berkuasa. Tidak heran saat negara lain sudah mapan secara politik kita masih wow dengan gubernur yang masuk gorong-gorong.

Selain itu saya menduga akar budaya korupsi salah satunya disebabkan oleh rezim soeharto. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencontohkan hal yang baik. Soeharto selama berkuasa 32 tahun diduga mengambil uang negara sebesar $35 miliar menurut Transparency International. Sungguh contoh buruk yang luar biasa. Akibatnya saat ini para pejabat-pejabat politik yang ada, baik itu di eksekutif maupun di legislatif berlomba-lomba menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun partainya. Jika orang tua mencontohkan hal yang buruk, maka anaknya pun yang suatu saat nanti ketika menjadi orang tua juga akan  bertingkah laku yang buruk pula.

Doktrinisasi yang dilakukan oleh rezim soeharto juga adalah suatu kesalahan. Untuk melenggangkan dirinya menuju kekuasaan soeharto mengkambinghitamkan PKI dan komunisme. Rezim soeharto melarang komunisme sebagai sebuah ideologi. Memang menurut saya ideologi Pancasila adalah ideologi terbaik bagi bangsa ini, tapi di dalam pancasila pun ada unsur komunisme yaitu sila ke 5, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun yang pasti sila ke 5 tersebut tidak seekstrim keadilan sosial pada ideologi komunisme.

Akibat dari adanya doktrinisasi tentang bahaya komunis ini, masyarakat menjadi tidak paham apa itu arti komunisme. Komunisme tidak ada hubungannya dengan agama. Orang komunis bukanlah orang yang tidak beragama. Orang komunis bukanlah orang yang jahat. Ini hanya sebuah ideologi dan suharto memberikan doktrinisasi yang salah terhadap rakyat.

Hari ini, 21 Mei 2014, kita memperingati 16 tahun terbebas dari belenggu orang tua yang mengekang berbicara apa adanya. Terbebas dari doktrinisasi orang tua yang salah mendidik. Terlepas dari ketakutan akan perbedaan pendapat dan kita 16 tahun lalu  menjadi anak yang berubah menjadi orang tua yang kembali menata dan meraba-raba bagaimana mengasuh anak (dalam pengandaian ini adalah rakyat) yang sekarang menjadi terlalu liar dan bebas ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun