Mohon tunggu...
wisnu suryapratama
wisnu suryapratama Mohon Tunggu... -

Pekerja Film

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Racun (untuk GM)

21 Februari 2014   05:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:37 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini adalah tanggapan atas tulisan Goenawan Mohamad berjudul "Racun"

http://goenawanmohamad.com/2014/02/18/racun/#more-936

Bahasa datang lalu Tuan meradang. Kata-kata menghujam dari mulut banyak orang dan Tuan anggap itu penghancuran. Segala percakapan dan cacian terlontar dan Tuan lihat kami mengancam. Lupakah Tuan bahwa caci maki dan celotehan itu bahasa purba? Tuan salahkan generasi kami yang kau anggap tak matang dan cuma gagah-gagahan anak muda saja tapi lupakah Tuan caci maki kami itu tak seujung kuku dibandingkan kata-kata yang terlontar dari mulut generasi Tuan? Racun seperti apakah yang Tuan takutkan? Racun kami tak mungkin membawa rezim penguasa baru mengokang senjata dan menembak berjuta orang komunis di negeri ini. Racun kami tak bakal melegitimasi kekuasaan untuk membuang orang-orang ke sebuah pulau, hidup dalam kamp konsentrasi.

Siapakah Racun ini Tuan? Kami? Generasi jujur yang melontarkan kata-kata ke muka anda? Lupakah Tuan bahwa generasi kami hidup dalam dialog massal yang terlalu jujur bernama social media? Lupakah Tuan kalau media ini adalah sebuah percakaan sebagaimana pasar tradisional? Saya Tuan, dibesarkan di sebuah desa di kaki Gunung Raung. Rumah saya terletak di sebelah sebuah pasar tradisional. Setiap hari saya terbangun pukul 4 pagi karena berisik celoteh orang-orang di pasar. Bising sekali tuan. Bahkan sampai saat ini saya selalu terbangun pukul 4 pagi karena kebisingan pasar itu terekam dalam otak saya seumur hidup. Dalam kebisingan itu Tuan, tercampur aduk beribu dialog. Ada caci, ada tawa, ada rayu, bahkan sesekali ada tangis dan baku hantam. Saya tak punya pilihan Tuan, kecuali harus mendengar segala kebisingan ini. Dan lalu anda mengeluh? Anda mengeluh karena caci maki dan bahasa yang anda tuduhkan sebagai kalimat benci dan brutal? Dalam dunia sekarang ini Tuan, dalam dunia yang anda keluhkan anda punya pilihan Tuan, sebuah pilihan yang sangat berkuasa. Sebuah pilihan yang diciptakan oleh generasi kami yang brutal dan penuh kebencian ini. Pilihan itu bernama "tak pedulikan". Sebuah pilihan privasi dalam setiap aplikasi untuk memilih tidak mendapat informasi dari orang tertentu. Caci maki itu menguap dalam dunia kami Tuan. Dia tidak mengendap menjadi dendam. Caci maki kami tak kekal Tuan, dia tidak mengubur sebuah paham. Caci maki kami tidak mengendap di otak Tuan, tak seperti kebisingan pasar tradisional yang membuat saya bangun pukul 4 setiap pagi seumur hidup.

Racun itu bukan kami yang tanam tuan. Racun itu tidak muncul dalam caci maki kami. Kami generasi instan tuan, bukan penghukum. Kami generasi terbuka Tuan, bukan fasis. Bukan Tuan. Generasi kami bukanlah pembalik logika yang mengubur sebuah paham menjadi durjana. Bukan kami Tuan. Ingatkah tuan kata-kata dan tipu daya yang mengubur komunis dan melahirkan diktator lintah penghisap darah bernama Orde Baru, generasi siapakah itu Tuan? Bukankah itu generasi Anda? Lalu anda kuliahi kami tentang bahasa beracun? Taik lah kau Tuan.

Marpuah dalam sebuah ungkapan yang belum  diterbitkan pernah berujar Tuan, sebuah generasi yang melahirkan rezim pembunuh dan membiarkannya berkuasa bertahun-tahun adalah generasi somplak. Penulis yang masih bisa makan enak tidur nyenyak beranak pinak ketika penulis lain tersiksa di Pulau Buru adalah penulis Racun. Anda tak kenal Marpuah Tuan? Tak adakah dia dalam literatur yang anda baca? Tak munculkah dia dalam buku-buku yang anda pelajari? Marpuah itu seorang perempuan Tuan yang sudah diperkosa oleh penyair dari sebuah pusat kebudayaan adiluhung di sebuah kota kecil di negeri Sontoloyo.

Marpuah ini mengadu Tuan bahwa dia telah diperkosa oleh Sunarto, Sunar kang Nyoto. Lalu sesaat setelah sang cantrik Sunarto diketahui banyak orang memperkosa Marpuah tersebarlah sebuah pesan berantai dari Begawan di padepokan tempat Sunarto ini "nyantrik" ke semua sanak kadang, handai taulan. Isi pesan itu meminta mendukung Sunarto yang sedang terkena musibah. Tak lama kemudian Tuan padepokan tersebut mengeluarkan maklumat jikalau tingkah laku Sunarto tak ada kaitannya dengan Padepokan Sarihala tempat sang Begawan disembah dan di agung-agungkan. Lalu alkisah banyak orang lontarkan umpatan sampai terkuak masa lalu Begawan yang disinyalir doyan lecehkan perempuan. Begawan pun meradang, seribu kata-kata dilontarkan, mereka yang melawan sang begawan dituduh tak ubahnya rezim totaliter. Begawan terhenyak cacian tak semakin berkurang. Begawan kemudian menulis sebuah tulisan berjudul Racun, jurus yang dipakai adalah kutip kata-kata Begawan lain. Mainkan sedikit permainan kata-kata seolah korban dan para pencaci adalah generasi bengis yang akan bahaya bila berkuasa.

Sekian Tuan... Tak pandai saya merangkai kata-kata mencari pembenaran tingkah laku saya yang bejat karena sejujurnya tak pernah saya bejat. Generasi saya bisanya cuma mencaci. Kata-kata kami Tuan, bukanlah Racun seperti yang anda tuduhkan. Akan tetapi, kata-kata kami adalah Hantu, Memedi, yang akan membuat tidur anda tak nyenyak dan terbangun setiap pukul 4 pagi oleh mimpi buruk yang anda tanam sendiri.

Tabik Tuan... Taik lah kau!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun