Simak kisah menarik berjudul Melihat Pak Beye Gak Pede. Ketika berdiri di depan mimbar untuk mengumumkan perintah nomor enam dari “Sepuluh Perintah Yudhoyono”, Pak Beye kelihatan resah. Sebenarnya, isi perintah itu sudah sangat akrab di telinga dan telah diucapkan ratusan kali oleh para pejabat—mulai presiden hingga lurah. Mari kita lakukan (lagi) kampaye besar-besaran untuk mengonsumsi produk dalam negeri.
Lantas, mengapa Pak Beye bersikap demikian? Usut punya usut, ketika sidang kabinet usai dan para menteri membubarkan diri dengan tujuan masing-masing, tampak seorang menteri perempuan berjalan diiringi ajudan laki-laki berbadan tegap. Ajudan itu menenteng tas kulit perempuan berwarna putih dengan logo LV (Louis Vuitton) pada gagang tas yang tersepuh warna emas (hal.91-2).
Tas tersebut jelas bukan produk dalam negeri, tapi sudah pasti milik ibu menteri. Mungkin, peristiwa inilah yang membuat Pak Beye tidak percaya diri. Diam-diam, salah seorang menterinya telah menunjukkan sikap menentang perintahnya: tidak menggunakan produk dalam negeri.
Membaca buku Inu membawa perasaan déjà vu, kembali ke alam nostalgia. Tokoh-tokoh serta peristiwa yang dipaparkannya kadang membuat saya tertawa sendiri. Karena memang apa yang digambarkannya betul terjadi. Cerita tentang Kolonel Aziz sampai Mas Iswahyudi (Bab 2: Orang Penting), misalnya, hanya sedikit cerita dari berbagai kejanggalan istana yang sampai sekarang tetap menjadi misteri. Saya jadi ingat kehebohan istana ketika blue energy mulai diperkenalkan. Mungkin mirip dengan euphoria masayarakat biasa terhadap air Ponari.
Tentu peristiwa di istana ada di balik layar. Semuanya top secret. Presiden pun ketika menerima paparan dari Mas Iswahyudi hanya didampingi oleh beberapa orang tertentu saja. Sayang saya termasuk yang tidak beruntung bisa hadir, mungkin saya kurang rajin melobi Mas Heru Lelono walaupun kantor kami ketika itu bersebelahan.
Show Room dan Pencitraan
Membaca buku Inu, akan terlihat ‘obsesinya’ pada kendaraan. Satu bab khusus didedikasikan untuk membahas soal turangga (tunggangan) para pejabat, pemgusaha dan orang-orang penting lainnya. Berbagai merek mobil berkelas, seperti Audi (bernomor polisi B 24 EB, Rolls-Royce (bernomor polisi 234), Lexus ( bernomor polisi RI 14), Bentley (bernomor polisi B 65 HT), Mercedes-Benz, terparkir anggun di halaman istana merdeka.
Mungkin Inu ingin menunjukkan bahwa kehadiran kendaraan-kendaraan tersebut di istana, seolah untuk menepis kesan bahwa negeri ini tengah dalam kondisi krisis ekonomi dan masih memiliki berjuta-juta rakyat yang hidup miskin. Kenyataan itu pula yang membuat kabar tentang krisis yang dialami Indonesia seakan hanyalah ulah orang-orang yang tidak suka pada pemerintah.
Selain sebagai show room, istana juga sebagai pusat pencitraan. Tulisan berjudul Meredupnya Sorot Kamera memperlihatkan hal itu. Agar terlihat bekerja sampai larut malam, Pak Beye ingin disorot oleh para wartawan di depan ruang kerjanya. Namun apa daya, karena pencahayaan di depan ruang kerja Pak Beye terlalu redup, para wartawan tidak beranjak untuk mendekat. Cara lain ditempuh, lampu sorot di tembakan di depan ruang itu, tapi hasilnya mengecewakan karena silau yang di dapat. Tak ada pilihan lain, Pak Beye akhirnya mengalah, menggelar konferensi presnya di ruang biasa. Pak Beye ingin menunjukkan bahwa dia (dan pemerintah) bekerja sampai larut malam sehingga rakyat tak perlu khawatir, namun sorot lampu tak mendukungnya.
Politik citra memang modal Pak Beye selama ini. Dan istana merupakan tempat paling baik untuk menampilkannya. Kesempatan apapun digunakan sebaik-baiknya untuk menampilkan citra diri. Terutama citra sedang terancam. Ketika bom meledak di JW Marriot di Jakarta, Pak Beye selepas salat Jum’at dengan wajah tegang menggelar konferensi pres di bawah pohon bodi. Ia menunjukkan foto dirinya yang dijadikan ajang latihan menempak oleh sekelompok teroris (hal.161). Pangung pencitraan itu begitu sempurna. Semua yang berada di sekeliling Pak Beye tampak tegang. Tak ada senyum yang mengembang. Seolah-olah negera benar-benar dalam keadaan genting. Tapi di luar istana rakyat biasa-biasa saja. Pencritaan yang berlebihan bisa membuat banyak orang bosan.
Pernak-pernik Pak Beye dan Kisang Orang-Orang Biasa