Mohon tunggu...
wisnu suryapratama
wisnu suryapratama Mohon Tunggu... -

Pekerja Film

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kebun Binatang dan Kompas yang Alpa

16 Februari 2012   18:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:33 1504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_161654" align="alignleft" width="300" caption="Ladya Cheryl di red carpet"][/caption] Kemarin 15 Februari 2012 adalah hari yang bersejarah buat dunia perfilman Indonesia. Untuk pertama kali dalam sejarah perfilman Indonesia, sebuah film Indonesia diputar perdana di Berlin International Film Festival, salah satu festival film paling bergengsi di planet ini. Film ini berjudul "Kebun Binatang/ Postcard from the zoo, karya sutradara Edwin. Bukan cuma itu, film ini terseleksi untuk dalam kategori kompetisi dan bersaing dengan 17 film lainnya untuk memperebutkan piala Golden Bear. Salah satu penghargaan paling diburu oleh pembuat film se dunia. Ini adalah film Indonesia ke 2 yang masuk ke kompetisi Berlinale setelah Badai Selatan (1962) karya Sofia WD. Buat kami para pekerja film dan buat perfilman Indonesia, ini prestasi yang bukan main, bahkan para maestro kita seperti Garin Nugroho, Riri Riza, dengan segala hormat, belum meraih capaian ini. dan saya yakin mereka juga sangat ingin. 15 Februari 2012, sekelompok anak muda kita larut dalam hingar bingar dan gemerlap panggung film dunia. Konferensi pers diadakan, jurnalis kawakan mancanegara mencecar pertanyaan. Lalu tepat pukul 4 sore waktu setempat, anak-anak muda ini tampil necis, berjalan di karpet merah, dibawah sorotan kamera media dunia, dan lampu blitz juru foto ternama. Ladya Cheryl, pemeran utama wanita tampil anggun, bak Gong Li, atau Zhang Ziyi. Melambai ke arah penggemar, lalu melangkah menghampiri mereka dan melayani permintaan tanda tangan. Nicholas Saputra, pemeran utama pria, tampil gagah bak Leonardo di Caprio, dengan balutan blazer necis dan dasi kupu-kupu, elegan. Sang sutradara Edwin, menggendong putranya Jiri, Director of Photography Sidi Saleh dan Sound Engineer Iponk gagah dalam kemeja batik. Produser Dede Meiske, cantik dan selalu tersenyum dangan gaun tenun ikat. Edwin, Nico, dan Ladya melangkah ke poster raksasa mereka yang terpampang di Berlinale Palast yang terkenal. Lalu mereka membubuhkan tanda tangan. Saat itulah sejarah dunia mencatat, sebuah film independen karya anak muda negeri ini, diputar perdana atau istilahnya World Premiere di Berlinale Palast didepan 1600 orang penonton. Selang satu jam setelah premiere, Pers dunia mereview film mereka. Screendaily, Variety, Hollywood Reporter, Chicago Tribune menulis mereka, pujian dan kritik. Dan foto-foto mereka terpampang di website kantor berita ternama seperti Reuters. Dada saya sesak, sebuah capaian luar biasa anak negeri. Otomatis saya penasaran apa yang akan ditulis oleh pers kita. Dalam bayangan saya foto Ladya Cheryl akan menghiasi halaman utama surat kabar kita esok hari. 16 Februari 2012, koran pagi tiba, Kompas. Saya cari berita bagus ini. Masya Allah, tak satupun kolom berita Kompas memuat berita ini. Tak ada foto, tak ada ulasan. Bahkan kopi darat komunitas #Jancukers ada di berita mereka. Ada apa Kompas? Ada apa dibalik otak para jurnalis yang menulis soal film dan kebudayaan di Kompas? Nampaknya mereka lebih tertarik Blake Lively dari Gossip Girl dan Mbak Angie, sang selebriti. Lalu saya lihat semua portal berita dalam negeri, cuma Tempo dan Jakarta Globe yang memuat berita ini. Ada apa dengan jurnalis kita? ada apa dengan jurnalis film kita? Ketika seorang Damien Dematra mengklaim kalau film dia menang American Film Award, sebuah award abal-abal yang piagamnya dikirim lewat email dan dipampang di website gak jelas siapa jurinya berita ini langsung heboh di media tanpa dicari kebenarannya, atau paling tidak jurnalis film kita harusnya tahu tidak ada penghargaan film bergengsi bernama American Film Award. Terus terang, saya tidak mengerti apa kebijakan yang membuat berita ini tak layak ditulis oleh Kompas. Sisi sebelah mana yang membuat Kompas alpa bahwa ada sebuah Festival Film bergengsi bernama Berlin International Film Festival? Dan ada film Indonesia yang masuk sesi kompetisi paling bergengsi di dunia. Dari sekian banyak festival film dan awards ada 3 festival film yang paling bergengsi yang disebut Big Three: Venice, Cannes dan BERLIN. Lalu ada 4 penghargaan atau awards yang paling bergengsi: Academy Awards atau Oscar, Palm D'Or di Cannes, Golden Lion di Venice dan Golden Bear di Berlin. Film Postcard From The Zoo berkesempatan untuk meraih Golden Bear, dan kalau mereka menang Golden Bear sungguh memalukan buat Kompas karena tak memuat review dan mengirim jurnalis ke Berlin. Menurut informasi dari rekan-rekan di Berlin cuma dua media Indonesia yang ikut meliput Berlinale, Tempo dan Metro TV. Sejarah untuk perfilman Indonesia telah dituliskan oleh anak-anak muda kita di Berlin. Sungguh memalukan untuk Kompas karena tidak ikut menulis sejarah ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun