[caption id="attachment_136503" align="alignnone" width="640" caption="Anggota Komisi Pemilihan Umum dipimpin Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary menghadap Presiden Yudhoyono di Kantor Presiden. Mereka melapor hasil Pemilu dan Pilpres 2009. Satu anggota Timhoreee ada di sana (Wisnu Nugroho | 2009)"][/caption] KABAR yang kita terima dari Komisi Pemilihan Umum umumnya kabar duka. Kabar duka paling mencengangkan dan sulit dilupa adalah kasus korupsi mantan aktivis yang menjadi anggota KPU (2001-2005), Mulyana W Kusumah. Sedangkan kabar duka paling baru adalah ditetapkannya Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary (2007-sekarang) sebagai tersangka. Tidak sepakatnya Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk status Abdul Hafiz Anshary tentu menambahi bobot duka kita. Bagaimana bisa dua lembaga negara di bawah satu Kepala Negara ini beda suara untuk hal yang serius dan luas dampaknya? Tentu saja, masih banyak kabar duka seputar KPU yang mengurusi pemilihan umum di Indonesia. Anda bisa merincinya hanya dengan bekal pendeknya ingatan di kepala. Untuk membantu, Anda pasti masih ingat Nazaruddin. Kalau kita lantas ingat Bendahara Partai Demokrat, ingatan kita memang terlalu pendek untuknya. Meski pendek ingatan kita, tidak perlu berkecil hati juga. Kita yang pendek ingatannya ini ternyata masuk dalam kumpulan besar orang Indonesia. Sembilan dari sepuluh orang hanya ingat Nazaruddin sebagai Bendahara Partai Demokrat. Setelah kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet untuk SEA Games ke-26 terungkap, hanya satu dari sepuluh orang yang ingat kasus korupsi di KPU yang melibatkan Nazaruddin. Nama lengkapnya adalah Nazaruddin Sjamsuddin, Ketua KPU (2001-2005). Kalau mulai ingat lagi dengan Nazaruddin yang satu ini, silahkan mengelus dada untuk menenangkan diri mengenang KPU kita. Tentu saja, dada sendiri. Hi hi hi hi... Tiga Angkatan di Demokrat Seperti saya sampaikan sejak awal, saya tidak ingin menambah kabar duka tentang KPU di tulisan ini. Bukan tidak mau berbagi fakta untuk bekal kita mencari dan memilih anggota KPU baru. Bukan. Kabar duka tidak saya paparkan justru untuk memberi semangat para pencari kerja yang akan segera melihat peluang kerja sebagai anggota KPU. Selain memberi kabar duka, KPU juga menjanjikan kabar gembira. Anda mungkin tidak percaya, namun ini nyata dan tampaknya akan ditradisikan juga. Selain memberi peluang masuk penjara, KPU juga memberi kesempatan anggotanya naik kelas dan tentu saja naik pendapatannya. Masih tidak percaya, coba ingat tiga nama ini saja: Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, dan Andi Nurpati. Tiga orang yang kebetulan bernama dengan huruf awal A ini adalah bekas anggota KPU. Andi Mallarangeng anggota KPU periode 1999-2000. Anas Urbaningrum anggota KPU periode 2001-2005. Andi Nurpati anggota KPU periode 2007-2010. Tiga A ini naik kelas di "sekolah" yang sama. Anda sudah tahu semua nama sekolahnya. Ya, Partai Demokrat namanya. Ada peningkatan keterlibatan ketiganya yang korelatif dengan prestasi Partai Demokrat. Andi Mallarangeng bergabung lewat pintu samping Cikeas saat Partai Demokrat belum lama berdiri. Anas Urbaningrum berbagung lewat pintu depan Istana Negara saat Partai Demokrat punya target menang Pemilu 2009. Andi Nurpati bergabung lewat pintu belakang KPU saat Partai Demokrat dinyatakan menang oleh KPU dan menjadi partai penguasa. Dari tiga A ini, saya mendapati keinginan yang makin meletup-letup dari Partai Demokrat untuk segera memasukkan penyelenggara Pemilu ke dalam sturktur partainya. Tidak heran jika perubahan Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang memungkinkan anggota partai politik masuk sebagai anggota KPU mulus jalannya. Cerdas, Santun, Beretika Tetapi, mungkin inilah terjemahan cara cerdas dan santun dalam berpolitik seperti kerap dikemukakan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat di setiap kampanyenya. Cerdas karena tidak terpikirkan partai lain yang ingin menang pemilu juga. Santun karena tidak melanggar satu pun aturan yang ada. Soal apakah cara-cara ini beretika, kita bisa berdebat untuknya. Yang pasti, Andi Nurpati dipecat karena melanggar kode etik KPU sebelum naik kelas di sekolah barunya. Jilbab biru adalah seragam sekolah barunya. Tapi sudahlah, cacat secara etik bukan aib bagi pejabat di Indonesia. Buktinya, Andi Nurpati mendapat tempat terhormat di Partai Demokrat yang didirikan dan sampai sekarang dibina Kepala Negara. Tanpa jeda sejak dipecat dari KPU karena dinyatakan melanggar kode etik, Andi Nurpati ditetapkan sebagai Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat. Saya gagal paham dengan ini semua. Namun, ini tetap saya syukuri karena menjadi bagian dari kabar gembira tentang KPU untuk Anda. Yakinlah, selain berpotensi masuk penjara, anggota KPU juga berpeluang naik kelas dengan tambahan pendapatan tentunya. Tinggal pandai-pandai saja memilih pintu untuk memasuki sekolahnya. Toh, Anda juga sudah tahu warna seragam sekolahnya. Soal etika, lupakan saja! Etika sudah lama mati di negeri ini. Saat keranda etika diusung di persimpangan, toh kita tidak menangisinya atau menundukkan kepala memberi jeda. Salam horeee.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H